Memberdayakan UMKM Berbasis Digital di Kala Pandemi
Sabtu, 26 September 2020 - 10:11 WIB
Sedangkan di sisi permintaan, terjadi penurunan konsumsi yang berimplikasi pada turunnya pendapatan UMKM secara dramatis. Perubahan kondisi permintaan dan penawaran ini, memengaruhi kemampuan dan fungsi UMKM. Bahkan, menyebabkan kekurangan likuiditas yang parah. Menyempitnya sirkuit permintaan dan penawaran, tak lepas dari konsumen yang mengalami kehilangan penghasilan, khawatir terhadap penularan, dan situasi ketidakpastian yang meningkat. Semua pada gilirannya mengurangi pengeluaran maupun konsumsi.
Senada dengan itu, Jennifer Bouey, 2020 dalam laporannya yang berjudul Assessment of COVID-19's Impact on Small and Medium-Sized Enterprises: Implications from China, mengilustrasikan UMKM di Cina, sebagaimana kebanyakan negara lain, adalah mesin penggerak ekonomi. Mereka menghasilkan lebih dari 30 juta entitas produk, dan merupakan 99,6 persen dari pelaku usaha China. Sektor ini menyerap 80% tenaga kerja nasional, dengan sumbangan lebih dari 60% terhadap PDB-nya.
Namun ketika pandemi melanda, UMKM lah yang paling menderita. Gambarannya, 30% perusahaan mengalami penurunan pendapatan lebih dari 50%. Sedangkan 28% lainnya melaporkan penurunan 20-50%. Tekanan keuangan, 62,8% terjadi akibat pembayaran gaji dan asuransi karyawan. Sedangkan pembayaran pinjaman adalah penyebab tekanan kedua dan ketiga.
Untungnya, periode terjadinya pandemi Covid-19 yang berpengaruh secara global hari ini, berlangsung di tengah kegairahan pertumbuhan ekosistem digital. Ini juga termasuk yang terjadi di Indonesia. Berbagai kajian yang asyik mengetengahkan soal “disruption”, mengungkap bahwa keniscayaan pengaruh transisi dari industry 3.0 ke industry 4.0, sejatinya merupakan transformasi dari kehidupan analog ke digital. Lazim dikonsepkan sebagai transformasi digital. Itu semua diberdayakan oleh internet, yang ujung dari seluruh proses transformasinya, adalah internet of things. (Baca juga: Akselerasi Digital Bisnis Jadi Solusi di Tengah Pandemi )
Dalam realitasnya, manakala kecepatan adaptasi manusia, yang terbawa oleh kapasitas belajarnya lebih rendah dari kecepatan perubahan teknologi, maka terjadi patahan. Disrupsi. Kurva yang patah, menunjukkan jarak antara liniaritas adaptasi dengan tuntutan kemampuan untuk menyesuaikan diri. Ini terjadi akibat ekosistem yang diubah oleh teknologi.
Paradoks dari keadaan itu, banyak entitas bisnis, termasuk UMKM yang merasa punya pilihan : segera mengadaptasi, menunda atau menolak perubahan, yang sesungguhnya bukan pilihan. Paradoks makan korban ketika pandemi Covid-19 datang. Ini lengkap beserta kecepatan penularan, dan angka kematiannya yang mencekam. Kelanjutan kehidupan tak bisa berlangsung aman tanpa campur tangan perangkat digital.
Patahan adaptasi transformasi digital memperoleh momentum percepatan tanpa pilihan : beradaptasi atau mati. Itu juga yang terjadi pada UMKM. UMKM yang tanpa dipaksa pandemi Covid-19 telah membangun dan merawat aset digitalnya melenggang nyaman, meniti krisis. Mereka sanggup bertahan, bahkan menikmati pertumbuhan.
Lalu, apakah UMKM yang belum mengadaptasi transformasi digital semata menolak keniscayaan perubahan? Stuart Nash, 2020, Menteri UMKM dan Perikanan, Selandia Baru, dalam uraiannya yang berjudul Big Ideas for Small and Medium Enterprises: Helping SMEs Achieve Digital Transformation, menguraikan kesulitan yang dialami UMKM.
Pelaku usaha kelompok ini belum mengambil manfaat potensial dalam produktivitas dan daya saing, lewat adopsi teknologi digital. Ini terjadi karena berbagai alasan. Di antaranya, UMKM tak selalu dapat mengidentifikasi dengan jelas kebutuhannya. Kelompok ini tak punya pengetahuan, pengalaman, atau sumber daya untuk menerapkan perubahan.
Maka, ketika persoalan suprastruktur yang jadi penghambatnya, pemerintah yang berkepentingan dengan stabilitas ekonomi dan sosial, harus turun tangan. Ini relevan dengan Arnold Pacey, 2014 yang membahas Ethics and Emerging Technologies: seberapa efektif suatu teknologi di dunia tak hanya bergantung pada aspek teknisnya. Tapi juga tergantung pada kecocokan teknologi, dengan konteks sosial dan ekologis tempat teknologi itu diperkenalkan.
Senada dengan itu, Jennifer Bouey, 2020 dalam laporannya yang berjudul Assessment of COVID-19's Impact on Small and Medium-Sized Enterprises: Implications from China, mengilustrasikan UMKM di Cina, sebagaimana kebanyakan negara lain, adalah mesin penggerak ekonomi. Mereka menghasilkan lebih dari 30 juta entitas produk, dan merupakan 99,6 persen dari pelaku usaha China. Sektor ini menyerap 80% tenaga kerja nasional, dengan sumbangan lebih dari 60% terhadap PDB-nya.
Namun ketika pandemi melanda, UMKM lah yang paling menderita. Gambarannya, 30% perusahaan mengalami penurunan pendapatan lebih dari 50%. Sedangkan 28% lainnya melaporkan penurunan 20-50%. Tekanan keuangan, 62,8% terjadi akibat pembayaran gaji dan asuransi karyawan. Sedangkan pembayaran pinjaman adalah penyebab tekanan kedua dan ketiga.
Untungnya, periode terjadinya pandemi Covid-19 yang berpengaruh secara global hari ini, berlangsung di tengah kegairahan pertumbuhan ekosistem digital. Ini juga termasuk yang terjadi di Indonesia. Berbagai kajian yang asyik mengetengahkan soal “disruption”, mengungkap bahwa keniscayaan pengaruh transisi dari industry 3.0 ke industry 4.0, sejatinya merupakan transformasi dari kehidupan analog ke digital. Lazim dikonsepkan sebagai transformasi digital. Itu semua diberdayakan oleh internet, yang ujung dari seluruh proses transformasinya, adalah internet of things. (Baca juga: Akselerasi Digital Bisnis Jadi Solusi di Tengah Pandemi )
Dalam realitasnya, manakala kecepatan adaptasi manusia, yang terbawa oleh kapasitas belajarnya lebih rendah dari kecepatan perubahan teknologi, maka terjadi patahan. Disrupsi. Kurva yang patah, menunjukkan jarak antara liniaritas adaptasi dengan tuntutan kemampuan untuk menyesuaikan diri. Ini terjadi akibat ekosistem yang diubah oleh teknologi.
Paradoks dari keadaan itu, banyak entitas bisnis, termasuk UMKM yang merasa punya pilihan : segera mengadaptasi, menunda atau menolak perubahan, yang sesungguhnya bukan pilihan. Paradoks makan korban ketika pandemi Covid-19 datang. Ini lengkap beserta kecepatan penularan, dan angka kematiannya yang mencekam. Kelanjutan kehidupan tak bisa berlangsung aman tanpa campur tangan perangkat digital.
Patahan adaptasi transformasi digital memperoleh momentum percepatan tanpa pilihan : beradaptasi atau mati. Itu juga yang terjadi pada UMKM. UMKM yang tanpa dipaksa pandemi Covid-19 telah membangun dan merawat aset digitalnya melenggang nyaman, meniti krisis. Mereka sanggup bertahan, bahkan menikmati pertumbuhan.
Lalu, apakah UMKM yang belum mengadaptasi transformasi digital semata menolak keniscayaan perubahan? Stuart Nash, 2020, Menteri UMKM dan Perikanan, Selandia Baru, dalam uraiannya yang berjudul Big Ideas for Small and Medium Enterprises: Helping SMEs Achieve Digital Transformation, menguraikan kesulitan yang dialami UMKM.
Pelaku usaha kelompok ini belum mengambil manfaat potensial dalam produktivitas dan daya saing, lewat adopsi teknologi digital. Ini terjadi karena berbagai alasan. Di antaranya, UMKM tak selalu dapat mengidentifikasi dengan jelas kebutuhannya. Kelompok ini tak punya pengetahuan, pengalaman, atau sumber daya untuk menerapkan perubahan.
Maka, ketika persoalan suprastruktur yang jadi penghambatnya, pemerintah yang berkepentingan dengan stabilitas ekonomi dan sosial, harus turun tangan. Ini relevan dengan Arnold Pacey, 2014 yang membahas Ethics and Emerging Technologies: seberapa efektif suatu teknologi di dunia tak hanya bergantung pada aspek teknisnya. Tapi juga tergantung pada kecocokan teknologi, dengan konteks sosial dan ekologis tempat teknologi itu diperkenalkan.
tulis komentar anda