Omnibus Law Cipta Kerja: Berpotensi Positif ke Ekonomi, Namun Banyak Catatan
Kamis, 23 April 2020 - 23:52 WIB
TII menilai bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja sebagai kebijakan berpotensi positif bagi kebebasan ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, serta kesejahteraan di Indonesia. Namun, sejak awal, proses pembuatan RUU Cipta Kerja sudah mengundang polemik, dari prosesnya yang dinilai tidak inklusif, tidak transparan, terburu-buru, hingga banyak ketentuan yang diatur didalamnya dinilai mengabaikan aspek perlindungan HAM, demokrasi, penegakan hukum, dan mengancam keberlangsungan lingkungan hidup.
Lebih jauh, terkait tata bangunan dan logika hukum, RUU Cipta Kerja berpotensi menghidupkan kembali pasal yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, yaitu ketentuan presiden bisa membatalkan peraturan daerah melalui peraturan presiden. Jelas hal ini bertentangan dengan hierarki tata peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Belum lagi, potensi anomali dengan prinsip Omnibus Law, karena RUU Cipta Kerja nantinya akan mengamanatkan ratusan peraturan teknis untuk pelaksanaanya. Hal ini pulalah yang membuat pembahasan RUU ini masih harus mengkritisi banyaknya ketentuan yang bermasalah, mengingat potensi dampak negatif serius yang akan ditimbulkannya," jelasnya.
TII menegaskan, pentingya mengkritisi RUU ini mengingat aspek ekonomi juga berdampak terhadap aspek lainnya. Selain itu, pembangunan yang berkelanjutan dan mendukung kebebasan ekonomi tidak akan dapat berjalan baik dan berdampak positif, jika tidak memperhatikan pemangku kepentingan, konteks, serta dampak di aspek lainnya, termasuk aspek perlindungan HAM dan hukum, demokrasi, sosial, maupun lingkungan hidup.
"Harus diakui bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja masih memuat banyak ketentuan yang kontroversial dan justru ikut menghambat tujuannya karena proses pembuatannya yang sejak awal bermasalah," ucapnya memberikan catatan.
Ia mencontohkan, sebut saja ketentuan mengenai Pasal 93 RUU Cipta Kerja yang tidak memberi penjelasan rinci mengenai kata berhalangan terkait ketentuan tentang pemberian upah bagi buruh yang tidak masuk kerja karena berhalangan. Hal ini juga berpotensi merugikan hak-hak buruh perempuan seperti yang disuarakan serikat buruh.
Di sektor lingkungan dan industri pertambangan misalnya, banyak ketentuan yang dihapus atau tidak mengatur dengan ketat mengenai aspek pemberdayaan lingkungan dan sanksi, sehingga berpotensi mengabaikan AMDAL dan merusak lingkungan, serta memberi ruang luas untuk perpanjangan masa izin pertambangan dan membiarkan pengrusakan lingkungan.
"TII mendesak agar semua catatan kritis dari beragam pihak harus dipertimbangkan dan dijadikan masukan dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja kedepan. Di tengah krisis pandemi COVID-19 dan kritik publik terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang bersikukuh untuk terus melanjutkan pembahasan RUU ini, para pembuat kebijakan dituntut untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja tetap diproses sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik," tegasnya.
Dengan demikian terang dia, proses kebijakan yang inklusif, partisipatif, transparan, dan akuntabel, serta masukan dari berbagai pihak, menjadi hal yang sangat penting untuk memastikan agar RUU Cipta Kerja ini juga dalam prosesnya sejalan dengan asas penyelenggaraan yang termaktub dalam ketentuannya, serta relevan dengan dan memenuhi kepentingan dan kebutuhan beragam pihak, bukan hanya aspek ekonomi semata.
Lebih jauh, terkait tata bangunan dan logika hukum, RUU Cipta Kerja berpotensi menghidupkan kembali pasal yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, yaitu ketentuan presiden bisa membatalkan peraturan daerah melalui peraturan presiden. Jelas hal ini bertentangan dengan hierarki tata peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Belum lagi, potensi anomali dengan prinsip Omnibus Law, karena RUU Cipta Kerja nantinya akan mengamanatkan ratusan peraturan teknis untuk pelaksanaanya. Hal ini pulalah yang membuat pembahasan RUU ini masih harus mengkritisi banyaknya ketentuan yang bermasalah, mengingat potensi dampak negatif serius yang akan ditimbulkannya," jelasnya.
TII menegaskan, pentingya mengkritisi RUU ini mengingat aspek ekonomi juga berdampak terhadap aspek lainnya. Selain itu, pembangunan yang berkelanjutan dan mendukung kebebasan ekonomi tidak akan dapat berjalan baik dan berdampak positif, jika tidak memperhatikan pemangku kepentingan, konteks, serta dampak di aspek lainnya, termasuk aspek perlindungan HAM dan hukum, demokrasi, sosial, maupun lingkungan hidup.
"Harus diakui bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja masih memuat banyak ketentuan yang kontroversial dan justru ikut menghambat tujuannya karena proses pembuatannya yang sejak awal bermasalah," ucapnya memberikan catatan.
Ia mencontohkan, sebut saja ketentuan mengenai Pasal 93 RUU Cipta Kerja yang tidak memberi penjelasan rinci mengenai kata berhalangan terkait ketentuan tentang pemberian upah bagi buruh yang tidak masuk kerja karena berhalangan. Hal ini juga berpotensi merugikan hak-hak buruh perempuan seperti yang disuarakan serikat buruh.
Di sektor lingkungan dan industri pertambangan misalnya, banyak ketentuan yang dihapus atau tidak mengatur dengan ketat mengenai aspek pemberdayaan lingkungan dan sanksi, sehingga berpotensi mengabaikan AMDAL dan merusak lingkungan, serta memberi ruang luas untuk perpanjangan masa izin pertambangan dan membiarkan pengrusakan lingkungan.
"TII mendesak agar semua catatan kritis dari beragam pihak harus dipertimbangkan dan dijadikan masukan dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja kedepan. Di tengah krisis pandemi COVID-19 dan kritik publik terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang bersikukuh untuk terus melanjutkan pembahasan RUU ini, para pembuat kebijakan dituntut untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja tetap diproses sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik," tegasnya.
Dengan demikian terang dia, proses kebijakan yang inklusif, partisipatif, transparan, dan akuntabel, serta masukan dari berbagai pihak, menjadi hal yang sangat penting untuk memastikan agar RUU Cipta Kerja ini juga dalam prosesnya sejalan dengan asas penyelenggaraan yang termaktub dalam ketentuannya, serta relevan dengan dan memenuhi kepentingan dan kebutuhan beragam pihak, bukan hanya aspek ekonomi semata.
(akr)
tulis komentar anda