Peneliti LPEM UI Rekomendasikan Penghapusan DMO-DPO-HET
Selasa, 02 Agustus 2022 - 10:14 WIB
Menurutnya, bila pungutan ekspor ditetapkan menggunakan harga referensi yang akurat serta adaptif dengan dinamika pasar, dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan ekspor, tentunya dengan terlebih dulu memenuhi kebutuhan di dalam negeri.
(Baca juga:Wah, Ternyata Minyak Sawit Kaya Akan Vitamin)
Pihaknya berpandangan jika instrumen ini berfungsi baik, maka kebijakan seperti domestic market obligation (DMO), domestic price obligation (DPO), harga eceran tertinggi (HET) serta flush out (FO) semestinya dihapuskan.
Senada, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mendongkrak harga TBS petani hanyalah peningkatan ekspor CPO beserta produk turunannya. “Nah, untuk menggairahkan kembali ekspor CPO kebijakan ekspornya harus disederhanakan,” katanya.
(Baca juga:Bisnis Kuliner Minyak Sawit Sehat Terus Berkembang)
Menurut Joko, penyebab banyaknya instrumen ekspor CPO adalah persoalan meningkatnya harga minyak goreng di dalam negeri. Padahal, kata Joko, total konsumsi minyak goreng di dalam negeri dalam setahun hanyalah 2,5 juta ton saja.
Jumlah tersebut jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan produksi CPO. “Tapi kenapa yang persoalan 2,5 juta ton ini bisa berkepanjangan? Ya, karena ada kebijakan yang tidak tepat,” kata Joko.
Bantuan Sosial
Sementara kebijakan penetapan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng dinilai Eugenia mendistorsi pasar, karena minyak goreng dijual lebih rendah dari harga keekonomiannya. “Akibatnya justru terjadi kelangkaan karena aksi spekulan yang membeli lebih banyak dari kebutuhan, praktik pengemasan ulang minyak goreng curah ke dalam kemasan, serta praktik penyelundupan,” katanya.
Eugenia menyarankan, bila harga CPO naik tinggi, DMO dapat kembali diberlakukan dengan penyesuaian. Jika diperlukan, diberikan bantuan sosial bagi masyarakat berupa minyak goreng kemasan, dengan menggunakan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
(Baca juga:Wah, Ternyata Minyak Sawit Kaya Akan Vitamin)
Pihaknya berpandangan jika instrumen ini berfungsi baik, maka kebijakan seperti domestic market obligation (DMO), domestic price obligation (DPO), harga eceran tertinggi (HET) serta flush out (FO) semestinya dihapuskan.
Senada, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mendongkrak harga TBS petani hanyalah peningkatan ekspor CPO beserta produk turunannya. “Nah, untuk menggairahkan kembali ekspor CPO kebijakan ekspornya harus disederhanakan,” katanya.
(Baca juga:Bisnis Kuliner Minyak Sawit Sehat Terus Berkembang)
Menurut Joko, penyebab banyaknya instrumen ekspor CPO adalah persoalan meningkatnya harga minyak goreng di dalam negeri. Padahal, kata Joko, total konsumsi minyak goreng di dalam negeri dalam setahun hanyalah 2,5 juta ton saja.
Jumlah tersebut jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan produksi CPO. “Tapi kenapa yang persoalan 2,5 juta ton ini bisa berkepanjangan? Ya, karena ada kebijakan yang tidak tepat,” kata Joko.
Bantuan Sosial
Sementara kebijakan penetapan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng dinilai Eugenia mendistorsi pasar, karena minyak goreng dijual lebih rendah dari harga keekonomiannya. “Akibatnya justru terjadi kelangkaan karena aksi spekulan yang membeli lebih banyak dari kebutuhan, praktik pengemasan ulang minyak goreng curah ke dalam kemasan, serta praktik penyelundupan,” katanya.
Eugenia menyarankan, bila harga CPO naik tinggi, DMO dapat kembali diberlakukan dengan penyesuaian. Jika diperlukan, diberikan bantuan sosial bagi masyarakat berupa minyak goreng kemasan, dengan menggunakan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
tulis komentar anda