Harga Ayam di Tingkat Peternak Jatuh Dinilai Gagalnya Atur Supply dan Demand
Sabtu, 18 April 2020 - 22:05 WIB
JAKARTA - Dua bulan terakhir ini harga ayam hidup di tingkat peternak sudah terjun bebas jauh di bawah harga produksi peternak (HPP) sebesar Rp18.000 per kilogram. Harga ayam hidup bahkan pernah mencapai Rp7.000 per kilogram.
Mengeluhkan hal ini, kelompok peternak rakyat di bawah Pinsar (Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia) mendatangi Komisi IV DPR untuk mengadukan nasibnya. Menurutnya hal ini akibat gagalnya mengatur supply dan demand
"Jatuhnya harga ayam hidup ini karena gagal mengatur supply dan demand. Dia tidak bisa lari dari tanggung jawab dengan mengatakan bahwa masalah harga bukan tupoksinya. Menurut hukum ekonomi harga kan sangat tergantung pada supply. Nah, Dirjen PKH ini tidak bisa mengatur supply," kata Parjuni, peternak rakyat yang juga adalah Ketua Pinsar Pedaging Jawa Tengah.
Untuk mengontrol supply ayam, sebenarnya sudah ada instruksi pemotongan telur tetas (cutting hatching egg). Tetapi tampaknya pengawasan di lapangan lemah sehingga tidak ada yang bisa memastikan bahwa perusahaan dan peternak benar-benar melakukan cutting.
Berdasarkan perhitungan Pinsar setiap minggu paling tidak harus ada cutting sebesar 20-25 juta. Selama ini Dirjen PKH hanya mengandalkan laporan dari perusahaan dan peternak secara online, sementara pengawasan langsung di lapangan sangat lemah.
BPS menetapkan kebutuhan ayam per orang per tahun adalah 13 kilogram yang menjadi dasar perhitungan produksi ayam yang harus dihasilkan peternak setiap bulan, yaitu sekitar 245-250 juta ton. Yang terjadi selama ini adalah pasokan yang berlebih, lebih dari 260 juta ton, karena kesalahan perhitungan.
Perhitungan mengenai pasokan ini sudah harus dilakukan 2 tahun sebelumnya ketika memutuskan quota impor GPS (buyut bibit ayam). Dan ini sebetulnya mudah diatur karena hanya ada kurang dari 10 perusahaan yang memiliki ijin impor GPS.
"Saya tidak mengerti ini terbukti gagal menjaga supply ayam yang mengakibatkan jatuhnya harga ayam di tingkat peternak. Dalam waktu 35 hari, yaitu sesuai dengan usia ayam, harus bisa mengatur supply oleh Dirjen PKH,” paparnya.
Mengeluhkan hal ini, kelompok peternak rakyat di bawah Pinsar (Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia) mendatangi Komisi IV DPR untuk mengadukan nasibnya. Menurutnya hal ini akibat gagalnya mengatur supply dan demand
"Jatuhnya harga ayam hidup ini karena gagal mengatur supply dan demand. Dia tidak bisa lari dari tanggung jawab dengan mengatakan bahwa masalah harga bukan tupoksinya. Menurut hukum ekonomi harga kan sangat tergantung pada supply. Nah, Dirjen PKH ini tidak bisa mengatur supply," kata Parjuni, peternak rakyat yang juga adalah Ketua Pinsar Pedaging Jawa Tengah.
Untuk mengontrol supply ayam, sebenarnya sudah ada instruksi pemotongan telur tetas (cutting hatching egg). Tetapi tampaknya pengawasan di lapangan lemah sehingga tidak ada yang bisa memastikan bahwa perusahaan dan peternak benar-benar melakukan cutting.
Berdasarkan perhitungan Pinsar setiap minggu paling tidak harus ada cutting sebesar 20-25 juta. Selama ini Dirjen PKH hanya mengandalkan laporan dari perusahaan dan peternak secara online, sementara pengawasan langsung di lapangan sangat lemah.
BPS menetapkan kebutuhan ayam per orang per tahun adalah 13 kilogram yang menjadi dasar perhitungan produksi ayam yang harus dihasilkan peternak setiap bulan, yaitu sekitar 245-250 juta ton. Yang terjadi selama ini adalah pasokan yang berlebih, lebih dari 260 juta ton, karena kesalahan perhitungan.
Perhitungan mengenai pasokan ini sudah harus dilakukan 2 tahun sebelumnya ketika memutuskan quota impor GPS (buyut bibit ayam). Dan ini sebetulnya mudah diatur karena hanya ada kurang dari 10 perusahaan yang memiliki ijin impor GPS.
"Saya tidak mengerti ini terbukti gagal menjaga supply ayam yang mengakibatkan jatuhnya harga ayam di tingkat peternak. Dalam waktu 35 hari, yaitu sesuai dengan usia ayam, harus bisa mengatur supply oleh Dirjen PKH,” paparnya.
(ant)
tulis komentar anda