Cita Rasa Minyak Sawit Indonesia: Dielu-elukan di Dalam Negeri, Dicaci di Eropa
Sabtu, 09 April 2022 - 21:45 WIB
Ndilalahnya, tahun 2020 hingga sekarang pandemi Covid-19 melanda. Sektor pariwisata ambruk. Melihat data tahun 2021 tadi, CPO pun kian mengukuhkan diri sebagai penghasil devisa numero uno.
Selain sebagai penyumbang devisa terbesar, industri sawit juga dielu-elukan sebagai salah satu sektor terbesar penyerap tenaga kerja di Indonesia. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengungkap serapan tenaga kerja di sektor industri sawit mencapai 16,2 juta pekerja, yang terdiri dari 4,2 tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung.
Besarnya kontribusi industri sawit nasional membuat pemerintah tak pernah menghentikan curahan kasih sayangnya. Insentif dan kemudahan perizinan untuk industri sawit banyak ditebarkan pemerintah. Mulai dari insetif fiskal, seperti pembebasan pajak di tahun 2015. Lalu pengurangan pajak badan dan pengurangan bea keluar.
Makanya, ketika ada yang coba-coba mengusik industri sawit, pemerintah pasti meradang. Salah satunya usikan dari Uni Eropa yang dilakukan sejak 2017 silam. Apa pasalnya hingga Benua Biru "mengharamkan" minyak sawit?
Sudah bisa ditebak, gara-garanya "tudingan" kerusakan lingkungan akibat perkebunan sawit. Pada April 2017 Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi untuk menghapuskan dan melarang penggunaan bahan bakar hayati (biofuel) yang terbuat dari minyak sawit pada 2021.
Ada lima alasan Parlemen Uni Eropa mengeluarkan kebijakan larangan impor CPO dan produk turunannya, yaitu industri sawit menciptakan deforestasi, degradasi habitat satwa, korupsi, mempekerjakan anak, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Parlemen Uni Eropa menganggap industri sawit Indonesia sebagai salah satu pemicu masalah-masalah tersebut. Alasan tersebut disetujui oleh 640 anggota Parlemen Uni Eropa, sedangkan 18 lainnya menolak, dan 28 memilih abstain.
Dua tahun berselang, atau pada Maret 2019, Komisi Eropa secara resmi telah mengeluarkan aturan turunan terkait kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II bertajuk "Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II". Melalui beleid ini, Uni Eropa telah menetapkan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku energi terbarukan yang berisiko tinggi dan tidak berkelanjutan melalui skema Indirect Land Use Change (ILUC).
Penilaian itu didasarkan pada laporan Komisi Eropa dan Dewan Uni Eropa. Laporan itu menyebutkan terdapat kaitan antara kelapa sawit dan tingkat deforestasi yang tinggi selama periode 2008-2015.
Tingkat deforestasi akibat dari tanaman kelapa sawit mencapai 45% dan semuanya terjadi di daerah dengan cadangan karbon tinggi. Hal tersebut menyebabkan Uni Eropa berencana mengurangi secara bertahap penggunaan minyak kelapa sawit terhitung dari Januari 2024.
Selain sebagai penyumbang devisa terbesar, industri sawit juga dielu-elukan sebagai salah satu sektor terbesar penyerap tenaga kerja di Indonesia. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengungkap serapan tenaga kerja di sektor industri sawit mencapai 16,2 juta pekerja, yang terdiri dari 4,2 tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung.
Besarnya kontribusi industri sawit nasional membuat pemerintah tak pernah menghentikan curahan kasih sayangnya. Insentif dan kemudahan perizinan untuk industri sawit banyak ditebarkan pemerintah. Mulai dari insetif fiskal, seperti pembebasan pajak di tahun 2015. Lalu pengurangan pajak badan dan pengurangan bea keluar.
Makanya, ketika ada yang coba-coba mengusik industri sawit, pemerintah pasti meradang. Salah satunya usikan dari Uni Eropa yang dilakukan sejak 2017 silam. Apa pasalnya hingga Benua Biru "mengharamkan" minyak sawit?
Sudah bisa ditebak, gara-garanya "tudingan" kerusakan lingkungan akibat perkebunan sawit. Pada April 2017 Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi untuk menghapuskan dan melarang penggunaan bahan bakar hayati (biofuel) yang terbuat dari minyak sawit pada 2021.
Ada lima alasan Parlemen Uni Eropa mengeluarkan kebijakan larangan impor CPO dan produk turunannya, yaitu industri sawit menciptakan deforestasi, degradasi habitat satwa, korupsi, mempekerjakan anak, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Parlemen Uni Eropa menganggap industri sawit Indonesia sebagai salah satu pemicu masalah-masalah tersebut. Alasan tersebut disetujui oleh 640 anggota Parlemen Uni Eropa, sedangkan 18 lainnya menolak, dan 28 memilih abstain.
Dua tahun berselang, atau pada Maret 2019, Komisi Eropa secara resmi telah mengeluarkan aturan turunan terkait kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II bertajuk "Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II". Melalui beleid ini, Uni Eropa telah menetapkan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku energi terbarukan yang berisiko tinggi dan tidak berkelanjutan melalui skema Indirect Land Use Change (ILUC).
Penilaian itu didasarkan pada laporan Komisi Eropa dan Dewan Uni Eropa. Laporan itu menyebutkan terdapat kaitan antara kelapa sawit dan tingkat deforestasi yang tinggi selama periode 2008-2015.
Tingkat deforestasi akibat dari tanaman kelapa sawit mencapai 45% dan semuanya terjadi di daerah dengan cadangan karbon tinggi. Hal tersebut menyebabkan Uni Eropa berencana mengurangi secara bertahap penggunaan minyak kelapa sawit terhitung dari Januari 2024.
tulis komentar anda