Polemik Pajak Sembako Muncul karena Ketidakpercayaan pada Berbagai Kebijakan Pemerintah
Jum'at, 11 Juni 2021 - 20:58 WIB
JAKARTA - Pemerintah berencana melakukan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada sembako hingga jasa pendidikan dan kesehatan sehingga membuat heboh. Staf khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo memastikan, penerapan PPN itu bukan untuk saat ini, tapi setelah kondisi ekonomi mulai pulih.
Baca juga: Tak Pandang Bulu, Direksi dan Komisaris Baru BUMN Bakal 'Diospek' Dulu
"Kami komitmen, penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan tidak akan terjadi saat masa pandemi. Kita mau ekonomi benar-benar pulih, sekarang saat ini kita siapkan semuanya. Tidak benar kalau ada pajak sembako dalam waktu dekat, jasa pendidikan, kesehatan, besok atau lusa, bulan depan, atau tahun ini dipajaki, tidak," ungkap Yustinus, dalam video virtual, Jumat (11/6/2021).
Dalam kesempatan yang sama, ekonom senior Fadhil Hasan menilai bahwa kenapa polemik PPN sembako, pendidikan,dll semakin tinggi dan terkesan penolakannya meluas, karena terdapat distrust tinggi kepada berbagai kebijakan pemerintah.
“Sayangnya, yang terjadi saat ini adalah bahwa terdapat distrust yang cukup tinggi, sehingga dikhawatirkan penerapan reformasi KUP tidak akan berjalan efektif. Distrust itu terjadi justru karena banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, sensitif dan kontroversial. Misalnya saja terkait dengan pelemahan KPK, rencana impor beras, pembatalan haji, pemindahan ibu kota, anggaran alutsista, dan banyak lagi," katanya.
Baca juga: Soal Capres 2024, Sekjen PDIP: Kehendak Rakyatlah yang Akan Dibaca Megawati
Dia menyarankan dalam membangun kepercayaan publik diperlukan narasi kebijakan yang rasional. Adapun, revisi UU KUP harus ditempatkan pada konteks yang lebih luas, yakni reformasi perpajakan yang juga menyangkut kelembagaan, transformasi ke arah digitalisasi perpajakan, dan sumber daya manusia pajak.
“Membangun kepercayaan publik dengan menghadirkan kebijakan publik yang rasional, dan dapat diterima karenanya menjadi necessary condition sekarang ini sebelum penerapan revisi KUP dijalankan," tandasnya.
Baca juga: Tak Pandang Bulu, Direksi dan Komisaris Baru BUMN Bakal 'Diospek' Dulu
"Kami komitmen, penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan tidak akan terjadi saat masa pandemi. Kita mau ekonomi benar-benar pulih, sekarang saat ini kita siapkan semuanya. Tidak benar kalau ada pajak sembako dalam waktu dekat, jasa pendidikan, kesehatan, besok atau lusa, bulan depan, atau tahun ini dipajaki, tidak," ungkap Yustinus, dalam video virtual, Jumat (11/6/2021).
Dalam kesempatan yang sama, ekonom senior Fadhil Hasan menilai bahwa kenapa polemik PPN sembako, pendidikan,dll semakin tinggi dan terkesan penolakannya meluas, karena terdapat distrust tinggi kepada berbagai kebijakan pemerintah.
“Sayangnya, yang terjadi saat ini adalah bahwa terdapat distrust yang cukup tinggi, sehingga dikhawatirkan penerapan reformasi KUP tidak akan berjalan efektif. Distrust itu terjadi justru karena banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, sensitif dan kontroversial. Misalnya saja terkait dengan pelemahan KPK, rencana impor beras, pembatalan haji, pemindahan ibu kota, anggaran alutsista, dan banyak lagi," katanya.
Baca juga: Soal Capres 2024, Sekjen PDIP: Kehendak Rakyatlah yang Akan Dibaca Megawati
Dia menyarankan dalam membangun kepercayaan publik diperlukan narasi kebijakan yang rasional. Adapun, revisi UU KUP harus ditempatkan pada konteks yang lebih luas, yakni reformasi perpajakan yang juga menyangkut kelembagaan, transformasi ke arah digitalisasi perpajakan, dan sumber daya manusia pajak.
“Membangun kepercayaan publik dengan menghadirkan kebijakan publik yang rasional, dan dapat diterima karenanya menjadi necessary condition sekarang ini sebelum penerapan revisi KUP dijalankan," tandasnya.
(uka)
Lihat Juga :
tulis komentar anda