Cita Rasa Minyak Sawit Indonesia: Dielu-elukan di Dalam Negeri, Dicaci di Eropa
Sabtu, 09 April 2022 - 21:45 WIB
Indonesia protes dengan menyebut kebijakan itu bertujuan untuk mengisolasi dan mengucilkan minyak kelapa sawit dari sektor energi terbarukan. Indonesia pun membantah tudingan perkebunan sawit menjadi biang keladi kerusakan lingkungan dan penyebab perubahan iklim yang menimbulkan berbagai bencana alam.
Berdasarkan data dan laporan dari Kementerian Kehutanan, tercatat selama kurun waktu 1950 – 2014, konversi kawasan hutan menjadi kawasan non-hutan di Indonesia secara akumulasi sebesar 99,6 juta hektare (ha). Sedangkan, ekspansi kelapa sawit untuk kurun waktu yang sama adalah 10,8 juta ha. Dengan demikian, ekspansi perkebunan kelapa sawit bukanlah pemicu utama konversi kawasan hutan menjadi non-hutan di Indonesia.
Indonesia pun balik menduding bahwa kebijakan Uni Eropa hanya merupakan kampanye hitam atas persaingan bisnis belaka. Pasalnya, minyak sawit Indonesia menjadi ancaman minyak nabati lainnya, seperti rapeseed/RSO (lobak), soybean/SBO (kedelai), hingga sunflower/SFO (bunga matahari).
Eropa terbilang haus dengan minyak nabati sejak 1980. Saat itu, pola konsumsi minyak nabati Eropa berdasarkan jumlah adalah SBO, RSO, SFO, dan CPO. Berdasarkan data Oil Word yang dikutip Gapki tahun 1980 konsumsi minyak nabati Eropa sebanyak 3,7 juta ton.
36 tahun kemudian (2016) konsumsi minyak nabati Eropa mencapai 22 juta ton. Nah dengan berbagai kelebihannya, minyak sawit (CPO) berhasil menyalip konsumsi sejumlah minyak nabati lainnya. Formasi pun berubah menjadi RSO, CPO,SFO, dan SBO.
Impor Eropa atas minyak sawit terus mengalami peningkatan yang siginifikan. Jika di tahun 1980 impor Eropa atas CPO hanya sebesar 300 ribu ton, maka di tahun 2016 impor itu tumpah menjadi 6,5 juta ton.
Menariknya, CPO hanya bisa diimpor oleh Eropa. Sementara ketiga minyak nabati lainnya selain diimpor juga dihasilkan dari kawasan Eropa. Artinya, kehadiran minyak sawit di Eropa menjadi ancaman tersendiri bagi minyak nabati mereka. Makanya, pemerintah Indonesia menyebut penolakan CPO oleh Uni Eropa hanya urusan bisnis saja.
Terkait minyak sawit menjadi penyebab deforestasi besar-besaran, Indonesia menilai itu juga hanya akal-akalan Eropa. Pemerintah Indonesia mengungkap untuk dapat menghasilkan 1 ton minyak sawit, hanya dibutuhkan lahan sebesar 0,3 hektare. Sementara rapeseed oil butuh 1,3 hektare, dan soybean 2,2 hektare.
Eropa adalah Eropa. Negara-negara yang berada di benua ini punya kebersamaan yang kuat. Gerakan anti-minyak sawit Eropa berhasil mengeringkan ekspor CPO Indonesia. Ekspor CPO Indonesia ke Eropa tahun 2017 turun menjadi 5 juta ton, tahun 2018 turun lagi menjadi 4,8 juta ton, dan tahun 2019 tersisa 2 juta ton.
Eropa memang bukan pasar terbesar CPO Indonesia. India dan China-lah pembeli terbesar CPO Indonesia. Masalahnya, sebagai "kiblat" pemikirian dunia, kampanye Eropa dikhawtirkan bisa meluas ke negara-negara lain.
Berdasarkan data dan laporan dari Kementerian Kehutanan, tercatat selama kurun waktu 1950 – 2014, konversi kawasan hutan menjadi kawasan non-hutan di Indonesia secara akumulasi sebesar 99,6 juta hektare (ha). Sedangkan, ekspansi kelapa sawit untuk kurun waktu yang sama adalah 10,8 juta ha. Dengan demikian, ekspansi perkebunan kelapa sawit bukanlah pemicu utama konversi kawasan hutan menjadi non-hutan di Indonesia.
Indonesia pun balik menduding bahwa kebijakan Uni Eropa hanya merupakan kampanye hitam atas persaingan bisnis belaka. Pasalnya, minyak sawit Indonesia menjadi ancaman minyak nabati lainnya, seperti rapeseed/RSO (lobak), soybean/SBO (kedelai), hingga sunflower/SFO (bunga matahari).
Eropa terbilang haus dengan minyak nabati sejak 1980. Saat itu, pola konsumsi minyak nabati Eropa berdasarkan jumlah adalah SBO, RSO, SFO, dan CPO. Berdasarkan data Oil Word yang dikutip Gapki tahun 1980 konsumsi minyak nabati Eropa sebanyak 3,7 juta ton.
36 tahun kemudian (2016) konsumsi minyak nabati Eropa mencapai 22 juta ton. Nah dengan berbagai kelebihannya, minyak sawit (CPO) berhasil menyalip konsumsi sejumlah minyak nabati lainnya. Formasi pun berubah menjadi RSO, CPO,SFO, dan SBO.
Impor Eropa atas minyak sawit terus mengalami peningkatan yang siginifikan. Jika di tahun 1980 impor Eropa atas CPO hanya sebesar 300 ribu ton, maka di tahun 2016 impor itu tumpah menjadi 6,5 juta ton.
Menariknya, CPO hanya bisa diimpor oleh Eropa. Sementara ketiga minyak nabati lainnya selain diimpor juga dihasilkan dari kawasan Eropa. Artinya, kehadiran minyak sawit di Eropa menjadi ancaman tersendiri bagi minyak nabati mereka. Makanya, pemerintah Indonesia menyebut penolakan CPO oleh Uni Eropa hanya urusan bisnis saja.
Terkait minyak sawit menjadi penyebab deforestasi besar-besaran, Indonesia menilai itu juga hanya akal-akalan Eropa. Pemerintah Indonesia mengungkap untuk dapat menghasilkan 1 ton minyak sawit, hanya dibutuhkan lahan sebesar 0,3 hektare. Sementara rapeseed oil butuh 1,3 hektare, dan soybean 2,2 hektare.
Eropa adalah Eropa. Negara-negara yang berada di benua ini punya kebersamaan yang kuat. Gerakan anti-minyak sawit Eropa berhasil mengeringkan ekspor CPO Indonesia. Ekspor CPO Indonesia ke Eropa tahun 2017 turun menjadi 5 juta ton, tahun 2018 turun lagi menjadi 4,8 juta ton, dan tahun 2019 tersisa 2 juta ton.
Eropa memang bukan pasar terbesar CPO Indonesia. India dan China-lah pembeli terbesar CPO Indonesia. Masalahnya, sebagai "kiblat" pemikirian dunia, kampanye Eropa dikhawtirkan bisa meluas ke negara-negara lain.
tulis komentar anda