Pencabutan PKPU Terganjal Fee Pengurus, Karyawan GRP Minta Keadilan
Rabu, 10 Maret 2021 - 12:26 WIB
JAKARTA - Sidang Pencabutan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Gunung Raja Paksi (GRP) ditunda. Hal ini disebabkan oleh belum adanya jumlah imbalan jasa Pengurus PKPU yang disepakati.
“Jadi fee pengurus ini angkanya belum ketemu antara Debitur (GRP) dengan Pengurus, sehingga Hakim memutuskan untuk menunda persidangan,” ujar Kuasa Hukum GRP Rizky Hariyo Wibowo pada Selasa, 9 Maret 2021.
Perlu diketahui bahwa jumlah fee yang diajukan oleh tim Pengurus sebesar 4% dari DPT ( Daftar Piutang Tetap ) atau setara dengan Rp80 Miliar. Rizky menjelaskan, bahwa jumlah tersebut sangatlah besar dan tidak sebanding dengan tingkat kerumitan kasus.
“Kami rasa itu angka yang sangat besar dan tidak wajar. Karena kalau kita melihat dari sisi kerumitan, jelas bahwa kasus ini tidak rumit dan sejak awal kita sudah sampaikan ingin membayar utang dan tidak melakukan restrukturisasi,” jelas Rizky.
Oleh karena itu, tambah Rizky, Majelis Hakim akan memusyawarahkan berapa besaran imbalan yang dinilai layak untuk dibayarkan kepada tim Pengurus. Jika jumlah imbalan tersebut telah disepakati kedua belah pihak, maka Pencabutan PKPU dapat dilakukan.
Terpisah, Sekretaris Umum Pimpinan Unit Kerja (PUK) Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI) GRP Nur Holik menyampaikan rasa kekecewaannya terhadap penundaan sidang. Apalagi penundaan tersebut didasari oleh permintaan fee Pengurus yang terlalu besar.
“Dengan adanya ajuan fee yang besar itu tentu tidak sesuai dengan itikad baik dan berdampak terhadap pekerja,” ujar Nur Holik saat dihubungi via telepon pada Selasa, 9 Maret 2021.
Menurut Nur Holik, apabila jumlah Rp80 Miliar disetujui, hal tersebut dikhawatirkan berdampak terhadap pekerja GRP yang berjumlah 6.000 karyawan. “Jangan lupa, sekarang saat pandemi ini. Rp80 Miliar itu setara dengan 2 bulan gaji seluruh karyawan GRP. Kenapa dikasih ke orang yang tidak punya impact langsung ke perusahaan?” tegas Nur Holik.
Ia berharap status PKPU ini segera dicabut agar kegiatan perusahaan dapat berjalan kembali seperti semula. Oleh karena itu, ia memohon kepada Hakim untuk dapat memberikan putusan secara bijak.
“Kita peduli dengan kesejahteraan karyawan dan produktivitas perusahaan agar lancar kembali. Kita mohon keadilan ke Hakim, tolong selesaikan permasalahan ini dengan hati nurani dan mata terbuka karena berdampak langsung pada pekerja,” tutup Nur Holik.
“Jadi fee pengurus ini angkanya belum ketemu antara Debitur (GRP) dengan Pengurus, sehingga Hakim memutuskan untuk menunda persidangan,” ujar Kuasa Hukum GRP Rizky Hariyo Wibowo pada Selasa, 9 Maret 2021.
Perlu diketahui bahwa jumlah fee yang diajukan oleh tim Pengurus sebesar 4% dari DPT ( Daftar Piutang Tetap ) atau setara dengan Rp80 Miliar. Rizky menjelaskan, bahwa jumlah tersebut sangatlah besar dan tidak sebanding dengan tingkat kerumitan kasus.
“Kami rasa itu angka yang sangat besar dan tidak wajar. Karena kalau kita melihat dari sisi kerumitan, jelas bahwa kasus ini tidak rumit dan sejak awal kita sudah sampaikan ingin membayar utang dan tidak melakukan restrukturisasi,” jelas Rizky.
Oleh karena itu, tambah Rizky, Majelis Hakim akan memusyawarahkan berapa besaran imbalan yang dinilai layak untuk dibayarkan kepada tim Pengurus. Jika jumlah imbalan tersebut telah disepakati kedua belah pihak, maka Pencabutan PKPU dapat dilakukan.
Terpisah, Sekretaris Umum Pimpinan Unit Kerja (PUK) Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI) GRP Nur Holik menyampaikan rasa kekecewaannya terhadap penundaan sidang. Apalagi penundaan tersebut didasari oleh permintaan fee Pengurus yang terlalu besar.
“Dengan adanya ajuan fee yang besar itu tentu tidak sesuai dengan itikad baik dan berdampak terhadap pekerja,” ujar Nur Holik saat dihubungi via telepon pada Selasa, 9 Maret 2021.
Menurut Nur Holik, apabila jumlah Rp80 Miliar disetujui, hal tersebut dikhawatirkan berdampak terhadap pekerja GRP yang berjumlah 6.000 karyawan. “Jangan lupa, sekarang saat pandemi ini. Rp80 Miliar itu setara dengan 2 bulan gaji seluruh karyawan GRP. Kenapa dikasih ke orang yang tidak punya impact langsung ke perusahaan?” tegas Nur Holik.
Ia berharap status PKPU ini segera dicabut agar kegiatan perusahaan dapat berjalan kembali seperti semula. Oleh karena itu, ia memohon kepada Hakim untuk dapat memberikan putusan secara bijak.
“Kita peduli dengan kesejahteraan karyawan dan produktivitas perusahaan agar lancar kembali. Kita mohon keadilan ke Hakim, tolong selesaikan permasalahan ini dengan hati nurani dan mata terbuka karena berdampak langsung pada pekerja,” tutup Nur Holik.
(akr)
tulis komentar anda