Transisi Energi Telan Dana Jumbo hingga Rp3.500 Triliun, Ini Sebabnya
Rabu, 15 Desember 2021 - 17:13 WIB
JAKARTA - Transisi energi dari fosil ke energi hijau butuh dana yang tidak sedikit. Bahkan Menteri Keuangan atau Menkeu Sri Mulyani sempat memproyeksikan setidaknya Rp3.500 triliun harus dikucurkan untuk mencapai nol emisi karbon .
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa berpendapat, anggaran jumbo ini berkaitan dengan persepsi investor soal pembangkit energi hijau di Indonesia. Persepsi risiko investasi energi terbarukan di Indonesia masih tinggi.
"Hal ini menyebabkan biaya pendanaan (financing cost) proyek-proyek energi terbarukan cukup mahal. Padahal di negara lain financing cost energi terbarukan jauh lebih rendah dari fosil," ujarnya kepada MNC Portal Indonesia, Rabu (15/12/2021).
Meski ada persepsi demikian, Fabby menjelaskan sebenarnya harga energi terbarukan tidak semahal yang dibayangkan.
"Memang benar bahwa pengembangan infrastruktur energi terbarukan butuh dana besar, tapi ini sama juga kalau membangun infrastruktur energi fosil yang lain seperti bangun PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) atau PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas)," ujarnya.
Lanjut Fabby, tidak semua energi terbarukan butuh dana yang besar. Misalnya saja, harga listrik dari pembangkit surya dan angin, saat ini sudah turun drastis.
Tercatat, saat ini harga listrik PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) tanpa baterai telah mendekati USD 3,5 sen hingga USD 3,6 sen per kWh, turun dari satu dekade lalu yang nilainya masih USD 30 sen per kWh (tanpa baterai).
"Yang mahal itu PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi) yang selama ini justru dapat fasilitas insentif dari pemerintah," katanya.
Oleh karenanya, Fabby menyarankan agar pemerintah membuat kebijakan investasi energi hijau yang atraktif supaya investor yakin dalam berinvestasi.
"Yang harus dilakukan pemerintah buatlah investasi energi terbarukan lebih mudah, menarik, dengan cara turunkan risiko-risikonya," kata Fabby.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa berpendapat, anggaran jumbo ini berkaitan dengan persepsi investor soal pembangkit energi hijau di Indonesia. Persepsi risiko investasi energi terbarukan di Indonesia masih tinggi.
"Hal ini menyebabkan biaya pendanaan (financing cost) proyek-proyek energi terbarukan cukup mahal. Padahal di negara lain financing cost energi terbarukan jauh lebih rendah dari fosil," ujarnya kepada MNC Portal Indonesia, Rabu (15/12/2021).
Meski ada persepsi demikian, Fabby menjelaskan sebenarnya harga energi terbarukan tidak semahal yang dibayangkan.
"Memang benar bahwa pengembangan infrastruktur energi terbarukan butuh dana besar, tapi ini sama juga kalau membangun infrastruktur energi fosil yang lain seperti bangun PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) atau PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas)," ujarnya.
Lanjut Fabby, tidak semua energi terbarukan butuh dana yang besar. Misalnya saja, harga listrik dari pembangkit surya dan angin, saat ini sudah turun drastis.
Tercatat, saat ini harga listrik PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) tanpa baterai telah mendekati USD 3,5 sen hingga USD 3,6 sen per kWh, turun dari satu dekade lalu yang nilainya masih USD 30 sen per kWh (tanpa baterai).
"Yang mahal itu PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi) yang selama ini justru dapat fasilitas insentif dari pemerintah," katanya.
Oleh karenanya, Fabby menyarankan agar pemerintah membuat kebijakan investasi energi hijau yang atraktif supaya investor yakin dalam berinvestasi.
"Yang harus dilakukan pemerintah buatlah investasi energi terbarukan lebih mudah, menarik, dengan cara turunkan risiko-risikonya," kata Fabby.
(akr)
tulis komentar anda