Duet Maut Utang Covid dan Perubahan Iklim Bikin Dunia Terancam Bangkrut
Rabu, 18 Agustus 2021 - 11:28 WIB
China, Chili, Malaysia, dan Meksiko akan menjadi negara yang paling terpukul dengan enam tingkat penurunan peringkat pada akhir abad ini. Sementara Amerika Serikat, Jerman, Kanada, Australia, India, dan Peru diperkiarakan turun sekitar empat peringkat.
Penurunan peringkat biasanya meningkatkan biaya pinjaman, terutama buat negara-negara yang dikeluarkan dari indeks obligasi milik lembaga pengelola dana triliunan dolar. Masih menurut studi Cambrideg lagi, peningkatan biaya pinjaman akan menambah sebesar USD137–205 miliar pada pembayaran utang tahunan gabungan negara-negara pada tahun 2100.
Besarnya utang tak lepas dari biaya yang dikeluarkan atau dianggarkan untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Jerman misalnya menganggarkan dana pemulihan 30 miliar euro setelah negara itu diterjang banjir, baru-baru ini. Sementara Singapura menganggarkan setara dengan $72 miliar untuk melindungi negara itu dari kenaikan permukaan laut di abad berikutnya.
Untuk negara berkembang, yang sudah dihantui oleh Covid-19, krisis iklim akan memberikan lebih banyak tekanan. Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa kenaikan 10 poin persentase dalam kerentanan perubahan iklim--diukur dengan indeks Inisiatif Adaptasi Global Notre Dame—dapat menyebabkan peningkatan lebih dari 150 basis poin obligasi pemerintah jangka panjang untuk negara berkembang.
Program lingkungan PBB memperkirakan bahwa di negara-negara berkembang akan menyediakan biaya adaptasi tahunan untuk perubahan iklim mencapai USD300 miliar pada tahun 2030. Angka itu akan meningkat menjadi USD500 miliar pada tahun 2050.
Data dari Institute of International Finance (IIF) menunjukkan, rasio utang terhadap PDB negara-negara berkembang masih sekitar 60%. Kondisinya berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris yang rasionya di atas 100%, bahkan Jepang yang rasionya di atas 200%.
Kenaikan dari tingkat rasio sebelum pandemi sekitar 52% menjadi perhatian khusus. Bank sentral Eropa, AS, dan Jepang pada dasarnya menanggung pinjaman negara, tetapi ini tidak mungkin di negara-negara miskin, yang pada akhirnya harus membayar utang.
"Bagaimana Anda mengupayakan pendanaan yang diperlukan mengingat tingkat utang yang tinggi dan pentingnya kerangka peringkat?" kata Sonja Gibbs, direktur pelaksana dan kepala keuangan berkelanjutan IIF.
Penurunan peringkat biasanya meningkatkan biaya pinjaman, terutama buat negara-negara yang dikeluarkan dari indeks obligasi milik lembaga pengelola dana triliunan dolar. Masih menurut studi Cambrideg lagi, peningkatan biaya pinjaman akan menambah sebesar USD137–205 miliar pada pembayaran utang tahunan gabungan negara-negara pada tahun 2100.
Besarnya utang tak lepas dari biaya yang dikeluarkan atau dianggarkan untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Jerman misalnya menganggarkan dana pemulihan 30 miliar euro setelah negara itu diterjang banjir, baru-baru ini. Sementara Singapura menganggarkan setara dengan $72 miliar untuk melindungi negara itu dari kenaikan permukaan laut di abad berikutnya.
Untuk negara berkembang, yang sudah dihantui oleh Covid-19, krisis iklim akan memberikan lebih banyak tekanan. Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa kenaikan 10 poin persentase dalam kerentanan perubahan iklim--diukur dengan indeks Inisiatif Adaptasi Global Notre Dame—dapat menyebabkan peningkatan lebih dari 150 basis poin obligasi pemerintah jangka panjang untuk negara berkembang.
Program lingkungan PBB memperkirakan bahwa di negara-negara berkembang akan menyediakan biaya adaptasi tahunan untuk perubahan iklim mencapai USD300 miliar pada tahun 2030. Angka itu akan meningkat menjadi USD500 miliar pada tahun 2050.
Data dari Institute of International Finance (IIF) menunjukkan, rasio utang terhadap PDB negara-negara berkembang masih sekitar 60%. Kondisinya berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris yang rasionya di atas 100%, bahkan Jepang yang rasionya di atas 200%.
Kenaikan dari tingkat rasio sebelum pandemi sekitar 52% menjadi perhatian khusus. Bank sentral Eropa, AS, dan Jepang pada dasarnya menanggung pinjaman negara, tetapi ini tidak mungkin di negara-negara miskin, yang pada akhirnya harus membayar utang.
"Bagaimana Anda mengupayakan pendanaan yang diperlukan mengingat tingkat utang yang tinggi dan pentingnya kerangka peringkat?" kata Sonja Gibbs, direktur pelaksana dan kepala keuangan berkelanjutan IIF.
(uka)
tulis komentar anda