Jangan Boros, Jaga Keamanan Finansial di Tengah Wabah Corona

Senin, 27 April 2020 - 10:35 WIB
Pandemi Covid-19 membuat segala sesuatu menjadi berantakan. Namun begitu, keamanan finansial tetap harus terjaga. Mengingat kita tidak tahu sampai kapan wabah ini akan berakhir. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
JAKARTA - Pandemi Covid-19 membuat segala sesuatu menjadi berantakan. Namun begitu, keamanan finansial tetap harus terjaga. Mengingat kita tidak tahu sampai kapan wabah ini akan berakhir.

Wabah Covid-19 bukan hanya mengguncang pelayanan kesehatan, melainkan juga ekonomi dunia. Salah satu dampak yang langsung terasa adalah ribuan karyawan dirumahkan tanpa diberi gaji atau bahkan langsung PHK karena beberapa sektor industri berhenti beroperasi. Adapun yang lebih beruntung adalah mereka yang tetap digaji dengan bekerja dari rumah.

Namun, keluhan yang banyak dialami adalah merasa menjadi lebih boros selama di rumah saja. “Mungkin kesannya memang menjadi lebih boros karena di minggu pertama kita seperti kaget dan euforia. Segala dibeli melalui online. Tak hanya makanan, melainkan juga pernak-pernik rumah, alat memasak, bahkan meja kursi kerja agar bisa bekerja dengan nyaman di rumah,” ungkap Ligwina selaku Financial Trainer dari QM Training dari rilis yang diterima dari Guesehat. Ligwina juga menyoroti fenomena panic buying untuk mengantisipasi PSBB (Pembatasan Wilayah Skala Besar).

Padahal menurut hematnya, masyarakat harus mulai berhitung, apakah benar memang bertambah boros. Boros atau hemat itu tidak berdasarkan asumsi, tetapi berdasarkan angka. "Coba mulai sekarang hitung semua pengeluaran per bulan, apakah memang menjadi berlebihan?” jelas pakar finansial ini. Menurut pengamatannya, selama pandemi ini memang ada pos pengeluaran yang membesar.

Meski begitu, ada pos pengeluaran yang berkurang, sebut saja biaya transportasi dan gaya hidup. Dikatakan Ligwina, keuangan keluarga dikatakan sehat jika mengikuti kaidah pembelanjaan berikut: dari 100% penghasilan, maka 30% maksimal digunakan untuk cicilan, pengeluaran rutin 40-60%, menabung 10-30%, gaya hidup maksimal 20%, dan aktivitas sosial minimal 2,5%.



“Tapi itu adalah saat kondisi normal. Saat seperti sekarang jika kondisi keuangan sudah masuk kondisi darurat, maka pengeluaran untuk menabung, gaya hidup, dan sosial bisa dihilangkan. Harus ada prioritas, terutama bagi yang mendapatkan penghasilan dari upah harian. Bagi yang masih mendapatkan gaji, biaya cicilan dan pengeluaran rutin tetap harus diprioritaskan,” jelas Ligwina.

Lantas bagaimana dengan dana darurat? Menurut Ligwina, tidak banyak orang yang menyiapkan dana darurat. Jumlahnya pun sangat personal karena kebutuhan masing-masing keluarga berbeda. Namun, patokan umum besarnya dana darurat adalah sebagai berikut: untuk lajang sebaiknya memiliki dana darurat empat kali pengeluaran bulanan, pasangan tanpa anak enam kali pengeluaran bulanan, pasangan dengan satu anak sembilan kali pengeluaran bulanan.

Sedangkan untuk pasangan dengan dua anak, minimal memiliki dana darurat 12 kali pengeluaran bulanan. Golongan yang lebih mendesak untuk memiliki dana darurat adalah pekerja paruh waktu. Misalnya karyawan di industri film, di mana saat ini semua produksi berhenti. Mereka bekerja by project sehingga tidak ada penghasilan.

“Tidak ada kata terlambat. Mulai sekarang bersiap jika nanti ada krisis ekonomi skala luas. Yang memiliki penghasilan, mulai menyiapkan dana darurat,” saran Ligwina.
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More