Maknyus! Ada UU Cipta Kerja, Ini Sistem Perizinan yang Diinginkan Pengusaha
Senin, 30 November 2020 - 14:35 WIB
JAKARTA - UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 mengatur lebih lanjut simplifikasi perizinan usaha . Pasal-pasal terkait perizinan paling dominan diintegrasikan dalam UU Cipta Kerja.
Kriteria untuk perizinan berbasis risiko, yakni proses perizinan kegiatan usaha diubah dari berbasis izin ke risiko, pendaftaran dengan nomor induk bersama (NIB), memenuhi standar profesi bersertifikat, serta wajib memiliki izin. ( Baca juga:Sudah 30 RPP dan RPerpres UU Cipta Kerja Diunggah, Ayo Beri Masukan! )
"UU Cipta Kerja mengubah, menghapus dan atau menetapkan peraturan baru," kata Direktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Research Institute Agung Pambudhi saat webinar di Jakarta, Senin (30/11/2020).
Dalam mengurus perizinan usaha berbasis risiko, Apindo memandang risk based approach agar menempatkan pemerintah atau pemda sebagai pemegang otoritas yang tegas mengambil keputusan untuk penerbitan perizinan usaha, tidak menyerahkannya ke masyarakat. Kemudian, lanjut dia, perlunya ditegaskan prinsip fiktif positif bahwa permohonan perizinan dianggap disetujui jika dalam batas waktu tertentu tidak ada keputusan dari pemda.
Terkait perizinan lingkungan, pemanfaatan ruang yang sudah mengikuti rencana detail tata ruang (RDTR) jika di kemudian hari ternyata RDTR tersebut dinilai keliru atau direvisi merupakan tanggung jawab pemda, bukan pemegang izin yang harus menanggung resiko.
"Keterlibatan masyarakat dalam persetujuan izin lingkungan harus diletakkan secara proporsional," ungkapnya.
Dengan demikian dalam penyusunan RDTR diperlukan pendekatan partisipatif yang melibatkan dunia usaha dan cost & benefit analysis dalam penyusunan perda atau perkada. ( Baca juga:FPI Belum Dapat Pastikan Habib Rizieq Penuhi Panggilan Polisi )
Selain itu, yang diperlukan secara mendasar adalah mind-ware dalam business process pelayanan perizinan yang lebih sederhana. Dia menyebut, sebaiknya penggunaan IT baik software maupun hardware-nya lebih sebagai pendukung sistem digitalisasi (pendaftaran, pembayaran, tracking system, complaint dan lainya.
Kriteria untuk perizinan berbasis risiko, yakni proses perizinan kegiatan usaha diubah dari berbasis izin ke risiko, pendaftaran dengan nomor induk bersama (NIB), memenuhi standar profesi bersertifikat, serta wajib memiliki izin. ( Baca juga:Sudah 30 RPP dan RPerpres UU Cipta Kerja Diunggah, Ayo Beri Masukan! )
"UU Cipta Kerja mengubah, menghapus dan atau menetapkan peraturan baru," kata Direktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Research Institute Agung Pambudhi saat webinar di Jakarta, Senin (30/11/2020).
Dalam mengurus perizinan usaha berbasis risiko, Apindo memandang risk based approach agar menempatkan pemerintah atau pemda sebagai pemegang otoritas yang tegas mengambil keputusan untuk penerbitan perizinan usaha, tidak menyerahkannya ke masyarakat. Kemudian, lanjut dia, perlunya ditegaskan prinsip fiktif positif bahwa permohonan perizinan dianggap disetujui jika dalam batas waktu tertentu tidak ada keputusan dari pemda.
Terkait perizinan lingkungan, pemanfaatan ruang yang sudah mengikuti rencana detail tata ruang (RDTR) jika di kemudian hari ternyata RDTR tersebut dinilai keliru atau direvisi merupakan tanggung jawab pemda, bukan pemegang izin yang harus menanggung resiko.
"Keterlibatan masyarakat dalam persetujuan izin lingkungan harus diletakkan secara proporsional," ungkapnya.
Dengan demikian dalam penyusunan RDTR diperlukan pendekatan partisipatif yang melibatkan dunia usaha dan cost & benefit analysis dalam penyusunan perda atau perkada. ( Baca juga:FPI Belum Dapat Pastikan Habib Rizieq Penuhi Panggilan Polisi )
Selain itu, yang diperlukan secara mendasar adalah mind-ware dalam business process pelayanan perizinan yang lebih sederhana. Dia menyebut, sebaiknya penggunaan IT baik software maupun hardware-nya lebih sebagai pendukung sistem digitalisasi (pendaftaran, pembayaran, tracking system, complaint dan lainya.
(uka)
Lihat Juga :
tulis komentar anda