Waspadai Rontoknya Industri Akibat Pajak Karbon
Senin, 11 Oktober 2021 - 22:30 WIB
Pasalnya kesiapan pelaku usaha dan infrastruktur pemerintah dalam menyediakan sumber energi baru dan terbarukan juga perlu dipetakan dengan baik sebelum mulai menerapkan pajak karbon. Bahkan, penerapan transformasi kegiatan produksi menuju ramah lingkungan membutuhkan investasi dalam skala besar.
Jika tetap dipaksakan, Jemmy khawatir akan banyak industri yang rontok dimana ujung-ujungnya akan ada un-employment alias PHK. “Karena itu, kami semua, asosiasi-asosiasi industri di Indonesia mendesak agar peraturan pajak karbon ini ditunda atau bila perlu dibatalkan,” tegasnya.
Sementara itu, dalam program Hot Economy pada Jumat (8/10/2021), Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia yang menjadi salah satu pembicara, mengaku akan mengikuti ketentuan mengenai pajak karbon yang ditetapkan pemerintah.
Meski demikian, dia masih mengamati dinamika ketentuan pajak karbon setelah UU HPP disahkan DPR. "Terus terang kami sedang menghitung. Apalagi, pada pertambangan batubara, dalam waktu dekat ada perubahan rezim royati yang akan ditingkatkan. Jadi, ini dampaknya akan signifikan,” ujarnya.
Pajak karbon ini tampaknya mendorong penolakan di kalangan pelaku bisis di semua sektor industri. Selain tarif, waktu pelaksanaan pada April 2022 dinilai terlalu ambisius.
Pasalnya, masih banyak yang harus dilakukan setelah UU disahkan DPR, akan ada penandatanganan UU oleh Presiden. Setelah itu, Kemenkeu harus menyusun peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksana pajak karbon antara lain terkait tarif dan penambahan obyek pajak yang dikenai karbon.
Kemudian peraturan menteri keuangan (PMK) untuk mengatur lebih lanjut soal subjek pajak karbon, tata cara perhitungan, pemungutan, pembayaran, pelaporan, dan mekanisme pengenaan pajak karbon. Selain itu, memerinci alokasi penerimaan yang didapat dalam rangka pengendalian perubahan iklim.
Selanjutnya dilakukan sinkronisasi aturan melalui Rencana Peraturan Presiden Nilai Ekonomi Karbon (NEK) guna menyusun skema mekanisme perdagangan emisi (ETS) dan pajak karbon, sambil susun peta jalan (roadmap). Setelah roadmap jadi, harus diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan.
Karena itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal menegaskan, perlu adanya roadmap yang jelas terkait implementasi pajak karbon ini. Pasalnya, kebijaan ini tidak bersifat sesaat saja, tapi dalam jangka panjang.
Jika tetap dipaksakan, Jemmy khawatir akan banyak industri yang rontok dimana ujung-ujungnya akan ada un-employment alias PHK. “Karena itu, kami semua, asosiasi-asosiasi industri di Indonesia mendesak agar peraturan pajak karbon ini ditunda atau bila perlu dibatalkan,” tegasnya.
Sementara itu, dalam program Hot Economy pada Jumat (8/10/2021), Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia yang menjadi salah satu pembicara, mengaku akan mengikuti ketentuan mengenai pajak karbon yang ditetapkan pemerintah.
Meski demikian, dia masih mengamati dinamika ketentuan pajak karbon setelah UU HPP disahkan DPR. "Terus terang kami sedang menghitung. Apalagi, pada pertambangan batubara, dalam waktu dekat ada perubahan rezim royati yang akan ditingkatkan. Jadi, ini dampaknya akan signifikan,” ujarnya.
Pajak karbon ini tampaknya mendorong penolakan di kalangan pelaku bisis di semua sektor industri. Selain tarif, waktu pelaksanaan pada April 2022 dinilai terlalu ambisius.
Pasalnya, masih banyak yang harus dilakukan setelah UU disahkan DPR, akan ada penandatanganan UU oleh Presiden. Setelah itu, Kemenkeu harus menyusun peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksana pajak karbon antara lain terkait tarif dan penambahan obyek pajak yang dikenai karbon.
Kemudian peraturan menteri keuangan (PMK) untuk mengatur lebih lanjut soal subjek pajak karbon, tata cara perhitungan, pemungutan, pembayaran, pelaporan, dan mekanisme pengenaan pajak karbon. Selain itu, memerinci alokasi penerimaan yang didapat dalam rangka pengendalian perubahan iklim.
Selanjutnya dilakukan sinkronisasi aturan melalui Rencana Peraturan Presiden Nilai Ekonomi Karbon (NEK) guna menyusun skema mekanisme perdagangan emisi (ETS) dan pajak karbon, sambil susun peta jalan (roadmap). Setelah roadmap jadi, harus diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan.
Karena itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal menegaskan, perlu adanya roadmap yang jelas terkait implementasi pajak karbon ini. Pasalnya, kebijaan ini tidak bersifat sesaat saja, tapi dalam jangka panjang.
tulis komentar anda