Gegara Kebijakan Senangkan Rakyat, Sri Lanka Tuai Malapetaka
Selasa, 24 Mei 2022 - 11:17 WIB
JAKARTA - Situasi Sri Lanka saat ini semakin terpuruk. Negara yang terletak di Asia bagian selatan itu pada April lalu menyatakan tidak sanggup membayar utang dan mengakui kebangkrutannya .
Dalam beberapa bulan terakhir pun Sri Lanka diketahui mengalami krisis kebutuhan dasar, mulai dari bensin hingga gas untuk memasak. Di Ibu Kota Colombo terdapat antrean panjang untuk membeli tabung gas, dan harga tabung gas yang awalnya 2.675 rupe atau Rp110 ribu melonjak menjadi 5000 rupe atau Rp206 ribu.
Sri Lanka juga mengalami krisis bahan pangan yang bermula sejak dilarangnya impor pupuk kimia pada April 2021 lalu. Kebijakan ini menyebabkan penurunan drastis hasil panen. Setelah krisis ekonomi terjadi, pemerintah kembali mencabut larangan tersebut dan menjamin ketersediaan pupuk pada musim tanam mendatang.
Jikalau diurut ke belakang, krisis Sri Lanka salah satunya bermula dari kebijakan Presiden Gotabaya Rajapaksa yang melakukan pemotongan pajak secara besar-besaran terhadap seluruh rakyat Sri Lanka. Kebijakan populis yang menyenangkan rakyat, tapi akhirnya malah berbuah petaka.
Awalnya kebijakan ini ditentang oleh mantan menteri keuangan, karena menurutnya dapat menimbulkan kebangkrutan negara. Namun protes itu diabaikan oleh presiden dan berakhir dengan krisis perekonomian saat ini.
Jabatan menteri keuangan yang masih kosong juga menjadi penyebab krisis semakin parah mengingat kekosongan itu menjadi penghambat negosiasi dengan IMF terkait bailout. Dikutip dari beberapa sumber oleh MPI, beberapa legislator lain dari partai presiden, yaitu Sri Lanka Podujana Peremuna (SLPP) menolak untuk menempati posisi menteri keuangan, diketahui setidaknya empat orang parlemen menolak untuk menjadi menteri.
Keadaan sulit ini membuat Sri Lanka berharap besar kepada masyarakatnya yang berada di luar negeri. Pasalnya, setelah menyatakan bangkrut, Sri Lanka mendesak warganya di laur negeri untuk mengirimkan uang demi membantu membeli kebutuhan pokok dan bahan bakar.
Pada 16 Mei lalu Sri Lanka kehabisan stok bensin dan mengaku tidak memiliki uang untuk mengimpor. Hingga saat ini situasi perekonomian Sri Lanka tak kunjung membaik.
Dalam beberapa bulan terakhir pun Sri Lanka diketahui mengalami krisis kebutuhan dasar, mulai dari bensin hingga gas untuk memasak. Di Ibu Kota Colombo terdapat antrean panjang untuk membeli tabung gas, dan harga tabung gas yang awalnya 2.675 rupe atau Rp110 ribu melonjak menjadi 5000 rupe atau Rp206 ribu.
Sri Lanka juga mengalami krisis bahan pangan yang bermula sejak dilarangnya impor pupuk kimia pada April 2021 lalu. Kebijakan ini menyebabkan penurunan drastis hasil panen. Setelah krisis ekonomi terjadi, pemerintah kembali mencabut larangan tersebut dan menjamin ketersediaan pupuk pada musim tanam mendatang.
Jikalau diurut ke belakang, krisis Sri Lanka salah satunya bermula dari kebijakan Presiden Gotabaya Rajapaksa yang melakukan pemotongan pajak secara besar-besaran terhadap seluruh rakyat Sri Lanka. Kebijakan populis yang menyenangkan rakyat, tapi akhirnya malah berbuah petaka.
Awalnya kebijakan ini ditentang oleh mantan menteri keuangan, karena menurutnya dapat menimbulkan kebangkrutan negara. Namun protes itu diabaikan oleh presiden dan berakhir dengan krisis perekonomian saat ini.
Jabatan menteri keuangan yang masih kosong juga menjadi penyebab krisis semakin parah mengingat kekosongan itu menjadi penghambat negosiasi dengan IMF terkait bailout. Dikutip dari beberapa sumber oleh MPI, beberapa legislator lain dari partai presiden, yaitu Sri Lanka Podujana Peremuna (SLPP) menolak untuk menempati posisi menteri keuangan, diketahui setidaknya empat orang parlemen menolak untuk menjadi menteri.
Keadaan sulit ini membuat Sri Lanka berharap besar kepada masyarakatnya yang berada di luar negeri. Pasalnya, setelah menyatakan bangkrut, Sri Lanka mendesak warganya di laur negeri untuk mengirimkan uang demi membantu membeli kebutuhan pokok dan bahan bakar.
Pada 16 Mei lalu Sri Lanka kehabisan stok bensin dan mengaku tidak memiliki uang untuk mengimpor. Hingga saat ini situasi perekonomian Sri Lanka tak kunjung membaik.
(uka)
tulis komentar anda