Duh, AS Terapkan Bea Masuk untuk Menara Angin Asal Indonesia
Rabu, 21 Oktober 2020 - 02:00 WIB
JAKARTA - Departemen Perdagangan Amerika Serikat (US Department of Commerce/USDOC) resmi mengeluarkan putusan akhir penyelidikan antisubsidi terhadap produk menara angin (wind tower) asal Indonesia dengan margin subsidi sebesar 5,9%. Komponen terbesar dari margin tersebut, sebesar 5,7% berasal dari subsidi hulu (upstream subsidy) yaitu subsidi yang menurut USDOC terkandung dalam produk cut to length steel plate (CTL) produksi dalam negeri yang merupakan bahan baku utama menara angin.
Margin lainnya sebesar 0,17% dan 0,03% dihitung USDOC dari subsidi listrik dan pembebasan PPh Impor. Hasil akhir ini jauh lebih baik dari hasil sementara (preliminary determination) yang ditetapkan USDOC pada 6 Desember 2019 lalu. Pada saat tersebut, margin subsidi yang ditetapkan mencapai 20,29%, dimana 20,09% disebabkan anggapan Amerika Serikat (AS) terkait adanya kebijakan Indonesia kepada produsen bahan baku CTL untuk menjual CTL tersebut di bawah harga wajar (less than adequate remuneration) kepada produsen wind tower dalam negeri.
(Baca Juga: Neraca Perdagangan Surplus Indikasi Ekonomi RI Bisa Bertahan?)
Hal ini dijadikan alasan oleh USDOC untuk melakukan pembandingan (benchmarking) harga CTL dengan sumber lain yang dianggap wajar. Pembandingan harga ini menyebabkan margin subsidi melambung tinggi. Menyadari hal itu, Pemerintah Indonesia memperkuat kerja sama dengan pihak terkait untuk membantah tuduhan tersebut melalui on site verification pada 4-5 Maret 2020 di Kementerian Perdagangan serta penyampaian argumen lanjutan dalam legal dan rebuttal brief pascaverifikasi.
"Indonesia sebenarnya dapat memenangkan kasus ini tanpa diterapkannya bea masuk subsidi jika pihak otoritas AS berlaku adil (fair) dengan tidak memasukkan unsur upstream subsidy," ujar Menteri Perdagangan Agus Suparmanto di Jakarta, Selasa (20/10/2020).
Sementara, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Didi Sumedi menyampaikan, Indonesia hanya punya satu produsen wind tower, namun sangat prospektif dalam menunjang kinerja ekspor,terutama ke pasar AS yang menembus USD90 Juta pada 2019.
Nilai ini naik tajam dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar USD64 Juta. "Upaya ini menuai hasil yang diharapkan, USDOC menggugurkan tuduhan perolehan CTL di bawah harga wajar oleh produsen wind tower. Namun di luar dugaan, USDOC memasukkan unsur upstream subsidy yang pada awalnya diputuskan untuk ditunda hingga pelaksanaan administrative reviewpertama," katanya.
Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati menyampaikan, Pemerintah Indonesia melibatkan lintas kementerian/lembaga serta Asosiasi. Pemerintah Indonesia menghimpun dukungan dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Hukum & HAM, BUMN, PLN, EximBank, dan Penjaminan Infrastruktur Indonesia.
"Produsen CTL Indonesia turut terkena imbasnya. Kami meminta banyak dokumen dan data strategis Krakatau Steel dan Krakatau Posco untuk kepentingan penyelidikan di tengah kesibukan mereka membenahi kondisi internal," ungkap Pradnyawati.
Margin lainnya sebesar 0,17% dan 0,03% dihitung USDOC dari subsidi listrik dan pembebasan PPh Impor. Hasil akhir ini jauh lebih baik dari hasil sementara (preliminary determination) yang ditetapkan USDOC pada 6 Desember 2019 lalu. Pada saat tersebut, margin subsidi yang ditetapkan mencapai 20,29%, dimana 20,09% disebabkan anggapan Amerika Serikat (AS) terkait adanya kebijakan Indonesia kepada produsen bahan baku CTL untuk menjual CTL tersebut di bawah harga wajar (less than adequate remuneration) kepada produsen wind tower dalam negeri.
(Baca Juga: Neraca Perdagangan Surplus Indikasi Ekonomi RI Bisa Bertahan?)
Hal ini dijadikan alasan oleh USDOC untuk melakukan pembandingan (benchmarking) harga CTL dengan sumber lain yang dianggap wajar. Pembandingan harga ini menyebabkan margin subsidi melambung tinggi. Menyadari hal itu, Pemerintah Indonesia memperkuat kerja sama dengan pihak terkait untuk membantah tuduhan tersebut melalui on site verification pada 4-5 Maret 2020 di Kementerian Perdagangan serta penyampaian argumen lanjutan dalam legal dan rebuttal brief pascaverifikasi.
"Indonesia sebenarnya dapat memenangkan kasus ini tanpa diterapkannya bea masuk subsidi jika pihak otoritas AS berlaku adil (fair) dengan tidak memasukkan unsur upstream subsidy," ujar Menteri Perdagangan Agus Suparmanto di Jakarta, Selasa (20/10/2020).
Sementara, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Didi Sumedi menyampaikan, Indonesia hanya punya satu produsen wind tower, namun sangat prospektif dalam menunjang kinerja ekspor,terutama ke pasar AS yang menembus USD90 Juta pada 2019.
Nilai ini naik tajam dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar USD64 Juta. "Upaya ini menuai hasil yang diharapkan, USDOC menggugurkan tuduhan perolehan CTL di bawah harga wajar oleh produsen wind tower. Namun di luar dugaan, USDOC memasukkan unsur upstream subsidy yang pada awalnya diputuskan untuk ditunda hingga pelaksanaan administrative reviewpertama," katanya.
Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati menyampaikan, Pemerintah Indonesia melibatkan lintas kementerian/lembaga serta Asosiasi. Pemerintah Indonesia menghimpun dukungan dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Hukum & HAM, BUMN, PLN, EximBank, dan Penjaminan Infrastruktur Indonesia.
"Produsen CTL Indonesia turut terkena imbasnya. Kami meminta banyak dokumen dan data strategis Krakatau Steel dan Krakatau Posco untuk kepentingan penyelidikan di tengah kesibukan mereka membenahi kondisi internal," ungkap Pradnyawati.
tulis komentar anda