Daya Beli Terancam Turun, Aprindo Minta Kenaikan PPN dan Pajak Multi Tarif Ditinjau Ulang
Kamis, 26 Agustus 2021 - 07:41 WIB
JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta agar pemerintah meninjau kembali peningkatan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan penetapan pajak multi tarif.
Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey menilai peningkatan tarif maupun penerapan multi tarif PPN pada situasi pandemi saat ini sangat kurang tepat.
“Saat ini berbagai sektor termasuk diantaranya ritel modern (pasar swalayan) sedang dalam kondisi terpuruk dihantam badai pandemi Covid-19, ditandai dengan berhenti beroperasinya hampir 1.500 gerai ritel modern dalam kurun waktu 18 bulan terakhir,” terangnya dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI yang disiarkan secara daring, dikutip Kamis (26/8/2021).
Menurut Roy, kenaikan tarif PPN secara umum dari 10% menjadi 12% pasti akan berdampak pada melandainya daya beli sehingga memupuskan upaya menjaga konsumsi rumah tangga sebagai kontributor terbesar pada ekomomi, yang pada kuartal II/2021 ini mencapai 55,07% pada PDB.
Selain itu, dengan kebijakan tersebut akan menimbulkan potensi terjadinya peningkatan laju inflasi yang signifikan seiring dengan kenaikan harga barang akibat kenaikan tarif pajak.
“Situasi ini akan lebih tergerus lagi saat dikenakannya sistem multi tarif terendah 5% dan tertinggi 15% yang mengakibatkan pembebanan pada masyarakat berpenghasilan rendah atau marginal senilai minimal 5%, yang sebelumnya tidak terkena,” ujarnya.
Lanjutnya, belum lagi dengan dampak perbedaan multi tarif PPN tersebut dengan barang yang dijual pada peritel modern. Dimana ini akan berpotensi membangunkan shadow market yang meningkat maupun peningkatan belanja barang diluar negeri yang harganya lebih bersaing.
Dalam hal ini Roy juga meminta pemberlakuan Pajak Penghasilan (PPh) minimal 1% pada pendapatan atau omset kotor atas perusahaan yang berstatus rugi dapat ditangguhkan.
Sebab, kata Roy, PPH minimal ini akan menambah beban tambahan bagi berbagai sektor termasuk peritel yang mengalami kerugian. Dimana nantinya memicu langkah kebijakan strategis dalam hal penutupan gerai, hilangnya investasi hingga yang lebih tragisnya adalah PHK massal.
“Dalam situasi pandemi ini pasti pemerintah akan meneruskan fungsi refocusing dan relokasi APBN dimana salah satu upaya pemerintah mendapatkan income adalah melalui extensifikasi perpajakan selain menambah hutang luar negeri maupun melalui penerbitan SBN/Obligasi negara dan printing money,” katanya.
Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey menilai peningkatan tarif maupun penerapan multi tarif PPN pada situasi pandemi saat ini sangat kurang tepat.
“Saat ini berbagai sektor termasuk diantaranya ritel modern (pasar swalayan) sedang dalam kondisi terpuruk dihantam badai pandemi Covid-19, ditandai dengan berhenti beroperasinya hampir 1.500 gerai ritel modern dalam kurun waktu 18 bulan terakhir,” terangnya dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI yang disiarkan secara daring, dikutip Kamis (26/8/2021).
Menurut Roy, kenaikan tarif PPN secara umum dari 10% menjadi 12% pasti akan berdampak pada melandainya daya beli sehingga memupuskan upaya menjaga konsumsi rumah tangga sebagai kontributor terbesar pada ekomomi, yang pada kuartal II/2021 ini mencapai 55,07% pada PDB.
Selain itu, dengan kebijakan tersebut akan menimbulkan potensi terjadinya peningkatan laju inflasi yang signifikan seiring dengan kenaikan harga barang akibat kenaikan tarif pajak.
“Situasi ini akan lebih tergerus lagi saat dikenakannya sistem multi tarif terendah 5% dan tertinggi 15% yang mengakibatkan pembebanan pada masyarakat berpenghasilan rendah atau marginal senilai minimal 5%, yang sebelumnya tidak terkena,” ujarnya.
Lanjutnya, belum lagi dengan dampak perbedaan multi tarif PPN tersebut dengan barang yang dijual pada peritel modern. Dimana ini akan berpotensi membangunkan shadow market yang meningkat maupun peningkatan belanja barang diluar negeri yang harganya lebih bersaing.
Dalam hal ini Roy juga meminta pemberlakuan Pajak Penghasilan (PPh) minimal 1% pada pendapatan atau omset kotor atas perusahaan yang berstatus rugi dapat ditangguhkan.
Sebab, kata Roy, PPH minimal ini akan menambah beban tambahan bagi berbagai sektor termasuk peritel yang mengalami kerugian. Dimana nantinya memicu langkah kebijakan strategis dalam hal penutupan gerai, hilangnya investasi hingga yang lebih tragisnya adalah PHK massal.
“Dalam situasi pandemi ini pasti pemerintah akan meneruskan fungsi refocusing dan relokasi APBN dimana salah satu upaya pemerintah mendapatkan income adalah melalui extensifikasi perpajakan selain menambah hutang luar negeri maupun melalui penerbitan SBN/Obligasi negara dan printing money,” katanya.
(ind)
tulis komentar anda