Mencari Solusi Meredam Gejolak Harga Kedelai
Selasa, 13 April 2021 - 19:00 WIB
Dengan memberikan kepastian pada dua faktor tadi, berikutnya bisa dimulai untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong yang dimiliki tiap pemerintah daerah, untuk dijadikan sentra komoditas kedelai. Prima sendiri mengatakan bahwa Indonesia memiliki sejumlah lembaga riset yang mampu menciptakan varietas-varietas kedelai yang layak ditanami sesuai dengan kondisi geografis tiap daerah. "Di IPB pun sudah ada sejumlah varietas unggul yang siap dibudidayakan," ujarnya.
Namun Prima menggarisbawahi, pentingnya upaya mendekatkan jarak antara sentra komoditas kedelai dan pusat industri pengrajin tahu, tempe maupun kecap sebagai pasar utama. Di sinilah dibutuhkan akurasi data pasar dan demand produk kedelai.
Dengan kedekatan antara sentra komoditas kedelai dengan para pengrajinnya, tentunya akan didapatkan tingkat cost yang lebih rendah di sisi distribusi. Keamanan pasokan pun bisa terjamin karena para petani kedelai tahu secara pasti berapa volume kedelai yang dibutuhkan oleh para pengrajin di daerah mereka masing-masing. "Logika ekonomi yang sederhana, satu daerah bisa mencukupi kebutuhan mereka sendiri akan meningkatkan efisiensi produk," kata dia.
Namun demikian, Prima menyebut upaya tersebut bukan hal yang bisa dilakukan seperti membalik telapak tangan. Dibutuhkan waktu untuk menciptakan skema budi daya kedelai yang kondusif bagi petani dan konsumen. Sebelum hal itu tercapai, maka pemenuhan kebutuhan pasar domestik dengan cara impor masih menjadi sebuah keniscayaan.
Sementara itu soal rendahnya minat petani menanam kedelai, dikatakan Ketum Gakoptindo Aip Syarifuddin disebabkan oleh faktor rendahnya yield yang didapat petani jika mereka membudidayakan kedelai. Sehingga tingginya harga kedelai sejatinya memang diakibatkan oleh keterbatasan pasokan yang berasal dari dalam negeri, serta tingginya kebutuhan di sejumlah negara importir besar seperti Tiongkok.
Aip menyebut lahan dengan tanaman kedelai seluas 1 hektare di Indonesia hanya mampu menghasilkan 1,5-2,5 ton kedelai, atau rata-rata 2 ton per hektare. Sementara harga jual selama ini masih tertekan di kisaran Rp8.000 per kg akibat standardisasi produk kedelai lokal yang belum terpenuhi oleh petani. "Kita mau beli, tapi harus bersih seperti kedelai impor. Jangan ada daun, batang, tanah, dan sebagainya," kata Aip.
Tingkat income yang didapat petani kedelai untuk 1 hektare lahan pun masih jauh lebih rendah jika mereka membudidayakan komoditas di luar kedelai, seperti padi dan jagung. Jika hasil produksi rata-rata 2 ton dengan harga Rp8.500 per kilogramnya, maka para petani kedelai hanya menikmati income Rp17 juta untuk periode 100 hari tanam.
Sementara jika mereka menanam padi, bisa dihasilkan beras sekira 5-6 ton, dengan income sebesar Rp50-60 juta. "Jadi ini memang harus diawali oleh program pemerintah. Kementerian pertanian bisa mencari lahan, dan ditanami kedelai, sehingga nantinya bisa diciptakan soy estate. Dan berikutnya besaran impor bisa ditekan secara perlahan," kata Aip.
Sebagai informasi, di akhir tahun 2020 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kenaikan harga kedelai impor telah memberikan kontribusi pada inflasi produk tahu dan tempe. Masing-masing mengalami inflasi sebesar 0,06% dan 0,05% secara bulanan (month to month/mtm).
Namun Prima menggarisbawahi, pentingnya upaya mendekatkan jarak antara sentra komoditas kedelai dan pusat industri pengrajin tahu, tempe maupun kecap sebagai pasar utama. Di sinilah dibutuhkan akurasi data pasar dan demand produk kedelai.
Dengan kedekatan antara sentra komoditas kedelai dengan para pengrajinnya, tentunya akan didapatkan tingkat cost yang lebih rendah di sisi distribusi. Keamanan pasokan pun bisa terjamin karena para petani kedelai tahu secara pasti berapa volume kedelai yang dibutuhkan oleh para pengrajin di daerah mereka masing-masing. "Logika ekonomi yang sederhana, satu daerah bisa mencukupi kebutuhan mereka sendiri akan meningkatkan efisiensi produk," kata dia.
Namun demikian, Prima menyebut upaya tersebut bukan hal yang bisa dilakukan seperti membalik telapak tangan. Dibutuhkan waktu untuk menciptakan skema budi daya kedelai yang kondusif bagi petani dan konsumen. Sebelum hal itu tercapai, maka pemenuhan kebutuhan pasar domestik dengan cara impor masih menjadi sebuah keniscayaan.
Sementara itu soal rendahnya minat petani menanam kedelai, dikatakan Ketum Gakoptindo Aip Syarifuddin disebabkan oleh faktor rendahnya yield yang didapat petani jika mereka membudidayakan kedelai. Sehingga tingginya harga kedelai sejatinya memang diakibatkan oleh keterbatasan pasokan yang berasal dari dalam negeri, serta tingginya kebutuhan di sejumlah negara importir besar seperti Tiongkok.
Aip menyebut lahan dengan tanaman kedelai seluas 1 hektare di Indonesia hanya mampu menghasilkan 1,5-2,5 ton kedelai, atau rata-rata 2 ton per hektare. Sementara harga jual selama ini masih tertekan di kisaran Rp8.000 per kg akibat standardisasi produk kedelai lokal yang belum terpenuhi oleh petani. "Kita mau beli, tapi harus bersih seperti kedelai impor. Jangan ada daun, batang, tanah, dan sebagainya," kata Aip.
Tingkat income yang didapat petani kedelai untuk 1 hektare lahan pun masih jauh lebih rendah jika mereka membudidayakan komoditas di luar kedelai, seperti padi dan jagung. Jika hasil produksi rata-rata 2 ton dengan harga Rp8.500 per kilogramnya, maka para petani kedelai hanya menikmati income Rp17 juta untuk periode 100 hari tanam.
Sementara jika mereka menanam padi, bisa dihasilkan beras sekira 5-6 ton, dengan income sebesar Rp50-60 juta. "Jadi ini memang harus diawali oleh program pemerintah. Kementerian pertanian bisa mencari lahan, dan ditanami kedelai, sehingga nantinya bisa diciptakan soy estate. Dan berikutnya besaran impor bisa ditekan secara perlahan," kata Aip.
Sebagai informasi, di akhir tahun 2020 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kenaikan harga kedelai impor telah memberikan kontribusi pada inflasi produk tahu dan tempe. Masing-masing mengalami inflasi sebesar 0,06% dan 0,05% secara bulanan (month to month/mtm).
tulis komentar anda