Keberatan Soal Regulasi PLTS Atap, Pengamat Energi Kirim Surat Terbuka ke Jokowi
Rabu, 01 September 2021 - 22:30 WIB
JAKARTA - Menyikapi revisi Permen ESDM No 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Surya Atap oleh Konsumen Perusahaan Listrik Negara oleh Kementerian ESDM , sejumlah pengamat energi dan ekonom mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Surat terbuka itu disampaikan oleh Sofyano Zakaria (Pusat Studi Kebijakan Publik/Puskepi), Marwan Batubara (Indonesia Resources Studies/IRESS), Komaidi Notonegoro (Reforminer), Ferdinand Hutahaean (Energy Watch Indonesia), Defiyan Cory (Ekonom Konstitusi), Mamit Setiawan (Energiy Watch), Salamudin Daeng (AEPI), M Kholid Syeirazi (ISNU) dan Abra Talattov (Indef).
Dalam surat yang juga ditembuskan ke ketua Dewan Energi Nasional (DEN) itu, para pegiat sektor energi nasional tersebut menyampaikan keberatan serta masukan terkait perubahan regulasi melalui revisi tersebut.
Berbagai perubahan dalam revisi Permen ESDM 49/2018 itu meliputi: (1) peningkatan tarif ekspor listrik dari 65% menjadi 100%; (2) kelebihan tabungan listrik dinihilkan diperpanjang; (3) permohonan izin PLTS Atap dipercepat; (4) pelanggan PLTS Atap dapat melakukan perdagangan karbon; (5) sistem operasi menggunakan aplikasi digital; (6) pelayanan berlaku bagi pelanggan non-PLN; dan (7) PLN akan menyediakan pusat pengaduan. Dengan revisi tersebut, Kementerian ESDM berharap pencapaian target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% di tahun 2025 bisa dipercepat.
Namun, para pemerhati sektor energi nasional itu mengingatkan bahwa percepatan penambahan kapasitas PLTS Atap dan bauran EBT 23% itu bukanlah target yang harus dicapai dengan segala cara tanpa mempertimbangkan berbagai potensi kerugian yang akan timbul. Mereka mengingatkan, negara, PLN dan rakyat berpotensi mengalami kerugian, terutama akibat perubahan tarif ekspor listrik dari semula 65% menjadi 100%.
"Revisi sebagian ketentuan dalam peraturan tersebut memang akan bermanfaat. Namun ada pula perubahan yang dapat menimbulkan kerugian bagi negara, PLN dan rakyat," tulis mereka dalam surat terbuka yang dikutip Rabu (1/9/2021).
Potensi kerugian itu diuraikan para ekonom dan pemerhati sektor energi nasional tersebut dalam delapan poin sebagai berikut:
1. Bisnis PLN akan dirugikan karena ketentuan tersebut tidak memperhitungkan susut jaringan dalam proses ekspor (distribusi) listrik. Selain itu, ketentuan tersebut tidak memperhitungkan nilai ekonomi dari fasilitas/infrastruktur yang dibangun oleh PLN dan juga didanai oleh APBN.
Surat terbuka itu disampaikan oleh Sofyano Zakaria (Pusat Studi Kebijakan Publik/Puskepi), Marwan Batubara (Indonesia Resources Studies/IRESS), Komaidi Notonegoro (Reforminer), Ferdinand Hutahaean (Energy Watch Indonesia), Defiyan Cory (Ekonom Konstitusi), Mamit Setiawan (Energiy Watch), Salamudin Daeng (AEPI), M Kholid Syeirazi (ISNU) dan Abra Talattov (Indef).
Dalam surat yang juga ditembuskan ke ketua Dewan Energi Nasional (DEN) itu, para pegiat sektor energi nasional tersebut menyampaikan keberatan serta masukan terkait perubahan regulasi melalui revisi tersebut.
Berbagai perubahan dalam revisi Permen ESDM 49/2018 itu meliputi: (1) peningkatan tarif ekspor listrik dari 65% menjadi 100%; (2) kelebihan tabungan listrik dinihilkan diperpanjang; (3) permohonan izin PLTS Atap dipercepat; (4) pelanggan PLTS Atap dapat melakukan perdagangan karbon; (5) sistem operasi menggunakan aplikasi digital; (6) pelayanan berlaku bagi pelanggan non-PLN; dan (7) PLN akan menyediakan pusat pengaduan. Dengan revisi tersebut, Kementerian ESDM berharap pencapaian target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% di tahun 2025 bisa dipercepat.
Namun, para pemerhati sektor energi nasional itu mengingatkan bahwa percepatan penambahan kapasitas PLTS Atap dan bauran EBT 23% itu bukanlah target yang harus dicapai dengan segala cara tanpa mempertimbangkan berbagai potensi kerugian yang akan timbul. Mereka mengingatkan, negara, PLN dan rakyat berpotensi mengalami kerugian, terutama akibat perubahan tarif ekspor listrik dari semula 65% menjadi 100%.
"Revisi sebagian ketentuan dalam peraturan tersebut memang akan bermanfaat. Namun ada pula perubahan yang dapat menimbulkan kerugian bagi negara, PLN dan rakyat," tulis mereka dalam surat terbuka yang dikutip Rabu (1/9/2021).
Potensi kerugian itu diuraikan para ekonom dan pemerhati sektor energi nasional tersebut dalam delapan poin sebagai berikut:
1. Bisnis PLN akan dirugikan karena ketentuan tersebut tidak memperhitungkan susut jaringan dalam proses ekspor (distribusi) listrik. Selain itu, ketentuan tersebut tidak memperhitungkan nilai ekonomi dari fasilitas/infrastruktur yang dibangun oleh PLN dan juga didanai oleh APBN.
Lihat Juga :
tulis komentar anda