Hati-hati Melangkah dalam Perdagangan Bebas ASEAN Plus, Bisa-bisa RI Cuman Jadi Pasar
Senin, 16 November 2020 - 12:32 WIB
JAKARTA - ASEAN dan lima negara Asia-Pasifik telah menyepakati Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) . Merespons hal ini, Indonesia harus mempersiapkan diri secara matang menghadapi perdagangan bebas ini.
Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marwan Jafar mengingatkan, pemerintah untuk hati-hati dalam melangkah seiring dengan kesepakatan RCEP ini. Apalagi lima negara di luar ASEAN merupakan raksasa ekonomi dunia, seperti China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Kesepakatan bak dua sisi mata pisau, yang bisa menguntungkan dan merugikan, Indonesia.
“Kalau kita tidak hati-hati, bisa dijadikan pasar oleh mereka. Karena itu, regulasinya harus dibuat secara ketat. Misalnya, pengurangan impor itu itemnya apa saja. Itu harus diatur rigid dan lebih detail. Kedua, tingkat competitiveness bisa bersaing dalam pasar tadi. Kalau produk kita tidak punya competitive advantage, sekali kita akan menjadi pasar karena produk kita tidak laku,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Minggu (15/11/2020).
(Baca Juga: ASEAN, China, Jepang Bersatu Siap Kuasai Ekonomi )
Pemerintah harus segera memikirkan strategi dan langkah konkret dalam menghadapi RCEP. Indonesia memiliki kelemahan dalam menciptakan suatu produk. Selama ini, Indonesia lebih banyak mengekspor barang mentah. Seharusnya industri dalam negeri didorong untuk mengolah bahan-bahan mentah itu. Minimal yang diekspor itu sudah barang setengah jadi atau jadi.
Marwan meminta kementerian dan lembaga (K/L) terkait dengan kesepakatan ini untuk membuat iklim usaha Indonesia menjadi kompetitif. Hal itu bertujuan untuk menarik investasi.
Indonesia harus bersaing dengan negara ASEAN, seperti Vietnam dan Thailand. Marwan pun menyoroti pemerintah yang begitu optimis bahwa kesepakatan ini akan menguntungkan Indonesia.
Agus menyebut kesepakatan ini akan meningkatkan ekspor sebesar 8-11% dan menarik investasi 18 hingga 22%. Semua itu akan terjadi dalam lima tahun. “Itu masih angan-angan. Belum ada sampai hari ini. Apa coba barangnya? Wong neraca perdagangan kita masih deficit. Apalagi omnibus law masih bermasalah dan dibawa ke MK,” tuturnya.
(Baca Juga: Perdagangan Bebas ASEAN Plus Disepakati, Apindo: Persaingan Makin Sengit! )
Politis Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu setuju bahwa Indonesia sebagai negara berkembang membutuhkan investasi. Menurutnya, investasi akan datang jika ada kepercayaan dari negara lain terhadap Indonesia. Di sisi lain, pemerintah perlu untuk memikirkan dan membangun kemandirian industri dalam negeri sehingga tidak tergantung terhadap negara lain.
“Jangan bangga dengan investasi. Kita memang butuh investasi, tetapi membangun kemandirian industri (penting). Itu titik tolak (kebangkitan) dari situ. Jangan sampai kita menjadi pasar orang lain. Saya kok tidak yakin dengan Analisa seperti itu (RCEP menguntungkan) dengan ekonomi dunia seperti ini,” pungkasnya.
Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marwan Jafar mengingatkan, pemerintah untuk hati-hati dalam melangkah seiring dengan kesepakatan RCEP ini. Apalagi lima negara di luar ASEAN merupakan raksasa ekonomi dunia, seperti China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Kesepakatan bak dua sisi mata pisau, yang bisa menguntungkan dan merugikan, Indonesia.
“Kalau kita tidak hati-hati, bisa dijadikan pasar oleh mereka. Karena itu, regulasinya harus dibuat secara ketat. Misalnya, pengurangan impor itu itemnya apa saja. Itu harus diatur rigid dan lebih detail. Kedua, tingkat competitiveness bisa bersaing dalam pasar tadi. Kalau produk kita tidak punya competitive advantage, sekali kita akan menjadi pasar karena produk kita tidak laku,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Minggu (15/11/2020).
(Baca Juga: ASEAN, China, Jepang Bersatu Siap Kuasai Ekonomi )
Pemerintah harus segera memikirkan strategi dan langkah konkret dalam menghadapi RCEP. Indonesia memiliki kelemahan dalam menciptakan suatu produk. Selama ini, Indonesia lebih banyak mengekspor barang mentah. Seharusnya industri dalam negeri didorong untuk mengolah bahan-bahan mentah itu. Minimal yang diekspor itu sudah barang setengah jadi atau jadi.
Marwan meminta kementerian dan lembaga (K/L) terkait dengan kesepakatan ini untuk membuat iklim usaha Indonesia menjadi kompetitif. Hal itu bertujuan untuk menarik investasi.
Indonesia harus bersaing dengan negara ASEAN, seperti Vietnam dan Thailand. Marwan pun menyoroti pemerintah yang begitu optimis bahwa kesepakatan ini akan menguntungkan Indonesia.
Agus menyebut kesepakatan ini akan meningkatkan ekspor sebesar 8-11% dan menarik investasi 18 hingga 22%. Semua itu akan terjadi dalam lima tahun. “Itu masih angan-angan. Belum ada sampai hari ini. Apa coba barangnya? Wong neraca perdagangan kita masih deficit. Apalagi omnibus law masih bermasalah dan dibawa ke MK,” tuturnya.
(Baca Juga: Perdagangan Bebas ASEAN Plus Disepakati, Apindo: Persaingan Makin Sengit! )
Politis Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu setuju bahwa Indonesia sebagai negara berkembang membutuhkan investasi. Menurutnya, investasi akan datang jika ada kepercayaan dari negara lain terhadap Indonesia. Di sisi lain, pemerintah perlu untuk memikirkan dan membangun kemandirian industri dalam negeri sehingga tidak tergantung terhadap negara lain.
“Jangan bangga dengan investasi. Kita memang butuh investasi, tetapi membangun kemandirian industri (penting). Itu titik tolak (kebangkitan) dari situ. Jangan sampai kita menjadi pasar orang lain. Saya kok tidak yakin dengan Analisa seperti itu (RCEP menguntungkan) dengan ekonomi dunia seperti ini,” pungkasnya.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda