Kajian RUU Cipta Kerja Menunjukkan Kontroversi Disebabkan Kurang Sosialisasi
Senin, 11 Mei 2020 - 14:47 WIB
Kajian juga dilengkapi teknik kuisioner untuk memeroleh pandangan alternatif di luar pandangan pengurus inti. Baik kuesioner maupun konsep interview disusun dan dirumuskan dengan melibatkan praktisi hukum, aktivis buruh, dan pelaku usaha.
Lebih jauh, studi ini mengidentifikasi beberapa aspek yang diduga menjadi alasan kelompok buruh menolaknya. Berdasarkan pembacaan terhadap UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan -sebagai salah satu undang-undang yang terdampak- dengan membandingkannya pada RUU Cipta Kerja, hampir seluruh permasalahan yang dikhawatirkan buruh tidak cukup signifikan terkonfirmasi.
“Pembacaan yang tidak komprehensif terhadap RUU Cipta Kerja, atau bahkan “kegagalan” memahami paradigma perubahan undang-undang, tampaknya telah memicu sebaran isu RUU Cipta Kerja yang jauh melampaui keadaan sebenarnya. Kuatnya arus penolakan, terutama oleh kelompok buruh, pada gilirannya mereduksi aspek-aspek kemanfaatan yang menjadi semangat dasar lahirnya RUU Cipta Kerja, seperti kemudahan perizinan; pemangkasan birokrasi yang terlalu panjang; perlindungan tenaga kerja, ” terang Eko.
Anggapan bahwa RUU Cipta Kerja akan menghidupkan kembali “Koeli Ordonantie” (Perbudakan Modern), menurut Eko justru terbantah dengan dihapusnya pasal 64-65 UU Nomor 13 Tahun 2003 melalui RUU Cipta Kerja.
“Sejauh ini, pasal tersebut diduga menjadi dasar pemberlakuan tenaga kerja outsourcing (alih daya) yang seyogianya ditolak di kalangan buruh. Keberpihakan RUU Cipta Kerja terhadap kelompok buruh dengan dihapusnya pasal-pasal kurang menguntungkan pada UU Nomor 13 Tahun 2003 pun abai dalam perhatian publik,” terang Eko lebih lanjut.
Pemahaman terhadap RUU Cipta Kerja di ruang publik menurut Eko banyak dipengaruhi informasi yang tersebar di media sosial dan media daring. Berdasarkan kuesioner yang disebar, sumber informasi dari Whatsapp (34,21%), Facebook (18,42%), dan Media Online (28,95%), menempati posisi tertinggi sebagai sumber informasi partisipan tentang RUU Cipta Kerja.
“Jika pada bagian terdahulu media sosial dipetakan sebagai kanal informasi bagi suara-suara yang menolak RUU, maka paparan data ini telah menguatkan dugaan itu," kata Eko.
Menurutnya, isu-isu yang menguat di ruang publik dalam konstruksi wacana RUU Cipta kerja justru terjadi pada hal-hal yang tidak substansial. Isu hilangnya hak cuti perempuan haid dan kebebasan berserikat misalnya, dinilai Eko menguat tapi tanpa rujukan jelas.
"Pasal-pasal yang mengatur bagian hak cuti haid dan kebebasan berserikat faktanya tidak dihapus ataupun diubah, yang artinya tetap berlaku. Dalam hal inilah “kegagalan” memahami paradigma perubahan undang-undang ingin ditekankan,” tutup Eko
Lebih jauh, studi ini mengidentifikasi beberapa aspek yang diduga menjadi alasan kelompok buruh menolaknya. Berdasarkan pembacaan terhadap UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan -sebagai salah satu undang-undang yang terdampak- dengan membandingkannya pada RUU Cipta Kerja, hampir seluruh permasalahan yang dikhawatirkan buruh tidak cukup signifikan terkonfirmasi.
“Pembacaan yang tidak komprehensif terhadap RUU Cipta Kerja, atau bahkan “kegagalan” memahami paradigma perubahan undang-undang, tampaknya telah memicu sebaran isu RUU Cipta Kerja yang jauh melampaui keadaan sebenarnya. Kuatnya arus penolakan, terutama oleh kelompok buruh, pada gilirannya mereduksi aspek-aspek kemanfaatan yang menjadi semangat dasar lahirnya RUU Cipta Kerja, seperti kemudahan perizinan; pemangkasan birokrasi yang terlalu panjang; perlindungan tenaga kerja, ” terang Eko.
Anggapan bahwa RUU Cipta Kerja akan menghidupkan kembali “Koeli Ordonantie” (Perbudakan Modern), menurut Eko justru terbantah dengan dihapusnya pasal 64-65 UU Nomor 13 Tahun 2003 melalui RUU Cipta Kerja.
“Sejauh ini, pasal tersebut diduga menjadi dasar pemberlakuan tenaga kerja outsourcing (alih daya) yang seyogianya ditolak di kalangan buruh. Keberpihakan RUU Cipta Kerja terhadap kelompok buruh dengan dihapusnya pasal-pasal kurang menguntungkan pada UU Nomor 13 Tahun 2003 pun abai dalam perhatian publik,” terang Eko lebih lanjut.
Pemahaman terhadap RUU Cipta Kerja di ruang publik menurut Eko banyak dipengaruhi informasi yang tersebar di media sosial dan media daring. Berdasarkan kuesioner yang disebar, sumber informasi dari Whatsapp (34,21%), Facebook (18,42%), dan Media Online (28,95%), menempati posisi tertinggi sebagai sumber informasi partisipan tentang RUU Cipta Kerja.
“Jika pada bagian terdahulu media sosial dipetakan sebagai kanal informasi bagi suara-suara yang menolak RUU, maka paparan data ini telah menguatkan dugaan itu," kata Eko.
Menurutnya, isu-isu yang menguat di ruang publik dalam konstruksi wacana RUU Cipta kerja justru terjadi pada hal-hal yang tidak substansial. Isu hilangnya hak cuti perempuan haid dan kebebasan berserikat misalnya, dinilai Eko menguat tapi tanpa rujukan jelas.
"Pasal-pasal yang mengatur bagian hak cuti haid dan kebebasan berserikat faktanya tidak dihapus ataupun diubah, yang artinya tetap berlaku. Dalam hal inilah “kegagalan” memahami paradigma perubahan undang-undang ingin ditekankan,” tutup Eko
(akr)
tulis komentar anda