Duet Maut Utang Covid dan Perubahan Iklim Bikin Dunia Terancam Bangkrut

Rabu, 18 Agustus 2021 - 11:28 WIB
loading...
Duet Maut Utang Covid dan Perubahan Iklim Bikin Dunia Terancam Bangkrut
Foto/dreamstime.com
A A A
JAKARTA - Panel PBB memperkirakan bahwa dunia terancam kebangkrutan . Penyebabnya merupakan kombinasi antara utang yang tercipta akibat pandemi Covid-19 dengan perubahan iklim yang mengakibatkan pemanasan yang tak terkendali.

Untuk menghindari bencana, negara-negara berkomitmen pada langkah-langkah pengurangan karbon. Konsekuensinya, biaya yang dikeluarkan akan sangat mahal dan kemungkinan bakal menambah tumpukan utang global.Indonesia, misalnya, untuk mengatasi perubahan iklim menyediakan anggaran hingga mencapai Rp3.779 triliun pada 2030. Angka itu membengkak dari perkiraan semula yang sebesar Rp3.561 triliun. Janus Henderson, sebuah institusi manajer aset global yang berkedudukan di Amerika Serikat, memperkirakan utang global akan membengkak menjadi USD62,5 triliun pada akhir tahun lalu.

Banjir dan kebakaran hutan yang menghancurkan dunia memang dampaknya terhadap perekonomian ditentukan oleh skala kerusakannnya. Tetapi sebuah laporan awal tahun ini oleh Bank of Amerika (BofA) menempatkannya pada angka USD54-69 triliun pada tahun 2100. Jumlah itu setara dengan 67,5%-86,2% dari penilaian seluruh ekonomi global yang mencapai sekitar USD80 triliun.



Sebuah studi yang dilakukan oleh FTSE Russell, penyedia indeks global, memperingatkan, dampak keuangan akibat pemanasan global dapat terwujud dalam waktu kurang dari satu dekade. Penurunan peringkat kredit terkait iklim akan segera terjadi di sejumlah negara.

“Dalam skenario terburuk 'hot house world' negara-negara berkembang termasuk Malaysia, Afrika Selatan, Meksiko dan bahkan ekonomi yang lebih kaya seperti Italia mungkin gagal bayar pada tahun 2050,” tulis Dhara RanasingheandKarin Strohecker, seperti dikutip dari Reuters (18/8).

Studi itu juga menyimpulkan Australia, Polandia, Jepang dan Israel, akan menghadapi risiko default dan penurunan peringkat juga. Sementara negara-negara berkembang secara inheren lebih rentan terhadap kenaikan permukaan laut dan kekeringan. Negara-negara kaya juga tidak akan luput dari dampak perubahan iklim.

"Anda dapat berbicara tentang perubahan iklim dan dampaknya dan tidak akan lama sebelum seseorang berbicara tentang Barbados, Fiji, atau Maladewa. Yang mengejutkan bagi saya adalah dampaknya pada negara-negara yang lebih kaya dan berperingkat lebih tinggi," kata Moritz Kraemer, kepala ekonom di Countryrisk.io dan mantan kepala peringkat global di S&P Global.

Untiversitas Cambridge juga melakukan studi serupa yang menyimpulkan bahwa bahwa 63 negara-- kira-kira setengahnya dinilai oleh S&P Global, Moody's dan Fitch--dapat mengalami penurunan peringkat kredit pada tahun 2030 karena perubahan iklim.

China, Chili, Malaysia, dan Meksiko akan menjadi negara yang paling terpukul dengan enam tingkat penurunan peringkat pada akhir abad ini. Sementara Amerika Serikat, Jerman, Kanada, Australia, India, dan Peru diperkiarakan turun sekitar empat peringkat.

Penurunan peringkat biasanya meningkatkan biaya pinjaman, terutama buat negara-negara yang dikeluarkan dari indeks obligasi milik lembaga pengelola dana triliunan dolar. Masih menurut studi Cambrideg lagi, peningkatan biaya pinjaman akan menambah sebesar USD137–205 miliar pada pembayaran utang tahunan gabungan negara-negara pada tahun 2100.

Besarnya utang tak lepas dari biaya yang dikeluarkan atau dianggarkan untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Jerman misalnya menganggarkan dana pemulihan 30 miliar euro setelah negara itu diterjang banjir, baru-baru ini. Sementara Singapura menganggarkan setara dengan $72 miliar untuk melindungi negara itu dari kenaikan permukaan laut di abad berikutnya.



Untuk negara berkembang, yang sudah dihantui oleh Covid-19, krisis iklim akan memberikan lebih banyak tekanan. Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa kenaikan 10 poin persentase dalam kerentanan perubahan iklim--diukur dengan indeks Inisiatif Adaptasi Global Notre Dame—dapat menyebabkan peningkatan lebih dari 150 basis poin obligasi pemerintah jangka panjang untuk negara berkembang.

Program lingkungan PBB memperkirakan bahwa di negara-negara berkembang akan menyediakan biaya adaptasi tahunan untuk perubahan iklim mencapai USD300 miliar pada tahun 2030. Angka itu akan meningkat menjadi USD500 miliar pada tahun 2050.

Data dari Institute of International Finance (IIF) menunjukkan, rasio utang terhadap PDB negara-negara berkembang masih sekitar 60%. Kondisinya berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris yang rasionya di atas 100%, bahkan Jepang yang rasionya di atas 200%.

Kenaikan dari tingkat rasio sebelum pandemi sekitar 52% menjadi perhatian khusus. Bank sentral Eropa, AS, dan Jepang pada dasarnya menanggung pinjaman negara, tetapi ini tidak mungkin di negara-negara miskin, yang pada akhirnya harus membayar utang.

"Bagaimana Anda mengupayakan pendanaan yang diperlukan mengingat tingkat utang yang tinggi dan pentingnya kerangka peringkat?" kata Sonja Gibbs, direktur pelaksana dan kepala keuangan berkelanjutan IIF.
(uka)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1520 seconds (0.1#10.140)