Harga Minyak Tinggi, Ada Ruang Bagi Kenaikan Harga Pertamax
Selasa, 15 Maret 2022 - 12:14 WIB
JAKARTA - Kenaikan harga minyak dunia belakangan ini dinilai perlu direspons dengan menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi agar tidak semakin memberatkan Pertamina. Dalam hal ini, Pertamina dinilai memiliki ruang untuk menyesuaikan harga Pertamax.
Alasannya, BBM dengan kadar oktan (RON) 92 yang dijual Pertamina ini adalah yang termurah jika dibandingkan dengan BBM nonsubsidi dengan RON setara yang dijual badan usaha lainnya. Pertamax masih dijual di harga Rp9.000 per liter. Sementara, harga produk BBM RON 92 pesaing saat ini berkisar antara Rp11.900 hingga Rp12.990 per liter. Harga Pertamax juga belum pernah dinaikkan dalam dua tahun terakhir.
"Secara regulasi Pertamina berpeluang menyesuaikan harga Pertamax. Menaikkan harga Pertamax mendekati harga produk sejenis yang dijual badan usaha lain juga tidak akan mengerek inflasi," ungkap Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro dalam keterangan tertulis, Selasa (15/3/2022).
Doktor Kebijakan Publik Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti ini mengatakan, kenaikan harga Pertamax tidak akan diteruskan ke inflasi. Pasalnya, Pertamax tidak terkait langsung dengan proses produksi dan distribusi barang dan jasa.
Namun, imbuh Komaidi, prasyarat utama bagi Pertamina untuk menyesuaikan harga Pertamax adalah melakukan komunikasi dengan pemerintah. "Kewenangan penentuan harga BBM nonsubsidi ada pada badan usaha. Namun itu juga bergantung pada pemegang saham," jelasnya.
Terpisah, peneliti pada Center for Economics and Development Studies Padjadjaran University (CEDS Unpad) Yayan Satyakti menilai harga BBM domestik sebaiknya mendekati harga internasional. Hal ini, jelas dia, penting untuk menjaga keseimbangan agar pasar domestik tetap terjaga dan untuk menghidari kelangkaan pasokan karena BBM murah berpotensi diselundupkan ke luar negeri.
"Minimal 80-90%-lah dari harga internasional. Walaupun harga BBM lebih mahal suplai bisa dijaga, daripada harga murah tetapi antre," ujarnya.
Staf pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpad ini menambahkan, kebijakan menahan harga Pertamax pun tidak baik bagi perekonomian. Dalam hal ini, jelas dia, fungsi nilai keekonomian dari harga BBM yang cukup tinggi adalah untuk mengurangi impor migas. "Sulit mengurangi konsumsi migas, terkecuali dengan menaikkan harga," tandasnya.
Kenaikan harga minyak dunia saat ini dinilai kian memberatkan. Dikaitkan dengan harga Pertamax yang berlaku saat ini misalnya, masih menggunakan acuan asumsi harga minyak Indonesia (ICP) APBN 2022 yang ditetapkan sebesar USD65 per barel. Padahal, harga minyak dunia sudah menembus USD100 per barel dan terus menunjukkan tren peningkatan.
Dari sisi konsumsi, pengguna Pertamax juga terus bertambah seiring naiknya kesadaran konsumen untuk menggunakan BBM berkualitas yang baik untuk mesin kendaraan serta ramah lingkungan. Porsi Pertamax dari konsumsi BBM secara nasional tahun lalu mencapai 12%, naik pesat dari tahun 2020 yang hanya 8%.
Alasannya, BBM dengan kadar oktan (RON) 92 yang dijual Pertamina ini adalah yang termurah jika dibandingkan dengan BBM nonsubsidi dengan RON setara yang dijual badan usaha lainnya. Pertamax masih dijual di harga Rp9.000 per liter. Sementara, harga produk BBM RON 92 pesaing saat ini berkisar antara Rp11.900 hingga Rp12.990 per liter. Harga Pertamax juga belum pernah dinaikkan dalam dua tahun terakhir.
"Secara regulasi Pertamina berpeluang menyesuaikan harga Pertamax. Menaikkan harga Pertamax mendekati harga produk sejenis yang dijual badan usaha lain juga tidak akan mengerek inflasi," ungkap Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro dalam keterangan tertulis, Selasa (15/3/2022).
Doktor Kebijakan Publik Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti ini mengatakan, kenaikan harga Pertamax tidak akan diteruskan ke inflasi. Pasalnya, Pertamax tidak terkait langsung dengan proses produksi dan distribusi barang dan jasa.
Namun, imbuh Komaidi, prasyarat utama bagi Pertamina untuk menyesuaikan harga Pertamax adalah melakukan komunikasi dengan pemerintah. "Kewenangan penentuan harga BBM nonsubsidi ada pada badan usaha. Namun itu juga bergantung pada pemegang saham," jelasnya.
Terpisah, peneliti pada Center for Economics and Development Studies Padjadjaran University (CEDS Unpad) Yayan Satyakti menilai harga BBM domestik sebaiknya mendekati harga internasional. Hal ini, jelas dia, penting untuk menjaga keseimbangan agar pasar domestik tetap terjaga dan untuk menghidari kelangkaan pasokan karena BBM murah berpotensi diselundupkan ke luar negeri.
"Minimal 80-90%-lah dari harga internasional. Walaupun harga BBM lebih mahal suplai bisa dijaga, daripada harga murah tetapi antre," ujarnya.
Staf pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpad ini menambahkan, kebijakan menahan harga Pertamax pun tidak baik bagi perekonomian. Dalam hal ini, jelas dia, fungsi nilai keekonomian dari harga BBM yang cukup tinggi adalah untuk mengurangi impor migas. "Sulit mengurangi konsumsi migas, terkecuali dengan menaikkan harga," tandasnya.
Kenaikan harga minyak dunia saat ini dinilai kian memberatkan. Dikaitkan dengan harga Pertamax yang berlaku saat ini misalnya, masih menggunakan acuan asumsi harga minyak Indonesia (ICP) APBN 2022 yang ditetapkan sebesar USD65 per barel. Padahal, harga minyak dunia sudah menembus USD100 per barel dan terus menunjukkan tren peningkatan.
Dari sisi konsumsi, pengguna Pertamax juga terus bertambah seiring naiknya kesadaran konsumen untuk menggunakan BBM berkualitas yang baik untuk mesin kendaraan serta ramah lingkungan. Porsi Pertamax dari konsumsi BBM secara nasional tahun lalu mencapai 12%, naik pesat dari tahun 2020 yang hanya 8%.
(nng)
Lihat Juga :
tulis komentar anda