Pajak Mobil 0% Ditolak, Stimulus Lain Disiapkan
Selasa, 20 Oktober 2020 - 08:15 WIB
Kemenkeu mencatat realisasi insentif pajak untuk dunia usaha hingga Rabu (14/10) sudah mencapai Rp29,68 triliun atau 25% dari total anggaran yang disiapkan sebesar Rp120,61 triliun.
Menurut Sri Mulyani, terdapat penambahan realisasi penyerapan insentif pajak sebesar Rp1,61 triliun sepanjang September 2020 dari realisasi penyerapan insentif pajak bulan sebelumnya.
“Untuk insentif usaha terealisasi sebesar Rp29,68 triliun dengan tambahan kenaikan Rp1,61 triliun (pada September),” katanya.
Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara menilai, keputusan soal insentif pajak 0% tersebut perlu kepastian. Jika tidak pasti, ada efek negatif bila terus menggantung, yaitu masyarakat menunda pembelian mobil karena berharap harga mobil akan murah dengan ada insentif tersebut. (Baca juga: Ibu Penyitas Covid-19 Jangan Berhenti Menyusui)
Dia menilai, insentif dari pemerintah bukan ditujukan pada pabrikan mobil. Namun, dalam rangka melakukan recovery perekonomian nasional. “Kontribusi automotif cukup besar, ada 1,5 juta tenaga kerja dan ratusan ribu pemasok. Jadi, insentif itu sebenarnya untuk menyelamatkan industri dan meningkatkan kontribusi terhadap perekonomian nasional,” kata Kukuh saat dihubungi kemarin.
Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam menilai, pemerintah perlu memikirkan insentif terhadap industri automotif. Sebab, saat ini recovery industri automotif di Indonesia kalah jauh dibandingkan Thailand dan Malaysia. Saat ini utilisasi pabrik mobil di Thailand sudah 90%, Malaysia 100%, sedangkan Indonesia baru 46%.
“Memang terkesan industri automotif egois, padahal insentifnya sebenarnya untuk konsumen, bukan untuk pabrikan,” ujar Bob Azam. (Baca juga: DPR Minta Perjokian Kartu Prakerja Diusut Tuntas)
Sehingga apabila insentif dikucurkan, maka masyarakat memiliki daya dukung dalam membeli mobil sehingga akan mendorong pabrikan meningkatkan kapasitas produksi. Bob mengakui saat ini industri automotif nasional berdarah-darah. Dengan utilisasi hanya 45%, pabrikan menanggung kerugian sangat besar. Dengan total kapasitas produksi 2 juta unit per tahun, pabrikan mobil di dalam negeri hanya mampu memproduksi 900.000 unit akibat terhantam pandemi Covid-19 dan penurunan daya beli masyarakat.
“Untuk impas saja utilisasi harus 65%. Apalagi untuk pabrikan yang baru berinvestasi, titik impasnya mereka harus capai dengan utilisasi 80%. Kondisinya sangat berat,” kata Bob.
Meski Demikian, Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai Kemenkeu pasti melihat penerimaan perpajakan Indonesia yang turun drastis pada tahun ini dan kemungkinan besar berlanjut pada tahun depan. “Makanya ini sebagai alasan penolakan Bu Ani terhadap rencana pembebasan PPN dan PPnBM untuk mobil baru,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta kemarin.
Menurut Sri Mulyani, terdapat penambahan realisasi penyerapan insentif pajak sebesar Rp1,61 triliun sepanjang September 2020 dari realisasi penyerapan insentif pajak bulan sebelumnya.
“Untuk insentif usaha terealisasi sebesar Rp29,68 triliun dengan tambahan kenaikan Rp1,61 triliun (pada September),” katanya.
Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara menilai, keputusan soal insentif pajak 0% tersebut perlu kepastian. Jika tidak pasti, ada efek negatif bila terus menggantung, yaitu masyarakat menunda pembelian mobil karena berharap harga mobil akan murah dengan ada insentif tersebut. (Baca juga: Ibu Penyitas Covid-19 Jangan Berhenti Menyusui)
Dia menilai, insentif dari pemerintah bukan ditujukan pada pabrikan mobil. Namun, dalam rangka melakukan recovery perekonomian nasional. “Kontribusi automotif cukup besar, ada 1,5 juta tenaga kerja dan ratusan ribu pemasok. Jadi, insentif itu sebenarnya untuk menyelamatkan industri dan meningkatkan kontribusi terhadap perekonomian nasional,” kata Kukuh saat dihubungi kemarin.
Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam menilai, pemerintah perlu memikirkan insentif terhadap industri automotif. Sebab, saat ini recovery industri automotif di Indonesia kalah jauh dibandingkan Thailand dan Malaysia. Saat ini utilisasi pabrik mobil di Thailand sudah 90%, Malaysia 100%, sedangkan Indonesia baru 46%.
“Memang terkesan industri automotif egois, padahal insentifnya sebenarnya untuk konsumen, bukan untuk pabrikan,” ujar Bob Azam. (Baca juga: DPR Minta Perjokian Kartu Prakerja Diusut Tuntas)
Sehingga apabila insentif dikucurkan, maka masyarakat memiliki daya dukung dalam membeli mobil sehingga akan mendorong pabrikan meningkatkan kapasitas produksi. Bob mengakui saat ini industri automotif nasional berdarah-darah. Dengan utilisasi hanya 45%, pabrikan menanggung kerugian sangat besar. Dengan total kapasitas produksi 2 juta unit per tahun, pabrikan mobil di dalam negeri hanya mampu memproduksi 900.000 unit akibat terhantam pandemi Covid-19 dan penurunan daya beli masyarakat.
“Untuk impas saja utilisasi harus 65%. Apalagi untuk pabrikan yang baru berinvestasi, titik impasnya mereka harus capai dengan utilisasi 80%. Kondisinya sangat berat,” kata Bob.
Meski Demikian, Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai Kemenkeu pasti melihat penerimaan perpajakan Indonesia yang turun drastis pada tahun ini dan kemungkinan besar berlanjut pada tahun depan. “Makanya ini sebagai alasan penolakan Bu Ani terhadap rencana pembebasan PPN dan PPnBM untuk mobil baru,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta kemarin.
tulis komentar anda