Perhitungan Kerugian Kasus Jiwasraya Oleh BPK Disebut Berdasarkan Asumsi
Senin, 15 Maret 2021 - 16:44 WIB
JAKARTA - Kuasa hukum Benny Tjokro yang merupakan terdakwa skandal Jiwasraya , Bob Hasan menyebutkan, bahwa pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak memiliki perhitungan cermat serta tepat terhadap kerugian negara sebesar Rp16 triliun lebih yang dialamatkan ke kliennya. BPK, menurutnya sejauh ini tidak pernah membeberkan pembuktian asal audit kerugian negara tersebut.
“BPK tidak punya kepastian perhitungan berapa kerugian negara dari kasus Jiwasraya. Mereka (BPK) hanya menginformasikan kerugiannya negara sebesar Rp16 triliun lebih. Tapi dari mana asalnya, tidak pernah transparan,” ujar Bob di Jakarta.
Lebih lanjut Ia menyebutkan, kesimpulan yang disampaikan BPK mengenai kerugian negara sebesar Rp16 triliun tanpa pernah ada klasifikasi berapa banyak jumlah yang diakibatkan oleh perbuatan kliennya dan terdakwa lainnya yakni Komisaris PT Trada Alam Minera (TRAM) Heru Hidayat.
“Berapa yang dilakukan klien saya, Benny Tjokro? Berapa pula (yang diperbuat) Heru? Perhitungan Benny Tjokro itu merugikan negara Rp 6 triliun dari kasus Jiwasraya setelah diajukan tuntutan, tidak ada perhitungan sebelumnya. Jadi ini tidak proporsional, itu yang harus dipikirkan para ahli hukum,” ucapnya.
Berdasarkan temuan pelanggaran administratif hukum itulah, Bob menyatakan kliennya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta guna meminta majelis hakim membatalkan seluruh laporan BPK hasil pemeriksaan kerugian negara dari kasus Jiwasraya sebab bertentangan dengan peraturan berlaku dan mencabutnya segera.
Terkait kejanggalan laporan audit kerugian negara dari perkara Jiwasraya yang dikerjakan BPK, Bob mengungkapkan, telah sejak lama mengadukannya kepada majelis kode etik BPK. Namun, hingga saat ini tidak mendapatkan tanggapan dari pihak majelis kode etik BPK.
“Kenapa yang 123 emiten (pemegang saham) lainnya tidak diperiksa oleh BPK? Kenapa tidak dilakukan perhitungan kerugian negara sesuai peraturan berlaku yang tepat dan pasti? Emiten sisanya tidak dilakukan pemeriksaan ulang siapa pemiliknya. Benny hanya pemilik salah satu emiten. Klasifikasinya tidak jelas, siapa saja bisa pegang saham lalu dimasukkan ke Jiwasraya. Namun persoalannya hanya dibagi dua ke Benny dan Heru,” terang Bob.
Sambung Bob menuturkan, BPK sebagai lembaga negara seharusnya menjadi institusi yang terpercaya. Jangan hanya bekerja memenuhi tugas formalistiknya berdasarkan asumsi saja yang pada akhirnya perhitungannya tidak memenuhi kaidah penegakan keadilan hukum sekaligis hak asasi manusia.
Sebagai informasi, Benny Tjokro telah dijatuhi vonis kurungan seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena dianggap terbukti melakukan perbuatan pidana yang menyebabkan kerugian negara dari permainan saham di perusahaan pelat merah Jiwasraya sebesar Rp 16 triliun.
Selain itu, Benny juga didenda membayar uang ganti rugi sebanyak Rp6 triliun lebih. Selain Benny Tjokro, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga menghukum lima terdakwa lainnya yang berasal dari jajaran Direksi Jiwasrya dan perseorangan swasta.
“BPK tidak punya kepastian perhitungan berapa kerugian negara dari kasus Jiwasraya. Mereka (BPK) hanya menginformasikan kerugiannya negara sebesar Rp16 triliun lebih. Tapi dari mana asalnya, tidak pernah transparan,” ujar Bob di Jakarta.
Lebih lanjut Ia menyebutkan, kesimpulan yang disampaikan BPK mengenai kerugian negara sebesar Rp16 triliun tanpa pernah ada klasifikasi berapa banyak jumlah yang diakibatkan oleh perbuatan kliennya dan terdakwa lainnya yakni Komisaris PT Trada Alam Minera (TRAM) Heru Hidayat.
“Berapa yang dilakukan klien saya, Benny Tjokro? Berapa pula (yang diperbuat) Heru? Perhitungan Benny Tjokro itu merugikan negara Rp 6 triliun dari kasus Jiwasraya setelah diajukan tuntutan, tidak ada perhitungan sebelumnya. Jadi ini tidak proporsional, itu yang harus dipikirkan para ahli hukum,” ucapnya.
Berdasarkan temuan pelanggaran administratif hukum itulah, Bob menyatakan kliennya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta guna meminta majelis hakim membatalkan seluruh laporan BPK hasil pemeriksaan kerugian negara dari kasus Jiwasraya sebab bertentangan dengan peraturan berlaku dan mencabutnya segera.
Terkait kejanggalan laporan audit kerugian negara dari perkara Jiwasraya yang dikerjakan BPK, Bob mengungkapkan, telah sejak lama mengadukannya kepada majelis kode etik BPK. Namun, hingga saat ini tidak mendapatkan tanggapan dari pihak majelis kode etik BPK.
“Kenapa yang 123 emiten (pemegang saham) lainnya tidak diperiksa oleh BPK? Kenapa tidak dilakukan perhitungan kerugian negara sesuai peraturan berlaku yang tepat dan pasti? Emiten sisanya tidak dilakukan pemeriksaan ulang siapa pemiliknya. Benny hanya pemilik salah satu emiten. Klasifikasinya tidak jelas, siapa saja bisa pegang saham lalu dimasukkan ke Jiwasraya. Namun persoalannya hanya dibagi dua ke Benny dan Heru,” terang Bob.
Sambung Bob menuturkan, BPK sebagai lembaga negara seharusnya menjadi institusi yang terpercaya. Jangan hanya bekerja memenuhi tugas formalistiknya berdasarkan asumsi saja yang pada akhirnya perhitungannya tidak memenuhi kaidah penegakan keadilan hukum sekaligis hak asasi manusia.
Sebagai informasi, Benny Tjokro telah dijatuhi vonis kurungan seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena dianggap terbukti melakukan perbuatan pidana yang menyebabkan kerugian negara dari permainan saham di perusahaan pelat merah Jiwasraya sebesar Rp 16 triliun.
Selain itu, Benny juga didenda membayar uang ganti rugi sebanyak Rp6 triliun lebih. Selain Benny Tjokro, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga menghukum lima terdakwa lainnya yang berasal dari jajaran Direksi Jiwasrya dan perseorangan swasta.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda