Kebijakan DMO dan HET Minyak Goreng Dinilai Tak Efektif, Malah Picu Pasar Gelap
Rabu, 16 Maret 2022 - 10:32 WIB
JAKARTA - Berbagai kebijakan untuk mengendalikan kenaikan harga minyak goreng dan menjaga ketersediaannya dinilai belum efektif. Sebagaimana diketahui, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengeluarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) atau export ban dan harga Eceran Tertinggi (HET) untuk mengatasi kenaikan harga minyak goreng.
Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta mengatakan, kebijakan DMO dan HET berangkat dari asumsi bahwa permasalahan minyak goreng di Indonesia adalah kelangkaan minyak sawit mentah atau CPO (crude palm oil) yang merupakan input penting di pasar domestik.
Kebijakan ini juga berangkat dari asumsi bahwa petani lebih suka ekspor karena harganya lagi tinggi. "Ini asumsi yang sangat masuk akal tapi tidak diikuti fakta di lapangan,” ujar Krisna di Jakarta, Rabu (16/3/2022).
Menurut dia, kebijakan DMO justru berpotensi mendistorsi perdagangan, mengurangi reliabilitas perusahaan Indonesia bagimitra dagang luar negeri dan mengundang retaliasi dari negara lain yang dapat merugikan kepentingan Indonesia di pasar internasional.
"DMO memang bisa dipakai untuk mengatasi kelangkaan pasokan CPO. Namun menurut Mendag, yang juga diamini oleh Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni), sekarang stok CPO dalam negeri justru berlebih tapi minyak goreng tetap saja langka," bebernya.
Lebih lanjut, terkait pengenaan HET, akan membuat pedagang enggan melepas stoknya ke pasar dan memperbesar terjadinya kelangkaan.
Selain itu, HET juga dapat memunculkan pasar gelap karena selisih harga yang cukup besar antara HET dengan harga jual yang sebenarnya. Tak ayal, kini banyak bermunculan pedagang-pedagang dadakan yang menjual minyak goreng dengan harga suka-suka.
Dia menambahkan, produksi CPO domestik kemungkinan tidak akan bisa mengikuti kenaikan konsumsi, terutama yang datang dari biodiesel. "Termasuk, ongkos transportasi yang mahal juga membuat implementasi DMO akan semakin sulit," tandasnya.
Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta mengatakan, kebijakan DMO dan HET berangkat dari asumsi bahwa permasalahan minyak goreng di Indonesia adalah kelangkaan minyak sawit mentah atau CPO (crude palm oil) yang merupakan input penting di pasar domestik.
Kebijakan ini juga berangkat dari asumsi bahwa petani lebih suka ekspor karena harganya lagi tinggi. "Ini asumsi yang sangat masuk akal tapi tidak diikuti fakta di lapangan,” ujar Krisna di Jakarta, Rabu (16/3/2022).
Menurut dia, kebijakan DMO justru berpotensi mendistorsi perdagangan, mengurangi reliabilitas perusahaan Indonesia bagimitra dagang luar negeri dan mengundang retaliasi dari negara lain yang dapat merugikan kepentingan Indonesia di pasar internasional.
"DMO memang bisa dipakai untuk mengatasi kelangkaan pasokan CPO. Namun menurut Mendag, yang juga diamini oleh Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni), sekarang stok CPO dalam negeri justru berlebih tapi minyak goreng tetap saja langka," bebernya.
Lebih lanjut, terkait pengenaan HET, akan membuat pedagang enggan melepas stoknya ke pasar dan memperbesar terjadinya kelangkaan.
Baca Juga
Selain itu, HET juga dapat memunculkan pasar gelap karena selisih harga yang cukup besar antara HET dengan harga jual yang sebenarnya. Tak ayal, kini banyak bermunculan pedagang-pedagang dadakan yang menjual minyak goreng dengan harga suka-suka.
Dia menambahkan, produksi CPO domestik kemungkinan tidak akan bisa mengikuti kenaikan konsumsi, terutama yang datang dari biodiesel. "Termasuk, ongkos transportasi yang mahal juga membuat implementasi DMO akan semakin sulit," tandasnya.
(ind)
tulis komentar anda