Peneliti LPEM UI Rekomendasikan Penghapusan DMO-DPO-HET
Selasa, 02 Agustus 2022 - 10:14 WIB
JAKARTA - Peningkatan ekspor minyak sawit mentah dapat menyelamatkan para petani kelapa sawit swadaya dari anjloknya harga tandan buah segar (TBS). Namun kebijakan yang menjadi disinsentif bagi industri dalam mendorong laju ekspor, harus diperbaiki, dan sebagian di antaranya dihapuskan.
“Indonesia memerlukan peningkatan ekspor sawit yang besar untuk mendorong kesejahteraan petani, khususnya petani swadaya,” ujar Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM-UI) Dr. Eugenia Mardanugraha dalam Diskusi Virtual ‘Dampak Kebijakan Pengendalian Harga Minyak Goreng Bagi Petani Swadaya’, Senin (1/8/2022).
Melalui estimasi ekonometrika, dalam studinya bertajuk ‘Analisis Dampak Kebijakan Pengendalian Harga Minyak Goreng Bagi Petani Swadaya’, pihaknya melakukan sejumlah simulasi untuk mengetahui seberapa besar peningkatan ekspor perlu dilakukan, agar tangki penyimpanan dapat segera kosong, kemudian TBS petani kembali pulih.
(Baca juga:Ini Negara Kosumen Terbesar Minyak Sawit)
Satu di antaranya menunjukkan besarnya ekspor yang diperlukan untuk meningkatkan harga TBS dari Rp861 (asumsi harga petani swadaya per 9 Juli) menjadi setara harga pokok penjualan senilai Rp2.250 per kilogram, butuh peningkatan ekspor sebesar 1.740% atau 17 kali lipat.
Sementara kajian lapangan menjumpai para petani swadaya di Riau dan Kalimantan Barat, mendapati jika harga pokok penjualan ideal TBS adalah Rp2.000 per kilogram. Untuk mencapai harga tersebut, diperlukan peningkatan ekspor minimal 200% dari tingkat ekspor saat ini (per April 2022).
Kemampuan Indonesia meningkatkan ekspor sangat terbuka, karena berdasarkan besaran ekspor bulanan sejak Januari 2014 hingga April tahun ini, diketahui ekspor sawit berada pada interval 1 juta sampai 4,3 juta ton per bulan.
Hapus Hambatan Ekspor
Agar ekspor melaju lancar, para peneliti menyarankan pemerintah mengurai hambatan ekspor. “Kebijakan pengendalian harga minyak goreng jangan sampai mendistorsi pasar, dan berimbas merugikan seluruh pemangku kepentingan dari hulu hingga hilir, juga masyarakat serta petani swadaya. Saat ini biaya-biaya untuk melakukan ekspor CPO masih sangat tinggi,” kata Eugenia.
“Indonesia memerlukan peningkatan ekspor sawit yang besar untuk mendorong kesejahteraan petani, khususnya petani swadaya,” ujar Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM-UI) Dr. Eugenia Mardanugraha dalam Diskusi Virtual ‘Dampak Kebijakan Pengendalian Harga Minyak Goreng Bagi Petani Swadaya’, Senin (1/8/2022).
Melalui estimasi ekonometrika, dalam studinya bertajuk ‘Analisis Dampak Kebijakan Pengendalian Harga Minyak Goreng Bagi Petani Swadaya’, pihaknya melakukan sejumlah simulasi untuk mengetahui seberapa besar peningkatan ekspor perlu dilakukan, agar tangki penyimpanan dapat segera kosong, kemudian TBS petani kembali pulih.
(Baca juga:Ini Negara Kosumen Terbesar Minyak Sawit)
Satu di antaranya menunjukkan besarnya ekspor yang diperlukan untuk meningkatkan harga TBS dari Rp861 (asumsi harga petani swadaya per 9 Juli) menjadi setara harga pokok penjualan senilai Rp2.250 per kilogram, butuh peningkatan ekspor sebesar 1.740% atau 17 kali lipat.
Sementara kajian lapangan menjumpai para petani swadaya di Riau dan Kalimantan Barat, mendapati jika harga pokok penjualan ideal TBS adalah Rp2.000 per kilogram. Untuk mencapai harga tersebut, diperlukan peningkatan ekspor minimal 200% dari tingkat ekspor saat ini (per April 2022).
Kemampuan Indonesia meningkatkan ekspor sangat terbuka, karena berdasarkan besaran ekspor bulanan sejak Januari 2014 hingga April tahun ini, diketahui ekspor sawit berada pada interval 1 juta sampai 4,3 juta ton per bulan.
Hapus Hambatan Ekspor
Agar ekspor melaju lancar, para peneliti menyarankan pemerintah mengurai hambatan ekspor. “Kebijakan pengendalian harga minyak goreng jangan sampai mendistorsi pasar, dan berimbas merugikan seluruh pemangku kepentingan dari hulu hingga hilir, juga masyarakat serta petani swadaya. Saat ini biaya-biaya untuk melakukan ekspor CPO masih sangat tinggi,” kata Eugenia.
tulis komentar anda