Pengamat: Netflix dan YouTube Harus Patuhi UU Penyiaran
Senin, 01 Juni 2020 - 15:30 WIB
JAKARTA - Pengamat Informasi Komunikasi dan Teknologi Canny Watae mengatakan, tanpa judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pasal 1 ayat 2 Undang Undang (UU) Penyiaran No 32 tahun 2002 pun, platform siaran berbasis internet seperti Netflix dan YouTube harus mematuhi aturan tersebut.
Menurut dia, tidak hanya diperuntukkan pada penyelenggara penyiaran konvensional, selama berupa konten siar, seharusnya UU Penyiaran ini pengawasannya juga mencakup kedua penyedia konten digital tersebut.
"Cuma, kalau kita tarik jauh ke masa awal lahirnya UU Penyiaran, seingat saya alasan negara untuk masuk mengatur penyiaran karena bidang ini menggunakan sumber daya negara (yang terbatas) yaitu spektrum frekuensi. Sehingga, diatur agar penggunaan spektrum frekuensi tersebut semaksimalnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan tentu untuk mencetak pendapatan bagi negara," ujarnya kepada SINDO media di Jakarta, Senin (1/6/202).
(Baca Juga: Penjelasan Uji Materi UU Penyiaran ke MK Terkait Siaran Berbasis Internet)
Platform digital YouTube maupun Netflix, memang tidak secara langsung disebut sebagai pengguna spektrum frekuensi (dan atau jaringan transmisi dalam bentuk kabel/optik). "Penggunanya adalah para operator telekomunikasi yang mana telah menunaikan kewajiban penggunaan spektrum melalui skema bayar BHP. Tetapi untuk peregulasian terhadap konten yang disalurkan melalui spektrum tersebut, menurut hemat saya semestinya KPI berwenang menjalankan UU ini kepada dua platform digital tersebut,” ungkapnya.
Menurutnya, pengawasan dilakukan kepada pengisi konten dan bukan melalui platformnya. "Sebab sudah ada agreement yang disetujui para pembuat konten/pemilik kanal dengan youtube. Sejauh yang saya ketahui pihak YouTube misanya mencantumkan pasal yang melepaskan tanggung jawab atas isi konten," ujarnya.
(Baca Juga: Tiga Negara yang Sukses Ajukan Aturan Konten Berbasis Internet)
Dia yakin, judicial review akan akan mempertegas posisi UU penyiaran sehingga dalam implementasinya diharapkan bisa ditetapkan tidak hanya kepada lembaga penyiaran, namun juga platform digital lain yang mencakupinya.
Menurut dia, tidak hanya diperuntukkan pada penyelenggara penyiaran konvensional, selama berupa konten siar, seharusnya UU Penyiaran ini pengawasannya juga mencakup kedua penyedia konten digital tersebut.
"Cuma, kalau kita tarik jauh ke masa awal lahirnya UU Penyiaran, seingat saya alasan negara untuk masuk mengatur penyiaran karena bidang ini menggunakan sumber daya negara (yang terbatas) yaitu spektrum frekuensi. Sehingga, diatur agar penggunaan spektrum frekuensi tersebut semaksimalnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan tentu untuk mencetak pendapatan bagi negara," ujarnya kepada SINDO media di Jakarta, Senin (1/6/202).
(Baca Juga: Penjelasan Uji Materi UU Penyiaran ke MK Terkait Siaran Berbasis Internet)
Platform digital YouTube maupun Netflix, memang tidak secara langsung disebut sebagai pengguna spektrum frekuensi (dan atau jaringan transmisi dalam bentuk kabel/optik). "Penggunanya adalah para operator telekomunikasi yang mana telah menunaikan kewajiban penggunaan spektrum melalui skema bayar BHP. Tetapi untuk peregulasian terhadap konten yang disalurkan melalui spektrum tersebut, menurut hemat saya semestinya KPI berwenang menjalankan UU ini kepada dua platform digital tersebut,” ungkapnya.
Menurutnya, pengawasan dilakukan kepada pengisi konten dan bukan melalui platformnya. "Sebab sudah ada agreement yang disetujui para pembuat konten/pemilik kanal dengan youtube. Sejauh yang saya ketahui pihak YouTube misanya mencantumkan pasal yang melepaskan tanggung jawab atas isi konten," ujarnya.
(Baca Juga: Tiga Negara yang Sukses Ajukan Aturan Konten Berbasis Internet)
Dia yakin, judicial review akan akan mempertegas posisi UU penyiaran sehingga dalam implementasinya diharapkan bisa ditetapkan tidak hanya kepada lembaga penyiaran, namun juga platform digital lain yang mencakupinya.
(fai)
tulis komentar anda