China Makin Dekat Kantongi Pasokan Bijih Besi Alternatif dari Afrika Barat
Minggu, 31 Juli 2022 - 08:00 WIB
Winning Consortium Simandou terdiri dari perusahaan Singapura, Winning International Group, Perusahaan China, Weiqiao Aluminium; dan United Mining Suppliers International.
Perusahaan patungan Simfer terdiri dari Simfer S.A., yang dimiliki oleh Pemerintah Guinea, dan Simfer Jersey, yang terdiri dari penambang Anglo-Australia Rio Tinto Group dan grup China Chalco Iron Ore Holdings.
Kehadiran perusahaan-perusahaan China dalam operasi Simandou menunjukkan harapan Beijing untuk mengeksplorasi lebih lanjut dan mendiversifikasi sumber bijih besinya. Mngingat ketergantungannya yang besar pada bijih Australia pada khususnya.
China terpantau telah mengimpor total keseluruhan sekitar 60% dari Down Under. 20% lainnya berasal dari Brasil, menurut angka bea cukai China.
Namun, renggangnya hubungan antara China dan Australia dalam beberapa tahun terakhir telah memicu perdebatan tentang keinginan China untuk maju dengan proyek Simandou.
"China secara khusus terpapar harga bijih besi internasional mengingat hanya menghasilkan 15% hingga 20% dari bijih besi yang dikonsumsinya," kata Vivek Dhar, seorang analis komoditas pertambangan dan energi di Commonwealth Bank of Australia, dalam sebuah catatan pekan lalu.
"Mengambil kekuatan pasar dari orang-orang seperti BHP, Rio Tinto, Vale dan Fortescue bukanlah ide baru di China," bebernya.
Di samping mempercepat pencarian sumber bijih besi baru, Dhar mengatakan, China berusaha mengendalikan pasokan bijih besinya dengan memusatkan pembelian material daripada membiarkan pabrik baja melakukannya dengan cara sedikit demi sedikit, meskipun proyek itu mungkin sulit untuk dikoordinasikan.
Ketika beroperasi penuh, Simandou akan dapat mengekspor hingga 100 juta ton bijih besi per tahun, menyaingi volume produksi kelas berat Australia seperti Fortescue dan mega-penambang Brasil Vale.
Perusahaan patungan Simfer terdiri dari Simfer S.A., yang dimiliki oleh Pemerintah Guinea, dan Simfer Jersey, yang terdiri dari penambang Anglo-Australia Rio Tinto Group dan grup China Chalco Iron Ore Holdings.
Kehadiran perusahaan-perusahaan China dalam operasi Simandou menunjukkan harapan Beijing untuk mengeksplorasi lebih lanjut dan mendiversifikasi sumber bijih besinya. Mngingat ketergantungannya yang besar pada bijih Australia pada khususnya.
China terpantau telah mengimpor total keseluruhan sekitar 60% dari Down Under. 20% lainnya berasal dari Brasil, menurut angka bea cukai China.
Namun, renggangnya hubungan antara China dan Australia dalam beberapa tahun terakhir telah memicu perdebatan tentang keinginan China untuk maju dengan proyek Simandou.
"China secara khusus terpapar harga bijih besi internasional mengingat hanya menghasilkan 15% hingga 20% dari bijih besi yang dikonsumsinya," kata Vivek Dhar, seorang analis komoditas pertambangan dan energi di Commonwealth Bank of Australia, dalam sebuah catatan pekan lalu.
"Mengambil kekuatan pasar dari orang-orang seperti BHP, Rio Tinto, Vale dan Fortescue bukanlah ide baru di China," bebernya.
Di samping mempercepat pencarian sumber bijih besi baru, Dhar mengatakan, China berusaha mengendalikan pasokan bijih besinya dengan memusatkan pembelian material daripada membiarkan pabrik baja melakukannya dengan cara sedikit demi sedikit, meskipun proyek itu mungkin sulit untuk dikoordinasikan.
Ketika beroperasi penuh, Simandou akan dapat mengekspor hingga 100 juta ton bijih besi per tahun, menyaingi volume produksi kelas berat Australia seperti Fortescue dan mega-penambang Brasil Vale.
tulis komentar anda