Cita Rasa Minyak Sawit Indonesia: Dielu-elukan di Dalam Negeri, Dicaci di Eropa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di luar gonjang ganjing kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng, pengusaha minyak sawit tahun-tahun ini tersenyum lebar. Bayangkan, gara-gara kenaikan harga minyak sawit (CPO) dunia dari USD715 (2020) per ton menjadi USD1.194 di 2021, nilai ekspor CPO mereka pun meluber.
Tahun lalu ekspor CPO Indonesia mencapai USD35 miliar atau lebih dari Rp500 triliun (kurs Rp14.300). Jumlah itu naik 55,8% dibanding tahun 2020 yang sebesar USD22,9 miliar.
Ekspor CPO memang telah menjadi andalan Negeri Sawit ini untuk mendulang devisa sejak lebih dari dua dekade. Di tahun 2000 ekspor CPO Indonesia sebanyak 4,1 juta ton senilai USD1,1 miliar dolar.
Pelan tapi pasti, ekspor CPO Indonesa kian muncrat sejak saat itu. Tahun 2010, ekspor CPO Indonesia mencapai 16.3 juta ton senilai USD13,5 miliar.
CPO adalah primadona ekspor Indonesia. Ratusan miliar dolar sudah ditenggak industri sawit dari hasil ekspor.
Satu-satunya komoditas yang bisa mengungguli ekspor CPO adalah batu bara. Namun, sejak 2015 lalu nilai ekspor CPO balik mengangkangi batu bara dan menjadi penyumbang terbesar devisi bagi Indonesia. Tahun itu ekspor batu bara sebesar USD14,7 miliar, sedangkan ekspor CPO menembus USD15,4 miliar.
Sektor pariwisata sejatinya bisa meladeni raihan devisa ekspor CPO. Tahun 2018 devisa sektor pariwisata mencapai USD19,29 miliar. Waktu itu pariwisata digadang-gadang bakal menjadi mesin penghasil devisa nomor wahid di Indonesia.
Ndilalahnya, tahun 2020 hingga sekarang pandemi Covid-19 melanda. Sektor pariwisata ambruk. Melihat data tahun 2021 tadi, CPO pun kian mengukuhkan diri sebagai penghasil devisa numero uno.
Selain sebagai penyumbang devisa terbesar, industri sawit juga dielu-elukan sebagai salah satu sektor terbesar penyerap tenaga kerja di Indonesia. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengungkap serapan tenaga kerja di sektor industri sawit mencapai 16,2 juta pekerja, yang terdiri dari 4,2 tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung.
Besarnya kontribusi industri sawit nasional membuat pemerintah tak pernah menghentikan curahan kasih sayangnya. Insentif dan kemudahan perizinan untuk industri sawit banyak ditebarkan pemerintah. Mulai dari insetif fiskal, seperti pembebasan pajak di tahun 2015. Lalu pengurangan pajak badan dan pengurangan bea keluar.
Makanya, ketika ada yang coba-coba mengusik industri sawit, pemerintah pasti meradang. Salah satunya usikan dari Uni Eropa yang dilakukan sejak 2017 silam. Apa pasalnya hingga Benua Biru "mengharamkan" minyak sawit?
Sudah bisa ditebak, gara-garanya "tudingan" kerusakan lingkungan akibat perkebunan sawit. Pada April 2017 Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi untuk menghapuskan dan melarang penggunaan bahan bakar hayati (biofuel) yang terbuat dari minyak sawit pada 2021.
Ada lima alasan Parlemen Uni Eropa mengeluarkan kebijakan larangan impor CPO dan produk turunannya, yaitu industri sawit menciptakan deforestasi, degradasi habitat satwa, korupsi, mempekerjakan anak, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Parlemen Uni Eropa menganggap industri sawit Indonesia sebagai salah satu pemicu masalah-masalah tersebut. Alasan tersebut disetujui oleh 640 anggota Parlemen Uni Eropa, sedangkan 18 lainnya menolak, dan 28 memilih abstain.
Dua tahun berselang, atau pada Maret 2019, Komisi Eropa secara resmi telah mengeluarkan aturan turunan terkait kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II bertajuk "Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II". Melalui beleid ini, Uni Eropa telah menetapkan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku energi terbarukan yang berisiko tinggi dan tidak berkelanjutan melalui skema Indirect Land Use Change (ILUC).
Penilaian itu didasarkan pada laporan Komisi Eropa dan Dewan Uni Eropa. Laporan itu menyebutkan terdapat kaitan antara kelapa sawit dan tingkat deforestasi yang tinggi selama periode 2008-2015.
Tingkat deforestasi akibat dari tanaman kelapa sawit mencapai 45% dan semuanya terjadi di daerah dengan cadangan karbon tinggi. Hal tersebut menyebabkan Uni Eropa berencana mengurangi secara bertahap penggunaan minyak kelapa sawit terhitung dari Januari 2024.
Indonesia protes dengan menyebut kebijakan itu bertujuan untuk mengisolasi dan mengucilkan minyak kelapa sawit dari sektor energi terbarukan. Indonesia pun membantah tudingan perkebunan sawit menjadi biang keladi kerusakan lingkungan dan penyebab perubahan iklim yang menimbulkan berbagai bencana alam.
Berdasarkan data dan laporan dari Kementerian Kehutanan, tercatat selama kurun waktu 1950 – 2014, konversi kawasan hutan menjadi kawasan non-hutan di Indonesia secara akumulasi sebesar 99,6 juta hektare (ha). Sedangkan, ekspansi kelapa sawit untuk kurun waktu yang sama adalah 10,8 juta ha. Dengan demikian, ekspansi perkebunan kelapa sawit bukanlah pemicu utama konversi kawasan hutan menjadi non-hutan di Indonesia.
Indonesia pun balik menduding bahwa kebijakan Uni Eropa hanya merupakan kampanye hitam atas persaingan bisnis belaka. Pasalnya, minyak sawit Indonesia menjadi ancaman minyak nabati lainnya, seperti rapeseed/RSO (lobak), soybean/SBO (kedelai), hingga sunflower/SFO (bunga matahari).
Eropa terbilang haus dengan minyak nabati sejak 1980. Saat itu, pola konsumsi minyak nabati Eropa berdasarkan jumlah adalah SBO, RSO, SFO, dan CPO. Berdasarkan data Oil Word yang dikutip Gapki tahun 1980 konsumsi minyak nabati Eropa sebanyak 3,7 juta ton.
36 tahun kemudian (2016) konsumsi minyak nabati Eropa mencapai 22 juta ton. Nah dengan berbagai kelebihannya, minyak sawit (CPO) berhasil menyalip konsumsi sejumlah minyak nabati lainnya. Formasi pun berubah menjadi RSO, CPO,SFO, dan SBO.
Impor Eropa atas minyak sawit terus mengalami peningkatan yang siginifikan. Jika di tahun 1980 impor Eropa atas CPO hanya sebesar 300 ribu ton, maka di tahun 2016 impor itu tumpah menjadi 6,5 juta ton.
Menariknya, CPO hanya bisa diimpor oleh Eropa. Sementara ketiga minyak nabati lainnya selain diimpor juga dihasilkan dari kawasan Eropa. Artinya, kehadiran minyak sawit di Eropa menjadi ancaman tersendiri bagi minyak nabati mereka. Makanya, pemerintah Indonesia menyebut penolakan CPO oleh Uni Eropa hanya urusan bisnis saja.
Terkait minyak sawit menjadi penyebab deforestasi besar-besaran, Indonesia menilai itu juga hanya akal-akalan Eropa. Pemerintah Indonesia mengungkap untuk dapat menghasilkan 1 ton minyak sawit, hanya dibutuhkan lahan sebesar 0,3 hektare. Sementara rapeseed oil butuh 1,3 hektare, dan soybean 2,2 hektare.
Eropa adalah Eropa. Negara-negara yang berada di benua ini punya kebersamaan yang kuat. Gerakan anti-minyak sawit Eropa berhasil mengeringkan ekspor CPO Indonesia. Ekspor CPO Indonesia ke Eropa tahun 2017 turun menjadi 5 juta ton, tahun 2018 turun lagi menjadi 4,8 juta ton, dan tahun 2019 tersisa 2 juta ton.
Eropa memang bukan pasar terbesar CPO Indonesia. India dan China-lah pembeli terbesar CPO Indonesia. Masalahnya, sebagai "kiblat" pemikirian dunia, kampanye Eropa dikhawtirkan bisa meluas ke negara-negara lain.
Makanya, Indonesia tak tinggal diam. Berbagai langkah diambil pemerintah Indonesia. Maret 2018 Presiden Joko Widodo mengutus Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan ke Eropa untuk menjernihkan kampanye hitam Eropa atas CPO.
Selama lawatannya Luhut membahas masalah sawit dengan pemerintah lima negara Eropa, mulai dari Inggris, Jerman, Belanda, Prancis, dan Belgia. Luhut pun menyempatkan diri menyaba Paus Fransiskus di Vatikan untuk meminta wejangan.
Tak cukup! Indonesia kemudian menerapkan strategi menyerang untuk mengtasi masalah CPO di Eropa. Langkah offensive Pemerintah Indonesia di antaranya dengan turut mempermasalahkan penggunaan minyak nabati dari jenis komoditas lain di pasar global, baik rapeseed, soybean, maupun sunflower.
Indonesia pun kemudian membawa permasalahan CPO ke sidang World Trade Organization (WTO) pada Desmber 2019. Hingga kini persidangan ini masih terus berjalan. Indonesia pun optimistis memenangi gugatan ini. Jika menang di WTO maka akan menjadi pupuk bagi industri sawit nasional. Semoga!
Tahun lalu ekspor CPO Indonesia mencapai USD35 miliar atau lebih dari Rp500 triliun (kurs Rp14.300). Jumlah itu naik 55,8% dibanding tahun 2020 yang sebesar USD22,9 miliar.
Ekspor CPO memang telah menjadi andalan Negeri Sawit ini untuk mendulang devisa sejak lebih dari dua dekade. Di tahun 2000 ekspor CPO Indonesia sebanyak 4,1 juta ton senilai USD1,1 miliar dolar.
Pelan tapi pasti, ekspor CPO Indonesa kian muncrat sejak saat itu. Tahun 2010, ekspor CPO Indonesia mencapai 16.3 juta ton senilai USD13,5 miliar.
CPO adalah primadona ekspor Indonesia. Ratusan miliar dolar sudah ditenggak industri sawit dari hasil ekspor.
Satu-satunya komoditas yang bisa mengungguli ekspor CPO adalah batu bara. Namun, sejak 2015 lalu nilai ekspor CPO balik mengangkangi batu bara dan menjadi penyumbang terbesar devisi bagi Indonesia. Tahun itu ekspor batu bara sebesar USD14,7 miliar, sedangkan ekspor CPO menembus USD15,4 miliar.
Sektor pariwisata sejatinya bisa meladeni raihan devisa ekspor CPO. Tahun 2018 devisa sektor pariwisata mencapai USD19,29 miliar. Waktu itu pariwisata digadang-gadang bakal menjadi mesin penghasil devisa nomor wahid di Indonesia.
Ndilalahnya, tahun 2020 hingga sekarang pandemi Covid-19 melanda. Sektor pariwisata ambruk. Melihat data tahun 2021 tadi, CPO pun kian mengukuhkan diri sebagai penghasil devisa numero uno.
Selain sebagai penyumbang devisa terbesar, industri sawit juga dielu-elukan sebagai salah satu sektor terbesar penyerap tenaga kerja di Indonesia. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengungkap serapan tenaga kerja di sektor industri sawit mencapai 16,2 juta pekerja, yang terdiri dari 4,2 tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung.
Besarnya kontribusi industri sawit nasional membuat pemerintah tak pernah menghentikan curahan kasih sayangnya. Insentif dan kemudahan perizinan untuk industri sawit banyak ditebarkan pemerintah. Mulai dari insetif fiskal, seperti pembebasan pajak di tahun 2015. Lalu pengurangan pajak badan dan pengurangan bea keluar.
Makanya, ketika ada yang coba-coba mengusik industri sawit, pemerintah pasti meradang. Salah satunya usikan dari Uni Eropa yang dilakukan sejak 2017 silam. Apa pasalnya hingga Benua Biru "mengharamkan" minyak sawit?
Sudah bisa ditebak, gara-garanya "tudingan" kerusakan lingkungan akibat perkebunan sawit. Pada April 2017 Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi untuk menghapuskan dan melarang penggunaan bahan bakar hayati (biofuel) yang terbuat dari minyak sawit pada 2021.
Ada lima alasan Parlemen Uni Eropa mengeluarkan kebijakan larangan impor CPO dan produk turunannya, yaitu industri sawit menciptakan deforestasi, degradasi habitat satwa, korupsi, mempekerjakan anak, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Parlemen Uni Eropa menganggap industri sawit Indonesia sebagai salah satu pemicu masalah-masalah tersebut. Alasan tersebut disetujui oleh 640 anggota Parlemen Uni Eropa, sedangkan 18 lainnya menolak, dan 28 memilih abstain.
Dua tahun berselang, atau pada Maret 2019, Komisi Eropa secara resmi telah mengeluarkan aturan turunan terkait kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II bertajuk "Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II". Melalui beleid ini, Uni Eropa telah menetapkan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku energi terbarukan yang berisiko tinggi dan tidak berkelanjutan melalui skema Indirect Land Use Change (ILUC).
Penilaian itu didasarkan pada laporan Komisi Eropa dan Dewan Uni Eropa. Laporan itu menyebutkan terdapat kaitan antara kelapa sawit dan tingkat deforestasi yang tinggi selama periode 2008-2015.
Tingkat deforestasi akibat dari tanaman kelapa sawit mencapai 45% dan semuanya terjadi di daerah dengan cadangan karbon tinggi. Hal tersebut menyebabkan Uni Eropa berencana mengurangi secara bertahap penggunaan minyak kelapa sawit terhitung dari Januari 2024.
Indonesia protes dengan menyebut kebijakan itu bertujuan untuk mengisolasi dan mengucilkan minyak kelapa sawit dari sektor energi terbarukan. Indonesia pun membantah tudingan perkebunan sawit menjadi biang keladi kerusakan lingkungan dan penyebab perubahan iklim yang menimbulkan berbagai bencana alam.
Berdasarkan data dan laporan dari Kementerian Kehutanan, tercatat selama kurun waktu 1950 – 2014, konversi kawasan hutan menjadi kawasan non-hutan di Indonesia secara akumulasi sebesar 99,6 juta hektare (ha). Sedangkan, ekspansi kelapa sawit untuk kurun waktu yang sama adalah 10,8 juta ha. Dengan demikian, ekspansi perkebunan kelapa sawit bukanlah pemicu utama konversi kawasan hutan menjadi non-hutan di Indonesia.
Indonesia pun balik menduding bahwa kebijakan Uni Eropa hanya merupakan kampanye hitam atas persaingan bisnis belaka. Pasalnya, minyak sawit Indonesia menjadi ancaman minyak nabati lainnya, seperti rapeseed/RSO (lobak), soybean/SBO (kedelai), hingga sunflower/SFO (bunga matahari).
Eropa terbilang haus dengan minyak nabati sejak 1980. Saat itu, pola konsumsi minyak nabati Eropa berdasarkan jumlah adalah SBO, RSO, SFO, dan CPO. Berdasarkan data Oil Word yang dikutip Gapki tahun 1980 konsumsi minyak nabati Eropa sebanyak 3,7 juta ton.
36 tahun kemudian (2016) konsumsi minyak nabati Eropa mencapai 22 juta ton. Nah dengan berbagai kelebihannya, minyak sawit (CPO) berhasil menyalip konsumsi sejumlah minyak nabati lainnya. Formasi pun berubah menjadi RSO, CPO,SFO, dan SBO.
Impor Eropa atas minyak sawit terus mengalami peningkatan yang siginifikan. Jika di tahun 1980 impor Eropa atas CPO hanya sebesar 300 ribu ton, maka di tahun 2016 impor itu tumpah menjadi 6,5 juta ton.
Menariknya, CPO hanya bisa diimpor oleh Eropa. Sementara ketiga minyak nabati lainnya selain diimpor juga dihasilkan dari kawasan Eropa. Artinya, kehadiran minyak sawit di Eropa menjadi ancaman tersendiri bagi minyak nabati mereka. Makanya, pemerintah Indonesia menyebut penolakan CPO oleh Uni Eropa hanya urusan bisnis saja.
Terkait minyak sawit menjadi penyebab deforestasi besar-besaran, Indonesia menilai itu juga hanya akal-akalan Eropa. Pemerintah Indonesia mengungkap untuk dapat menghasilkan 1 ton minyak sawit, hanya dibutuhkan lahan sebesar 0,3 hektare. Sementara rapeseed oil butuh 1,3 hektare, dan soybean 2,2 hektare.
Eropa adalah Eropa. Negara-negara yang berada di benua ini punya kebersamaan yang kuat. Gerakan anti-minyak sawit Eropa berhasil mengeringkan ekspor CPO Indonesia. Ekspor CPO Indonesia ke Eropa tahun 2017 turun menjadi 5 juta ton, tahun 2018 turun lagi menjadi 4,8 juta ton, dan tahun 2019 tersisa 2 juta ton.
Eropa memang bukan pasar terbesar CPO Indonesia. India dan China-lah pembeli terbesar CPO Indonesia. Masalahnya, sebagai "kiblat" pemikirian dunia, kampanye Eropa dikhawtirkan bisa meluas ke negara-negara lain.
Makanya, Indonesia tak tinggal diam. Berbagai langkah diambil pemerintah Indonesia. Maret 2018 Presiden Joko Widodo mengutus Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan ke Eropa untuk menjernihkan kampanye hitam Eropa atas CPO.
Selama lawatannya Luhut membahas masalah sawit dengan pemerintah lima negara Eropa, mulai dari Inggris, Jerman, Belanda, Prancis, dan Belgia. Luhut pun menyempatkan diri menyaba Paus Fransiskus di Vatikan untuk meminta wejangan.
Tak cukup! Indonesia kemudian menerapkan strategi menyerang untuk mengtasi masalah CPO di Eropa. Langkah offensive Pemerintah Indonesia di antaranya dengan turut mempermasalahkan penggunaan minyak nabati dari jenis komoditas lain di pasar global, baik rapeseed, soybean, maupun sunflower.
Indonesia pun kemudian membawa permasalahan CPO ke sidang World Trade Organization (WTO) pada Desmber 2019. Hingga kini persidangan ini masih terus berjalan. Indonesia pun optimistis memenangi gugatan ini. Jika menang di WTO maka akan menjadi pupuk bagi industri sawit nasional. Semoga!
(uka)