Sakit Kronis, Begini Kondisi Mengenaskan Bumiputera
Senin, 22 Februari 2021 - 20:45 WIB
Terakhir pada tanggal 23 Desember 2020, RUA LB digelar dengan jumlah 3 (tiga) orang Peserta RUA dengan keputusan-keputusan yang dilaksanakan oleh Organ Perusahaan yang masih duduk hingga saat ini. Keputusan-keputusan tersebut tertuang dalam Akta Notaris Maria Gunarti, SH. MKn tanggal 4 Tahun 2021.
Anehnya Notaris menuangkan keputusan-keputusan yang sesungguhnya telah jelas bahwa dengan RUA LB yang diikuti oleh Peserta RUA sebanyak 3 (tiga) orang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar terkait dengan ketentuan kuorumnya suatu keputusan yang harus diikuti oleh 2/3 dari 11 Peserta RUA. Ditambah mekanisme penyelenggaraan RUA LB bertentangan dengan ketentuan dalam PP 87 Tahun 2019. Notaris tidak cermat dan mengabaikan ketentuan dalam PP 87 Tahun 2019 maupun Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 yang demikian dipertanyakan kode etiknya dalam jabatan Notaris.
Pasca dibacakannya Keputusan MK RI pada tanggal 4 Januari 2021, seluruh ketentuan dalam PP 87 Tahun 2019 praktis tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Hal demikian telah dinyatakan dalam surat yang ditandatangani oleh Plt. Direktur Utama yang beredar luas sebagaimana tertuang dalam surat nomor 45/DIR/Int/II/2021 tertanggal 8 Februari 2021 perihal Penyampaian Hasil Keputusan Mahkamah Konstitusi.
Dasar pengangkatan Plt. Direktur Utama inipun masih dipertanyakan, karena belum ditemukan secara jelas pengangkatannya melalui Akta Notaris yang mana, mengingat nama Zaenal Abidin diketahui masih menjabat sebagai Komisaris Independen. Dalam tatanan organisasi, seorang Komisaris dari unsur independen seharusnya dituntut independensinya dalam mengimbangi peranan komisaris-komisaris yang ada. Namun kenyataannya sikap tersebut tidak menunjukkan independensi dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan AJB Bumiputera 1912 yang dijalankan oleh seorang Direksi.
Di samping hal tersebut, Ketua BPA merangkap sebagai Komisaris Utama yang pengangkatannyapun masih dipertanyakan dasar hukumnya dan menggunakan mekanisme ketentuan yang mana dan bahkan OJK telah menyatakan pengangkatan tersebut tidak sah. Ditambah lagi tuntutan pembayaran gaji bulanan serta pesangon sebagaimana beredar luas dalam pemberitaan-pemberitaan. Dalam kondisi AJB Bumiputera 1912 tengah mengalami tekanan likuiditas tinggi, dengan banyaknya tunggakan-tunggakan kewajiban klaim asuransi kepada pemegang polis yang hampir menembus angka Rp12 triliun serta tunggakan-tunggakan kepada Pekerja berupa belum terbayarnya sisa gaji selama tiga bulan, sumbangan biaya pendidikan, serta hak-hak normatif lainnya sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), dan tunggakan kepada pihak ketiga, sudah sepatutnya praktik-praktik demikian dipertanyakan oleh banyak pihak.
Sebagai Pemilik Perusahaan dan di tengah kondisi usaha mengalami kerugian, jika menggunakan pendekatan perbandingan badan usaha Perseroan Terbatas (PT), seharusnya Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) menambah setoran modal ke Perusahaan guna mencukupi kesenjangan, sehingga hak-hak yang tertunggak dapat diselesaikan dengan baik.
Jika menggunakan pendekatan perbandingan badan usaha Koperasi, maka setiap kerugian yang terjadi ditanggung secara bersama-sama oleh Anggota. Kira-kira Usaha Bersama lebih pas menggunakan pendekatan yang mana ? Namun yang jelas dalam Anggaran Dasarnya khususnya Pasal 38 telah diatur secara jelas. Kurang lebih hakekatnya sama, dalam mengatasi kerugian, dikembalikan pada Pemilik atau representasi pemilik, sehingga dalam situasi usaha rugi bukannya mengambil asset yang diakuinya sebagai hak. Oleh karenanya, antara hak yang selama ini diambil oleh Anggota BPA berupa gaji bulanan, fasilitas-fasilitas, serta ketentuan pesangon, tentunya bertolak belakang dengan karakteristik bentuk Usaha Bersama.
Pemegang Polis sebagai kumpulan Pemilik Perusahaan sudah sepatutnya mempertanyakan wakilnya yang duduk di masing-masing Daerah Pemilihan masing-masing, mengapa wakil-wakilnya dapat bertindak demikian dan bahkan telah secara nyata menciderai anggota-anggota yang diwakilinya dengan manfaat asuransi dari waktu dan jumlah yang selazimnya dapat dinikmati tepat waktu.
Pemegang Polis telah menuntut hak berupa Manfaat Asuransinya kepada Direksi sebagaimana tercermin dalam Produk Asuransi yang dimanfaatkan, namun jangan lupa bahwa Pemegang Polis juga merupakan Anggota / Pemilik Usaha Bersama yang hak-haknya diwakili oleh Anggota BPA, sehingga wajib mempertanyakan kepada Anggota BPA bagaimana selama ini duduk dalam Organ Peerusahaan tertinggi.
Praktek-praktek yang tidak lazim juga tercermin dari suatu tindakan yang menurut Anggota BPA pada Sidang Luar Biasa tanggal 23 Desember 2020, telah memberhentikan 3 (tiga) orang Direksi bernama Faizal Karim, SG. Subagyo, dan Wirzon Sofyan sebagai akibat adanya pelanggaran Anggaran Dasar. Uniknya, orang-orang yang dianggap telah melanggar Anggaran Dasar, diangkat kembali sebagai Staf Ahli dengan status kontrak dan bergaji besar. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa Petinggi AJB Bumiputera 1912 memang terbiasa dengan budaya melanggar ketentuan. Anggaran Dasar yang merupakan kitab suci dan aturan tertinggi AJB Bumiputera 1912 pun biasa dilanggar.
Anehnya Notaris menuangkan keputusan-keputusan yang sesungguhnya telah jelas bahwa dengan RUA LB yang diikuti oleh Peserta RUA sebanyak 3 (tiga) orang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar terkait dengan ketentuan kuorumnya suatu keputusan yang harus diikuti oleh 2/3 dari 11 Peserta RUA. Ditambah mekanisme penyelenggaraan RUA LB bertentangan dengan ketentuan dalam PP 87 Tahun 2019. Notaris tidak cermat dan mengabaikan ketentuan dalam PP 87 Tahun 2019 maupun Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 yang demikian dipertanyakan kode etiknya dalam jabatan Notaris.
Pasca dibacakannya Keputusan MK RI pada tanggal 4 Januari 2021, seluruh ketentuan dalam PP 87 Tahun 2019 praktis tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Hal demikian telah dinyatakan dalam surat yang ditandatangani oleh Plt. Direktur Utama yang beredar luas sebagaimana tertuang dalam surat nomor 45/DIR/Int/II/2021 tertanggal 8 Februari 2021 perihal Penyampaian Hasil Keputusan Mahkamah Konstitusi.
Dasar pengangkatan Plt. Direktur Utama inipun masih dipertanyakan, karena belum ditemukan secara jelas pengangkatannya melalui Akta Notaris yang mana, mengingat nama Zaenal Abidin diketahui masih menjabat sebagai Komisaris Independen. Dalam tatanan organisasi, seorang Komisaris dari unsur independen seharusnya dituntut independensinya dalam mengimbangi peranan komisaris-komisaris yang ada. Namun kenyataannya sikap tersebut tidak menunjukkan independensi dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan AJB Bumiputera 1912 yang dijalankan oleh seorang Direksi.
Di samping hal tersebut, Ketua BPA merangkap sebagai Komisaris Utama yang pengangkatannyapun masih dipertanyakan dasar hukumnya dan menggunakan mekanisme ketentuan yang mana dan bahkan OJK telah menyatakan pengangkatan tersebut tidak sah. Ditambah lagi tuntutan pembayaran gaji bulanan serta pesangon sebagaimana beredar luas dalam pemberitaan-pemberitaan. Dalam kondisi AJB Bumiputera 1912 tengah mengalami tekanan likuiditas tinggi, dengan banyaknya tunggakan-tunggakan kewajiban klaim asuransi kepada pemegang polis yang hampir menembus angka Rp12 triliun serta tunggakan-tunggakan kepada Pekerja berupa belum terbayarnya sisa gaji selama tiga bulan, sumbangan biaya pendidikan, serta hak-hak normatif lainnya sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), dan tunggakan kepada pihak ketiga, sudah sepatutnya praktik-praktik demikian dipertanyakan oleh banyak pihak.
Sebagai Pemilik Perusahaan dan di tengah kondisi usaha mengalami kerugian, jika menggunakan pendekatan perbandingan badan usaha Perseroan Terbatas (PT), seharusnya Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) menambah setoran modal ke Perusahaan guna mencukupi kesenjangan, sehingga hak-hak yang tertunggak dapat diselesaikan dengan baik.
Jika menggunakan pendekatan perbandingan badan usaha Koperasi, maka setiap kerugian yang terjadi ditanggung secara bersama-sama oleh Anggota. Kira-kira Usaha Bersama lebih pas menggunakan pendekatan yang mana ? Namun yang jelas dalam Anggaran Dasarnya khususnya Pasal 38 telah diatur secara jelas. Kurang lebih hakekatnya sama, dalam mengatasi kerugian, dikembalikan pada Pemilik atau representasi pemilik, sehingga dalam situasi usaha rugi bukannya mengambil asset yang diakuinya sebagai hak. Oleh karenanya, antara hak yang selama ini diambil oleh Anggota BPA berupa gaji bulanan, fasilitas-fasilitas, serta ketentuan pesangon, tentunya bertolak belakang dengan karakteristik bentuk Usaha Bersama.
Pemegang Polis sebagai kumpulan Pemilik Perusahaan sudah sepatutnya mempertanyakan wakilnya yang duduk di masing-masing Daerah Pemilihan masing-masing, mengapa wakil-wakilnya dapat bertindak demikian dan bahkan telah secara nyata menciderai anggota-anggota yang diwakilinya dengan manfaat asuransi dari waktu dan jumlah yang selazimnya dapat dinikmati tepat waktu.
Pemegang Polis telah menuntut hak berupa Manfaat Asuransinya kepada Direksi sebagaimana tercermin dalam Produk Asuransi yang dimanfaatkan, namun jangan lupa bahwa Pemegang Polis juga merupakan Anggota / Pemilik Usaha Bersama yang hak-haknya diwakili oleh Anggota BPA, sehingga wajib mempertanyakan kepada Anggota BPA bagaimana selama ini duduk dalam Organ Peerusahaan tertinggi.
Praktek-praktek yang tidak lazim juga tercermin dari suatu tindakan yang menurut Anggota BPA pada Sidang Luar Biasa tanggal 23 Desember 2020, telah memberhentikan 3 (tiga) orang Direksi bernama Faizal Karim, SG. Subagyo, dan Wirzon Sofyan sebagai akibat adanya pelanggaran Anggaran Dasar. Uniknya, orang-orang yang dianggap telah melanggar Anggaran Dasar, diangkat kembali sebagai Staf Ahli dengan status kontrak dan bergaji besar. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa Petinggi AJB Bumiputera 1912 memang terbiasa dengan budaya melanggar ketentuan. Anggaran Dasar yang merupakan kitab suci dan aturan tertinggi AJB Bumiputera 1912 pun biasa dilanggar.
Lihat Juga :
tulis komentar anda