Duh, Melonjaknya Inflasi AS Bikin Obligasi RI Tertekan
Senin, 19 April 2021 - 12:36 WIB
JAKARTA - Harga obligasi Indonesia saat ini mengalami pelemahan bersamaan dengan mayoritas surat berharga lainnya. Ekonom PT Pefindo Ahmad Nasrudin mengatakan bahwa beberapa minggu terakhir, obligasi Indonesia mengalami tekanan.
Hal ini juga disebabkan karena kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat yang membiarkan inflasi meninggi tanpa mengubah kebijakan akomodatif mereka.
"Ini lebih ke sentimen, terutama di-pricing. Karena kalau kita lihat, yield US Treasury juga meningkat drastis untuk yang tenor 10 tahun, karena mereka mengantisipasi lonjakan inflasi," ujar Ahmad dalam IDX Channel Live Market Review di Jakarta, Senin(19/4/2021).
Sehingga, yield obligasi di negara-negara berkembang juga mengalami kenaikan. Sementara itu, tren ekonomi China yang sangat membaik juga membuat negara tersebut menjadi tujuan investasi negara-negara berkembang.
"Ekonomi yang tinggi, ekspektasi level perusahaan-perusahaan China juga tinggi, begitu pula labanya akan naik tajam. Jadi prospektif untuk diisi ekuitasnya," jelas Ahmad.
Dari sisi pasar fixed income, Ahmad menilai bahwa Indonesia masih cukup atraktif. Ini lebih mengarah ke bobot alokasi investasi terkait sentimen dari China.
"Kalau kita lihat, dampaknya (China) terhadap obligasi Indonesia belum terlalu signifikan. Sentimennya lebih tajam ke AS," ucapnya.
Dia mengatakan, pasar AS masih menjadi benchmark pasar obligasi, sehingga jika imbal hasilnya naik, maka otomatis imbal hasil Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya juga mengikuti.
"Memang di AS kenaikan inflasinya cukup tajam, bulan Maret itu sekitar 2,6%. Sedangkan yield-nya masih di sekitar 1,6%-an. Kalau kita lihat nilai riil yield-nya minus sekitar 1%, artinya kalau mereka investasi di obligasi, ya daya peluang mereka turun," jelas Ahmad.
Hal ini juga disebabkan karena kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat yang membiarkan inflasi meninggi tanpa mengubah kebijakan akomodatif mereka.
"Ini lebih ke sentimen, terutama di-pricing. Karena kalau kita lihat, yield US Treasury juga meningkat drastis untuk yang tenor 10 tahun, karena mereka mengantisipasi lonjakan inflasi," ujar Ahmad dalam IDX Channel Live Market Review di Jakarta, Senin(19/4/2021).
Sehingga, yield obligasi di negara-negara berkembang juga mengalami kenaikan. Sementara itu, tren ekonomi China yang sangat membaik juga membuat negara tersebut menjadi tujuan investasi negara-negara berkembang.
"Ekonomi yang tinggi, ekspektasi level perusahaan-perusahaan China juga tinggi, begitu pula labanya akan naik tajam. Jadi prospektif untuk diisi ekuitasnya," jelas Ahmad.
Dari sisi pasar fixed income, Ahmad menilai bahwa Indonesia masih cukup atraktif. Ini lebih mengarah ke bobot alokasi investasi terkait sentimen dari China.
"Kalau kita lihat, dampaknya (China) terhadap obligasi Indonesia belum terlalu signifikan. Sentimennya lebih tajam ke AS," ucapnya.
Dia mengatakan, pasar AS masih menjadi benchmark pasar obligasi, sehingga jika imbal hasilnya naik, maka otomatis imbal hasil Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya juga mengikuti.
"Memang di AS kenaikan inflasinya cukup tajam, bulan Maret itu sekitar 2,6%. Sedangkan yield-nya masih di sekitar 1,6%-an. Kalau kita lihat nilai riil yield-nya minus sekitar 1%, artinya kalau mereka investasi di obligasi, ya daya peluang mereka turun," jelas Ahmad.
(fai)
Lihat Juga :
tulis komentar anda