Harga Pertamax Dinaikkan Dekati Level Keekonomian Dinilai Realistis
Selasa, 22 Maret 2022 - 21:28 WIB
JAKARTA - Kenaikan harga minyak dunia yang telah menembus USD100/barel saat ini dinilai sebagai momentum tepat bagi Pertamina untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi jenis Pertamax . Sebab, BBM dengan kadar oktan (RON) 92 produksi Pertamina tersebut harga jualnya sudah terpaut jauh dengan harga keekonomiannya.
Seperti diungkap oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Pertamax yang saat ini dijual di harga Rp9.000/liter, memiliki harga keekonomian sekitar Rp14.500/liter. Kendati demikian, Peneliti Sektor Energi dari Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) Massita Ayu Cindy menyarankan agar harga jual Pertamax tak serta merta dikerek ke harga keekonomiannya. Menurut dia, momen ini justru bisa dimanfaatkan BUMN energi tersebut untuk menguasai pasar BBM RON 92.
"Mungkin Rp12.000-an/liter, tapi kalau mau ambil pangsa pasar kompetitor, ya di bawah itu. Tapi itu bergantung pada Pertamina dan pemegang saham (pemerintah)," ujarnya dalam diskusi bersama para editor media nasional secara virtual, Selasa (22/3/2022).
Sejauh ini, pemegang saham telah memberi sinyal akan menaikkan harga Pertamax yang tak pernah naik sejak dua tahun lalu. Kementerian BUMN menyebutkan, saat ini harga BBM nonsubsidi RON 92 itu perlu diatur ulang. Sinyal itu juga diberikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebutkan bahwa harga Pertamax bisa naik,namun harga Pertalite dipertahankan.
Menurut Massita, harga baru yang cocok bagi Pertamax haruslah berada pada titik dimana tidak akan menyebabkan konsumen terpicu untuk beralih ke BBM dengan harga dan kualitas di bawahnya. Massita mengatakan, kenaikan harga Pertamax yang terlalu tinggi berpotensi memicu perpindahan pengguna Pertamax ke Pertalite (RON 90) yang harganya sudah dipastikan tidak berubah.
Bila itu terjadi, kata dia, tidak hanya akan mengganggu keuangan Pertamina, tapi juga membebani pemerintah. Pasalnya, pemerintah telah berkomitmen untuk memberikan kompensasi bagi Pertamina untuk tidak menaikkan harga Pertalite. "Soalnya perekonomian saat ini memang sudah mulai naik, tapi belum stabil sepenuhnya," ujarnya.
Untuk mencegah terjadinya migrasi, selain mengusulkan agar kenaikan harga Pertamax tak terlalu tinggi, Massita juga menyarankan agar langkah itu dibarengi dengan peningkatan pelayanan bagi konsumen yang membeli Pertamax. "Misalnya, untuk Pertamax antreannya lebih cepat serta ada layanan tambahan lainnya," kata dia.
Dengan begitu, dia yakin konsumen yang memang sudah terbiasa menggunakan Pertamax karena sesuai dengan spesifikasi kendaraannya tak akan tergiur berpindah ke BBM yang kualitasnya lebih rendah meski harganya lebih murah. "Bagi masyarakat level menengah atas, kenaikan harga Pertamax seharusnya tidak akan banyak berpengaruh," tuturnya.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga juga mengatakan bahwa pengaturan ulang harga Pertamax didasarkan asas keadilan, disesuaikan dengan penggunanya yang didominasi kelompok menengah atas. Dengan harga saat ini, kata dia, sama saja Pertamina telah mensubsidi pengguna Pertamax. "Ini artinya Pertamina mensubsidi mobil mewah yang memakai Pertamax," tandasnya.
Seperti diungkap oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Pertamax yang saat ini dijual di harga Rp9.000/liter, memiliki harga keekonomian sekitar Rp14.500/liter. Kendati demikian, Peneliti Sektor Energi dari Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) Massita Ayu Cindy menyarankan agar harga jual Pertamax tak serta merta dikerek ke harga keekonomiannya. Menurut dia, momen ini justru bisa dimanfaatkan BUMN energi tersebut untuk menguasai pasar BBM RON 92.
"Mungkin Rp12.000-an/liter, tapi kalau mau ambil pangsa pasar kompetitor, ya di bawah itu. Tapi itu bergantung pada Pertamina dan pemegang saham (pemerintah)," ujarnya dalam diskusi bersama para editor media nasional secara virtual, Selasa (22/3/2022).
Sejauh ini, pemegang saham telah memberi sinyal akan menaikkan harga Pertamax yang tak pernah naik sejak dua tahun lalu. Kementerian BUMN menyebutkan, saat ini harga BBM nonsubsidi RON 92 itu perlu diatur ulang. Sinyal itu juga diberikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebutkan bahwa harga Pertamax bisa naik,namun harga Pertalite dipertahankan.
Menurut Massita, harga baru yang cocok bagi Pertamax haruslah berada pada titik dimana tidak akan menyebabkan konsumen terpicu untuk beralih ke BBM dengan harga dan kualitas di bawahnya. Massita mengatakan, kenaikan harga Pertamax yang terlalu tinggi berpotensi memicu perpindahan pengguna Pertamax ke Pertalite (RON 90) yang harganya sudah dipastikan tidak berubah.
Bila itu terjadi, kata dia, tidak hanya akan mengganggu keuangan Pertamina, tapi juga membebani pemerintah. Pasalnya, pemerintah telah berkomitmen untuk memberikan kompensasi bagi Pertamina untuk tidak menaikkan harga Pertalite. "Soalnya perekonomian saat ini memang sudah mulai naik, tapi belum stabil sepenuhnya," ujarnya.
Untuk mencegah terjadinya migrasi, selain mengusulkan agar kenaikan harga Pertamax tak terlalu tinggi, Massita juga menyarankan agar langkah itu dibarengi dengan peningkatan pelayanan bagi konsumen yang membeli Pertamax. "Misalnya, untuk Pertamax antreannya lebih cepat serta ada layanan tambahan lainnya," kata dia.
Dengan begitu, dia yakin konsumen yang memang sudah terbiasa menggunakan Pertamax karena sesuai dengan spesifikasi kendaraannya tak akan tergiur berpindah ke BBM yang kualitasnya lebih rendah meski harganya lebih murah. "Bagi masyarakat level menengah atas, kenaikan harga Pertamax seharusnya tidak akan banyak berpengaruh," tuturnya.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga juga mengatakan bahwa pengaturan ulang harga Pertamax didasarkan asas keadilan, disesuaikan dengan penggunanya yang didominasi kelompok menengah atas. Dengan harga saat ini, kata dia, sama saja Pertamina telah mensubsidi pengguna Pertamax. "Ini artinya Pertamina mensubsidi mobil mewah yang memakai Pertamax," tandasnya.
(fai)
tulis komentar anda