Terapkan Pajak Karbon: Indonesia Jadi Trendsetter, bukan Follower
Rabu, 13 Oktober 2021 - 08:15 WIB
JAKARTA - Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan ( BKF ) Febrio Kacaribu mengatakan pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menetapkan tonggak sejarah baru terkait dukungan pada perubahan iklim dunia.
Sebelumnya, pada 7 Oktober 2021 pajak karbon lahir melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan menambah sederetan kebijakan fiskal yang digunakan sebagai instrumen pengendali perubahan iklim.
“Indonesia menjadi penggerak pertama pajak karbon di dunia terutama dari negara kekuatan ekonomi baru (emerging). Ini bukti konsistensi komitmen Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan ekonomi yang kuat, berkeadilan, dan berkelanjutan,” kata Febrio melalui keterangan yang diterima MNC Portal Indonesia, Rabu (13/10/2021).
Febrio menuturkan prioritas utama penurunan emisi gas rumah kaca tersebut berada pada sektor kehutanan, serta sektor energi dan transportasi yang telah mencakup 97% dari total target penurunan emisi NDC Indonesia.
“Lebih jauh lagi, dengan semakin kuatnya tren global terhadap isu perubahan iklim, Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission) di tahun 2060 atau lebih awal,” paparnya.
Meskipun demikian, tujuan utama dari pengenaan pajak karbon adalah mengubah perilaku (changing behavior) para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
“Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbahaya bagi lingkungan, dengan penurunan sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030,” tambahnya.
Hal ini sejalan dengan berbagai upaya pemerintah dalam rangka mencapai target penurunan emisi GRK dalam jangka menengah dan panjang.
“Indonesia menjadi penentu arah kebijakan global, bukan pengikut, dalam melakukan transisi menuju pembangunan yang berkelanjutan. Indonesia akan menjadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon, di berbagai sektor pembangunan baik di sektor energi, transportasi, maupun industri manufaktur,” tandasnya.
Sebelumnya, pada 7 Oktober 2021 pajak karbon lahir melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan menambah sederetan kebijakan fiskal yang digunakan sebagai instrumen pengendali perubahan iklim.
“Indonesia menjadi penggerak pertama pajak karbon di dunia terutama dari negara kekuatan ekonomi baru (emerging). Ini bukti konsistensi komitmen Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan ekonomi yang kuat, berkeadilan, dan berkelanjutan,” kata Febrio melalui keterangan yang diterima MNC Portal Indonesia, Rabu (13/10/2021).
Febrio menuturkan prioritas utama penurunan emisi gas rumah kaca tersebut berada pada sektor kehutanan, serta sektor energi dan transportasi yang telah mencakup 97% dari total target penurunan emisi NDC Indonesia.
“Lebih jauh lagi, dengan semakin kuatnya tren global terhadap isu perubahan iklim, Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission) di tahun 2060 atau lebih awal,” paparnya.
Meskipun demikian, tujuan utama dari pengenaan pajak karbon adalah mengubah perilaku (changing behavior) para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
“Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbahaya bagi lingkungan, dengan penurunan sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030,” tambahnya.
Hal ini sejalan dengan berbagai upaya pemerintah dalam rangka mencapai target penurunan emisi GRK dalam jangka menengah dan panjang.
“Indonesia menjadi penentu arah kebijakan global, bukan pengikut, dalam melakukan transisi menuju pembangunan yang berkelanjutan. Indonesia akan menjadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon, di berbagai sektor pembangunan baik di sektor energi, transportasi, maupun industri manufaktur,” tandasnya.
(uka)
Lihat Juga :
tulis komentar anda