Transisi Energi Sektor Kelistrikan Butuh Investasi Rp14.200 Triliun
Selasa, 21 Desember 2021 - 14:26 WIB
JAKARTA - Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, transisi energi memerlukan investasi yang sangat besar. Total investasi sektor kelistrikan diproyeksikan sebesar USD1 triliun (Rp14.200 triliun/kurs Rp14.200) pada tahun 2060 atau USD25 miliar dolar (Rp355 triliun) per tahun.
Namun jumlah investasi itu bisa ditekan dengan pemanfaatan teknologi yang kompetitif dan efisien. Alhasil, investasi yang dikeluarkan tak sebesar tadi.
"Diharapkan dengan dukungan teknologi yang kompetitif bisa menekan jumlah investasi tersebut," ujar Arifin pada acara Indonesia Energy Transition Outlook 2022, Selasa (21/12/2021).
Arifin mengatakan, untuk mendorong transisi energi, Kementerian ESDM telah mengesahkan Green RUPTL dengan rencana pengembangan pembangkit EBT sebesar 20,9 GW atau 51,6% dari total kapasitas pembangkit yang akan dibangun hingga tahun 2030.
Di samping itu direncanakan retirement PLTU sebesar 1,13 GW, dedieselisasi PLTD menjadi PLTS, dan co-firing biomassa sehingga akan tercapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% di tahun 2025.
"Pengembangan pembangkit EBT juga harus memperhitungkan keseimbangan antara supply dan demand, kesiapan sistem, keekonomian, serta harus diikuti dengan kemampuan domestik untuk memproduksi industri EBT sehingga Indonesia tidak hanya menjadi importir teknologi EBT," jelas Arifin.
Dia melanjutkan, melalui pengembangan pembangkit EBT diproyeksikan dapat mengurangi emisi secara signifikan, khususnya setelah tahun 2040 pada saat selesainya kontrak pembangkit fosil dan pada tahun 2060 ditargetkan sudah tidak terdapat emisi dari pembangkit.
Sebagai upaya untuk mengurangi emisi dan mendorong pengembangan EBT, pemerintah memberlakukan pajak karbon berdasarkan UU No. 7 Tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan dengan tarif sebesar Rp30 per kg karbon CO2e. Tarif ini akan mulai diberlakukan pada 1 April 2022 untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan skema cap and tax.
"Peraturan ini diharapkan menciptakan iklim usaha dan investasi (di sektor EBT) yang lebih baik serta mempercepat penurunan emisi dengan menyediakan sumber pembiayaan yang inovatif dan mendukung kebijakan pajak karbon," kata Arifin.
Namun jumlah investasi itu bisa ditekan dengan pemanfaatan teknologi yang kompetitif dan efisien. Alhasil, investasi yang dikeluarkan tak sebesar tadi.
"Diharapkan dengan dukungan teknologi yang kompetitif bisa menekan jumlah investasi tersebut," ujar Arifin pada acara Indonesia Energy Transition Outlook 2022, Selasa (21/12/2021).
Arifin mengatakan, untuk mendorong transisi energi, Kementerian ESDM telah mengesahkan Green RUPTL dengan rencana pengembangan pembangkit EBT sebesar 20,9 GW atau 51,6% dari total kapasitas pembangkit yang akan dibangun hingga tahun 2030.
Di samping itu direncanakan retirement PLTU sebesar 1,13 GW, dedieselisasi PLTD menjadi PLTS, dan co-firing biomassa sehingga akan tercapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% di tahun 2025.
"Pengembangan pembangkit EBT juga harus memperhitungkan keseimbangan antara supply dan demand, kesiapan sistem, keekonomian, serta harus diikuti dengan kemampuan domestik untuk memproduksi industri EBT sehingga Indonesia tidak hanya menjadi importir teknologi EBT," jelas Arifin.
Dia melanjutkan, melalui pengembangan pembangkit EBT diproyeksikan dapat mengurangi emisi secara signifikan, khususnya setelah tahun 2040 pada saat selesainya kontrak pembangkit fosil dan pada tahun 2060 ditargetkan sudah tidak terdapat emisi dari pembangkit.
Sebagai upaya untuk mengurangi emisi dan mendorong pengembangan EBT, pemerintah memberlakukan pajak karbon berdasarkan UU No. 7 Tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan dengan tarif sebesar Rp30 per kg karbon CO2e. Tarif ini akan mulai diberlakukan pada 1 April 2022 untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan skema cap and tax.
"Peraturan ini diharapkan menciptakan iklim usaha dan investasi (di sektor EBT) yang lebih baik serta mempercepat penurunan emisi dengan menyediakan sumber pembiayaan yang inovatif dan mendukung kebijakan pajak karbon," kata Arifin.
(uka)
Lihat Juga :
tulis komentar anda