Inclusive Closed Loop: Jalan Menuju Industri Sawit Berkelanjutan
Kamis, 03 Desember 2020 - 18:07 WIB
JAKARTA - Praktik perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dinilai sebagai solusi bagi pemenuhan kebutuhan dunia akan minyak nabati . Dengan lahan yang lebih sedikit, sawit mampu menghasilkan minyak nabati yang lebih banyak dibandingkan sumber minyak nabati lainnya.
"Populasi global yang diperkirakan mencapai 9,8 miliar pada tahun 2050 berpotensi meningkatkan kebutuhan minyak nabati hingga 200 juta ton setiap tahun untuk kebutuhan pangan, energi dan juga barang kebutuhan sehari-hari," ujar Chairman Sinar Mas Agribusiness & Food Franky Oesman Widjaja dalam keterangan tertulisnya, Kamis (3/12/2020).
(Baca Juga: Sawit Penyelamat Saat Krisis)
Saat memberikan sambutan pada Indonesian Palm Oil Conference 2020 New Normal: Palm Oil Industry in the New Normal Economy, Franky menegaskan bahwa minyak kelapa sawit dapat menjadi solusi jangka panjang karena produktivitasnya yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.
Franky menambahkan, pengembangannya melalui skema Inclusive Closed Loop yang tidak saja meningkatkan produksi secara berkelanjutan, namun juga meningkatkan kesejahteraan para petani dan mengurangi pelepasan emisi. Skema ini telah dijalankan oleh perusahaan/lembaga yang tergabung di dalam Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture (PISAgro) dan telah menjangkau hingga 1 juta petani pada awal tahun 2000.
"Hasilnya, produktivitas mereka meningkat antara 40% sampai 76%, sementara pendapatan bertambah antara 50% hingga 200%, bergantung pada jenis komoditasnya," kata dia.
Melalui kemitraan lintas pihak, petani benar-benar mendapatkan pendampingan penuh dari perusahaan. Franky optimistis komoditas minyak sawit dapat berkontribusi mengantarkan Indonesia menjadi ekonomi ke tujuh dunia terbesar dari segi produk domestik bruto (PDB) di tahun 2030, sebagaimana analisis sejumlah lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF), McKinsey dan Price Waterhouse.
Lebih lanjut, Franky mengatakan, petani kecil yang mengelola hingga 41% dari total 16,38 juta hektare perkebunan kelapa sawit, adalah kelompok yang paling rentan dalam rantai nilai. Produktivitasnya rendah, rata-rata 2-3 ton per hektare per tahun, jauh tertinggal dibandingkan standar industri yang 5-6 ton per hektare per tahun.
"Pohon kelapa sawit di Indonesia saat ini banyak yang sudah tua, dan banyak pula yang tidak memakai benih bersertifikat sehingga perlu peremajaan," ujarnya.
(Baca Juga: Topang Ekonomi Saat Pandemi, Pemerintah Tegaskan Dukungan ke Industri Sawit)
Pemerintah Indonesia telah mempromosikan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) untuk mengganti tanaman sawit yang sudah tidak produktif agar roduktivitasnya sesuai standar industri, dengan skema inclusive closed loop.
"Dengan model kemitraan ini, petani kecil mendapatkan bimbingan praktik budidaya pertanian yang baik dan ramah lingkungan, benih unggul bersertifikat, teknologi tepat guna, literasi keuangan, akses pendanaan berikut jaminan penyerapan hasil produksi oleh perusahaan pendamping (off-taker) yang berlangsung di bawah naungan koperasi," tutupnya.
"Populasi global yang diperkirakan mencapai 9,8 miliar pada tahun 2050 berpotensi meningkatkan kebutuhan minyak nabati hingga 200 juta ton setiap tahun untuk kebutuhan pangan, energi dan juga barang kebutuhan sehari-hari," ujar Chairman Sinar Mas Agribusiness & Food Franky Oesman Widjaja dalam keterangan tertulisnya, Kamis (3/12/2020).
(Baca Juga: Sawit Penyelamat Saat Krisis)
Saat memberikan sambutan pada Indonesian Palm Oil Conference 2020 New Normal: Palm Oil Industry in the New Normal Economy, Franky menegaskan bahwa minyak kelapa sawit dapat menjadi solusi jangka panjang karena produktivitasnya yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.
Franky menambahkan, pengembangannya melalui skema Inclusive Closed Loop yang tidak saja meningkatkan produksi secara berkelanjutan, namun juga meningkatkan kesejahteraan para petani dan mengurangi pelepasan emisi. Skema ini telah dijalankan oleh perusahaan/lembaga yang tergabung di dalam Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture (PISAgro) dan telah menjangkau hingga 1 juta petani pada awal tahun 2000.
"Hasilnya, produktivitas mereka meningkat antara 40% sampai 76%, sementara pendapatan bertambah antara 50% hingga 200%, bergantung pada jenis komoditasnya," kata dia.
Melalui kemitraan lintas pihak, petani benar-benar mendapatkan pendampingan penuh dari perusahaan. Franky optimistis komoditas minyak sawit dapat berkontribusi mengantarkan Indonesia menjadi ekonomi ke tujuh dunia terbesar dari segi produk domestik bruto (PDB) di tahun 2030, sebagaimana analisis sejumlah lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF), McKinsey dan Price Waterhouse.
Lebih lanjut, Franky mengatakan, petani kecil yang mengelola hingga 41% dari total 16,38 juta hektare perkebunan kelapa sawit, adalah kelompok yang paling rentan dalam rantai nilai. Produktivitasnya rendah, rata-rata 2-3 ton per hektare per tahun, jauh tertinggal dibandingkan standar industri yang 5-6 ton per hektare per tahun.
"Pohon kelapa sawit di Indonesia saat ini banyak yang sudah tua, dan banyak pula yang tidak memakai benih bersertifikat sehingga perlu peremajaan," ujarnya.
(Baca Juga: Topang Ekonomi Saat Pandemi, Pemerintah Tegaskan Dukungan ke Industri Sawit)
Pemerintah Indonesia telah mempromosikan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) untuk mengganti tanaman sawit yang sudah tidak produktif agar roduktivitasnya sesuai standar industri, dengan skema inclusive closed loop.
"Dengan model kemitraan ini, petani kecil mendapatkan bimbingan praktik budidaya pertanian yang baik dan ramah lingkungan, benih unggul bersertifikat, teknologi tepat guna, literasi keuangan, akses pendanaan berikut jaminan penyerapan hasil produksi oleh perusahaan pendamping (off-taker) yang berlangsung di bawah naungan koperasi," tutupnya.
(fai)
tulis komentar anda