Mal Tetap Buka Saat PSBB II Tapi Penyewa Pusat Belanja Malah Merana, Kok Bisa?
Senin, 21 September 2020 - 12:17 WIB
JAKARTA - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) jilid kedua selama sepekan. Adapun, pada PSBB kedua ini terdapat sejumlah perbedaan dibanding PSBB edisi pertama, salah satunya pusat perbelanjaan yang diperbolehkan buka dengan sejumlah persyaratan.
Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Tutum Rahanta mengatakan, dengan adanya kebijakan tersebut membuat anggotanya semakin menderita, meskipun secara permukaan pengecualian tersebut dilihat cukup baik.
"Penderitaannya lebih menderita dari PSBB pertama, kenapa? Kalau yang PSBB pertama pusat perbelanjaan tidak buka dan yang boleh buka hanya supermarket dan penyedia kebutuhan kesehatan. Sekarang mereka buka, toko baju, toko sepatu, toko kacamata, F&B, untuk apa buka dengan skala ekonomi yang tidak mencapai?" ujar Tutum dalam acara Market Review IDX Channel, Senin (21/9/2020). (Baca juga: DKI PSBB Ketat, Pemkot Jakut Rutin Sidak Penerapan Protokol Kesehatan di Mal )
Tutum menilai, penderitaan yang dialami anggotanya sebanyak dua kali, dimana penyewa harus mengeluarkan biaya, dan yang kedua penyewa harus menyediakan bahan baku, terutama sektor Food and Beverages yang akhirnya satu sisi cost tetap keluar karena karyawan harus di-supply cost.
"Untuk semua utility energi harus dibayar, listrik harus dinyalakan. Jadi, kita mengeluarkan biaya dengan tidak ada income, itu lebih berbahaya. Mending saya diem tidak ada income," kata dia.
Dia menerangkan, jika dilihat pergerakan pada PSBB pertama kali diberlakukan, para penyewa pusat belanja memang tidak memperoleh pendapatan namun telah mempunyai 'tabungan' yang cukup baik dari kegiatan usaha di bulan Januari dan Februari.
Lalu, pada PSBB transisi diberlakukan, hal itu telah terjadi perbaikan ekonomi namun tidak bisa menutupi seluruh kebutuhan karena ekonomi harus dijalankan untuk recovery perlahan dan tidak bisa menutupi seluruh kebutuhan tapi ada pergerakan. (Baca juga: BPS: Tidak Dibantu Pemerintah, 19% Pengusaha Terancam Bangkrut )
"Nah, menjelang recovery kita dikunci lagi kembali ke titik di bawah 50 persen. Sekarang (penyewa pusat belanja) sudah banyak di ICU nih, dia sudah tidak bisa dikasih obat atau vitamin yang harus dikasih ventilator. Karena kenapa? terlalu lama kita menanggung beban ini tidak dibantu signifikan oleh pemerintah yang mengeluarkan aturan ini. Jadi, kita bisa ngapain? kecuali melakukan efisiensi kemandirian kita sendiri," ucapnya.
Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Tutum Rahanta mengatakan, dengan adanya kebijakan tersebut membuat anggotanya semakin menderita, meskipun secara permukaan pengecualian tersebut dilihat cukup baik.
"Penderitaannya lebih menderita dari PSBB pertama, kenapa? Kalau yang PSBB pertama pusat perbelanjaan tidak buka dan yang boleh buka hanya supermarket dan penyedia kebutuhan kesehatan. Sekarang mereka buka, toko baju, toko sepatu, toko kacamata, F&B, untuk apa buka dengan skala ekonomi yang tidak mencapai?" ujar Tutum dalam acara Market Review IDX Channel, Senin (21/9/2020). (Baca juga: DKI PSBB Ketat, Pemkot Jakut Rutin Sidak Penerapan Protokol Kesehatan di Mal )
Tutum menilai, penderitaan yang dialami anggotanya sebanyak dua kali, dimana penyewa harus mengeluarkan biaya, dan yang kedua penyewa harus menyediakan bahan baku, terutama sektor Food and Beverages yang akhirnya satu sisi cost tetap keluar karena karyawan harus di-supply cost.
"Untuk semua utility energi harus dibayar, listrik harus dinyalakan. Jadi, kita mengeluarkan biaya dengan tidak ada income, itu lebih berbahaya. Mending saya diem tidak ada income," kata dia.
Dia menerangkan, jika dilihat pergerakan pada PSBB pertama kali diberlakukan, para penyewa pusat belanja memang tidak memperoleh pendapatan namun telah mempunyai 'tabungan' yang cukup baik dari kegiatan usaha di bulan Januari dan Februari.
Lalu, pada PSBB transisi diberlakukan, hal itu telah terjadi perbaikan ekonomi namun tidak bisa menutupi seluruh kebutuhan karena ekonomi harus dijalankan untuk recovery perlahan dan tidak bisa menutupi seluruh kebutuhan tapi ada pergerakan. (Baca juga: BPS: Tidak Dibantu Pemerintah, 19% Pengusaha Terancam Bangkrut )
"Nah, menjelang recovery kita dikunci lagi kembali ke titik di bawah 50 persen. Sekarang (penyewa pusat belanja) sudah banyak di ICU nih, dia sudah tidak bisa dikasih obat atau vitamin yang harus dikasih ventilator. Karena kenapa? terlalu lama kita menanggung beban ini tidak dibantu signifikan oleh pemerintah yang mengeluarkan aturan ini. Jadi, kita bisa ngapain? kecuali melakukan efisiensi kemandirian kita sendiri," ucapnya.
(ind)
Lihat Juga :
tulis komentar anda