Indonesia Dinilai Cukup Kuat di Tengah Perlambatan Ekonomi Dunia
Kamis, 08 September 2022 - 18:33 WIB
Seiring dengan resiko resesi yang cukup tinggi, lanjut Jesse Liew, pasar juga memperkirakan kenaikan suku bunga akan lebih moderat di 2023 akibat adanya kemungkinan perlambatan pertumbuhan. Oleh karena kondisi kurang kondusif, permintaan obligasi di Eropa dan Amerika berkurang drastis dan memicu arus keluar dari obligasi.
Demikian pula untuk pasar modal negara berkembang seperti Indonesia, namun permintaan domestik yang cukup besar serta adanya skema burden sharing antara BI dan Kementerian Keuangan, dapat memberikan penyeimbang dari arus keluar investor asing.
Mempertimbangkan kebijakan fiskal dan moneter yang akan lebih ketat di waktu dekat ini serta diperkirakan diiringi oleh perlambatan pertumbuhan, Jesse menyarankan investor untuk memilih strategi durasi pendek untuk memitigasi risiko perlambatan pertumbuhan dan suku bunga tinggi.
Untuk pasar obligasi Indonesia, akibat adanya kenaikan Pertalite dan Pertamax beberapa saat yang lalu, inflasi dalam jangka pendek diperkirakan akan meningkat ke level 6,3% untuk 2022. “Defisit anggaran akan kembali ke level 3% untuk tahun 2023 dan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun pada 7,85% akibat tidak berlanjutnya program burden sharing,” kata Jesse Liew.
(Baca juga:Kepercayaan Investor Terhadap Ekonomi Indonesia Menguat)
Pada kondisi pasar saat ini, durasi yang dipilih untuk portfolio masih pendek, dengan mempertimbangkan akan adanya kenaikan imbal hasil untuk tenor panjang setelah terjadinya penjualan pada obligasi tenor pendek. “Kondisi pasar diperkirakan lebih menantang di 2023 terutama karena absennya skema burden sharing serta tingkat suku bunga GWM yang tinggi,” kata Jesse.
CIO Malaysia & CIO Equities for ASEAN Region, Principal Asset Management Malaysia Patrick Chang dalam paparannya menyebutkan beberapa poin penting tentang kondisi ekonomi global dan pasar modal terutama terkait investasi di saham. Menurut pandangannya, kondisi perekonomian dunia di awal 2022 sebenarnya telah menunjukkan perbaikan walaupun dibayangi oleh inflasi tinggi di beberapa kawasan dunia.
Namun setelah meningkatkan tensi geopolitik, ketidakpastian pada perekonomian kembali menjadi perhatian utama disebabkan oleh inflasi yang tidak kunjung turun akibat krisis energi dan pangan, serta potensi melambatnya pertumbuhan dunia. Ancaman resesi dunia diperkirakan terjadi lebih cepat di 2023 dibandingkan prediksi awal 2024 akibat kenaikan suku bunga sebagai respon dari inflasi tinggi namun dibarengi dengan perlambatan pertumbuhan PDB global.
Penggerak utama ekonomi dunia yaitu Amerika Serikat dan China, kata Patrick, sedang berusaha menghadapi tantangan perekonomiannya masing-masing. The Fed, bank sentral Amerika, berusaha memerangi inflasi domestik yang tinggi dengan menaikkan suku bunga dengan agresif.
Sementara itu, China yang saat ini masih melakukan lockdown di beberapa daerahnya serta mengalami masalah di sektor properti, juga masih berusaha membangkitkan perekonomiannya.
Demikian pula untuk pasar modal negara berkembang seperti Indonesia, namun permintaan domestik yang cukup besar serta adanya skema burden sharing antara BI dan Kementerian Keuangan, dapat memberikan penyeimbang dari arus keluar investor asing.
Mempertimbangkan kebijakan fiskal dan moneter yang akan lebih ketat di waktu dekat ini serta diperkirakan diiringi oleh perlambatan pertumbuhan, Jesse menyarankan investor untuk memilih strategi durasi pendek untuk memitigasi risiko perlambatan pertumbuhan dan suku bunga tinggi.
Untuk pasar obligasi Indonesia, akibat adanya kenaikan Pertalite dan Pertamax beberapa saat yang lalu, inflasi dalam jangka pendek diperkirakan akan meningkat ke level 6,3% untuk 2022. “Defisit anggaran akan kembali ke level 3% untuk tahun 2023 dan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun pada 7,85% akibat tidak berlanjutnya program burden sharing,” kata Jesse Liew.
(Baca juga:Kepercayaan Investor Terhadap Ekonomi Indonesia Menguat)
Pada kondisi pasar saat ini, durasi yang dipilih untuk portfolio masih pendek, dengan mempertimbangkan akan adanya kenaikan imbal hasil untuk tenor panjang setelah terjadinya penjualan pada obligasi tenor pendek. “Kondisi pasar diperkirakan lebih menantang di 2023 terutama karena absennya skema burden sharing serta tingkat suku bunga GWM yang tinggi,” kata Jesse.
CIO Malaysia & CIO Equities for ASEAN Region, Principal Asset Management Malaysia Patrick Chang dalam paparannya menyebutkan beberapa poin penting tentang kondisi ekonomi global dan pasar modal terutama terkait investasi di saham. Menurut pandangannya, kondisi perekonomian dunia di awal 2022 sebenarnya telah menunjukkan perbaikan walaupun dibayangi oleh inflasi tinggi di beberapa kawasan dunia.
Namun setelah meningkatkan tensi geopolitik, ketidakpastian pada perekonomian kembali menjadi perhatian utama disebabkan oleh inflasi yang tidak kunjung turun akibat krisis energi dan pangan, serta potensi melambatnya pertumbuhan dunia. Ancaman resesi dunia diperkirakan terjadi lebih cepat di 2023 dibandingkan prediksi awal 2024 akibat kenaikan suku bunga sebagai respon dari inflasi tinggi namun dibarengi dengan perlambatan pertumbuhan PDB global.
Penggerak utama ekonomi dunia yaitu Amerika Serikat dan China, kata Patrick, sedang berusaha menghadapi tantangan perekonomiannya masing-masing. The Fed, bank sentral Amerika, berusaha memerangi inflasi domestik yang tinggi dengan menaikkan suku bunga dengan agresif.
Sementara itu, China yang saat ini masih melakukan lockdown di beberapa daerahnya serta mengalami masalah di sektor properti, juga masih berusaha membangkitkan perekonomiannya.
tulis komentar anda