Meski Dibelit Sejumlah Masalah, Ekonom Indef: Indonesia Tak Bisa Ditarik-tarik Akan Seperti Sri Lanka
Senin, 18 Juli 2022 - 14:58 WIB
Didik sendiri menjawabnya, pemerintah melakukan subsidi besar-besaran dan mencegat semua kemungkinan inflasi dengan berbagai langkah, menggunakan APBN dan berutang. Kebijakan itu berpotensi menimbulkan risiko di masa mendatang, bahkan akan menjadi tanggungan presiden yang akan datang. Subsidi dari pemerintah saat ini, lanjut Didik, sudah mencapai lebih dari Rp500 triliun.
Masalah keempat, ada utang dan defisit dalam setahun Rp1.000 triliun. Utang satu tahun sebesar Rp1,500 triliun, yang artinya lebih besar dari pendapatan pajak dari seluruh rakyat Indonesia. Semua itu terjadi karena tidak ada check and balance.
Sekarang, pemda-pemda, bupati dan seterusnya dianggap berfoya-foya hampir dua kali lebih besar dari masa sebelum krisis. Itu bisa dihitung dari angka di kementerian: berapa kali perjalanan dinas dalam dan luar negeri, yang ternyata lebih banyak.
"Ketika krisis, orang seharusnya menghemat, tidak ke mana-mana dulu. Bisa terjadi ada pemotongan anggaran. Potongan itulah yang dimasukkan dalam anggaran PEN, tetapi sekarang yang terjadi dipotong pun tidak, tetapi anggaran PEN sudah Rp700 triliun," papar Didik.
Masalah kelima, adanya kesenjangan sosial, namun demikian Indonesia tidak akan mengalami nasib seperti Sri Lanka dan Pakistan? Dari segi ekonomi pasti berbeda. PDB Indonesia USD1 triliun, Sri Lanka hanya ber-PDB USD80 miliar. Jadi Indonesia is large economy, Sri Lanka small economy. Pada saat Indonesia krisis, Sri Lanka tidak alami krisis.
"Tidak ada hubungan langsung antara Sri Lanka dan Indonesia," tegas Didik.
Masih lanjut Didik, Indonesia dengan Sri Lanka jelas berbeda. Tetapi potensi resesi krisis dan resesi Indonesia memang ada. Dengan catatan jika stabilitas politik lebih berat. Jika harga-harga terus naik, maka rakyat akan protes keras. Jadi, Srilanka dan Indonesia tidak sama, dan tidak bisa ditarik-tarik Indonesia akan mengalami krisis seperti Sri Lanka.
"Hanya, melihat krisis global sekarang dan Indonesia punya masalah berat, maka potensi krisis pasti ada. Potensi akan semakin besar jika stabilitas politik tidak memadai. Segala kebijakan hendaknya tetap care terhadap krisis," kata Didik.
Masalah terakhir adalah kepemimpinan ekonomi yang absen, yang bisa dilihat dan dari akibat buruknya kebijakan yang dihasilkan. Tidak ada lagi menteri yang punya kepemimpinan teknokratis, semua menjadi politisi rabun dekat, sehingga memperlemah kebijakan yang dihasilkan dalam kepemimpinan masalah ekonomi.
Masalah keempat, ada utang dan defisit dalam setahun Rp1.000 triliun. Utang satu tahun sebesar Rp1,500 triliun, yang artinya lebih besar dari pendapatan pajak dari seluruh rakyat Indonesia. Semua itu terjadi karena tidak ada check and balance.
Sekarang, pemda-pemda, bupati dan seterusnya dianggap berfoya-foya hampir dua kali lebih besar dari masa sebelum krisis. Itu bisa dihitung dari angka di kementerian: berapa kali perjalanan dinas dalam dan luar negeri, yang ternyata lebih banyak.
"Ketika krisis, orang seharusnya menghemat, tidak ke mana-mana dulu. Bisa terjadi ada pemotongan anggaran. Potongan itulah yang dimasukkan dalam anggaran PEN, tetapi sekarang yang terjadi dipotong pun tidak, tetapi anggaran PEN sudah Rp700 triliun," papar Didik.
Masalah kelima, adanya kesenjangan sosial, namun demikian Indonesia tidak akan mengalami nasib seperti Sri Lanka dan Pakistan? Dari segi ekonomi pasti berbeda. PDB Indonesia USD1 triliun, Sri Lanka hanya ber-PDB USD80 miliar. Jadi Indonesia is large economy, Sri Lanka small economy. Pada saat Indonesia krisis, Sri Lanka tidak alami krisis.
"Tidak ada hubungan langsung antara Sri Lanka dan Indonesia," tegas Didik.
Masih lanjut Didik, Indonesia dengan Sri Lanka jelas berbeda. Tetapi potensi resesi krisis dan resesi Indonesia memang ada. Dengan catatan jika stabilitas politik lebih berat. Jika harga-harga terus naik, maka rakyat akan protes keras. Jadi, Srilanka dan Indonesia tidak sama, dan tidak bisa ditarik-tarik Indonesia akan mengalami krisis seperti Sri Lanka.
"Hanya, melihat krisis global sekarang dan Indonesia punya masalah berat, maka potensi krisis pasti ada. Potensi akan semakin besar jika stabilitas politik tidak memadai. Segala kebijakan hendaknya tetap care terhadap krisis," kata Didik.
Masalah terakhir adalah kepemimpinan ekonomi yang absen, yang bisa dilihat dan dari akibat buruknya kebijakan yang dihasilkan. Tidak ada lagi menteri yang punya kepemimpinan teknokratis, semua menjadi politisi rabun dekat, sehingga memperlemah kebijakan yang dihasilkan dalam kepemimpinan masalah ekonomi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda