Indonesia Dinilai Cukup Kuat di Tengah Perlambatan Ekonomi Dunia

Kamis, 08 September 2022 - 18:33 WIB
loading...
Indonesia Dinilai Cukup Kuat di Tengah Perlambatan Ekonomi Dunia
(Kiri ke kanan): Chief Investment Officer, PT Principal Asset Management Ni Made Muliartini, Head of Institutional Sales, Aldi Rinaldi yang bertindak sebagai moderator, CIO Fixed Income ASEAN Region, Principal Asset Management Malaysia Jesse Liew, CIO Mal
A A A
JAKARTA - Kondisi perekonomian dunia saat ini sedang carut marut, namun ekonomi Indonesia dinilai menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Kondisi ini dimungkinkan karena Indonesia secara geografis jauh dari daerah konflik geopolitik serta cukup diuntungkan oleh kondisi harga komoditas yang tinggi.

Hal itu diungkapkan Ni Made, CIO PT Principal Asset Management dalam Webinar Market Outlook 2022 dari Principal Indonesia yang bertajuk “Potential Economic Downturn in 2022 & 2023: Challenges & Solutions”, yang diadakan, Kamis (8/9/2022).

Kenaikan bahan bakar minyak yang terjadi awal September ini, kata Ni Made Muliartini, menjadi langkah penting pemerintah walaupun menghadapi banyak tentangan dari masyarakat. Inflasi diperkirakan akan meningkat untuk beberapa bulan ke depan terlebih pengusaha kemungkinan akan membebankan kenaikan BBM ini ke dalam harga produknya.

Namun, pasar saham cukup resilient dalam menghadapi kondisi ekonomi yang menantang ini terutama lebih banyak ditopang oleh investor individu serta arus masuk investor asing yang masih positif hingga akhir Agustus. Sementara itu di pasar obligasi tercatat kepemilikan asing yang makin menurun ke level terendah di 15%,” kata Ni Made.

(Baca juga:Menguji Ketangguhan Ekonomi Indonesia)

Walaupun pasar saham memiliki valuasi yang tidak murah lagi, lanjut Ni Made, namun laporan keuangan emiten yang sebagian besar baik, serta outlook perekonomian yang masih bagus, diperkirakan akan menjadi penopang jika terdapat koreksi. “Sementara pada obligasi, strategi yang diterapkan masih pada durasi pendek untuk mengantisipasi fluktuasi dalam jangka pendek ini,” papar Ni Made.

Sementara itu, CIO Fixed Income for ASEAN Region, Principal Asset Management Malaysia Jesse Liew mengatakan kinerja obligasi pada 2019 dan 2020 sangat baik karena adanya tren penurunan suku bunga di seluruh dunia akibat kondisi pandemi. Namun mulai berbalik arah pada 2021-2022 saat ekpektasi peningkatan suku bunga mulai diperkirakan akan terjadi.

Jika suku bunga bank sentral dikurangkan dengan inflasi, kata Jesse Liew, banyak negara telah berada pada posisi suku bunga riil negatif, termasuk Indonesia. Pada saat yang bersamaan, pasar modal saat ini telah memperhitungkan probabilitas resesi yang cukup tinggi di negara maju seperti Amerika dan Eropa.

(Baca juga:New Normal Bisa Menggairahkan Ekonomi Indonesia)

Seiring dengan resiko resesi yang cukup tinggi, lanjut Jesse Liew, pasar juga memperkirakan kenaikan suku bunga akan lebih moderat di 2023 akibat adanya kemungkinan perlambatan pertumbuhan. Oleh karena kondisi kurang kondusif, permintaan obligasi di Eropa dan Amerika berkurang drastis dan memicu arus keluar dari obligasi.

Demikian pula untuk pasar modal negara berkembang seperti Indonesia, namun permintaan domestik yang cukup besar serta adanya skema burden sharing antara BI dan Kementerian Keuangan, dapat memberikan penyeimbang dari arus keluar investor asing.

Mempertimbangkan kebijakan fiskal dan moneter yang akan lebih ketat di waktu dekat ini serta diperkirakan diiringi oleh perlambatan pertumbuhan, Jesse menyarankan investor untuk memilih strategi durasi pendek untuk memitigasi risiko perlambatan pertumbuhan dan suku bunga tinggi.

Untuk pasar obligasi Indonesia, akibat adanya kenaikan Pertalite dan Pertamax beberapa saat yang lalu, inflasi dalam jangka pendek diperkirakan akan meningkat ke level 6,3% untuk 2022. “Defisit anggaran akan kembali ke level 3% untuk tahun 2023 dan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun pada 7,85% akibat tidak berlanjutnya program burden sharing,” kata Jesse Liew.

(Baca juga:Kepercayaan Investor Terhadap Ekonomi Indonesia Menguat)

Pada kondisi pasar saat ini, durasi yang dipilih untuk portfolio masih pendek, dengan mempertimbangkan akan adanya kenaikan imbal hasil untuk tenor panjang setelah terjadinya penjualan pada obligasi tenor pendek. “Kondisi pasar diperkirakan lebih menantang di 2023 terutama karena absennya skema burden sharing serta tingkat suku bunga GWM yang tinggi,” kata Jesse.

CIO Malaysia & CIO Equities for ASEAN Region, Principal Asset Management Malaysia Patrick Chang dalam paparannya menyebutkan beberapa poin penting tentang kondisi ekonomi global dan pasar modal terutama terkait investasi di saham. Menurut pandangannya, kondisi perekonomian dunia di awal 2022 sebenarnya telah menunjukkan perbaikan walaupun dibayangi oleh inflasi tinggi di beberapa kawasan dunia.

Namun setelah meningkatkan tensi geopolitik, ketidakpastian pada perekonomian kembali menjadi perhatian utama disebabkan oleh inflasi yang tidak kunjung turun akibat krisis energi dan pangan, serta potensi melambatnya pertumbuhan dunia. Ancaman resesi dunia diperkirakan terjadi lebih cepat di 2023 dibandingkan prediksi awal 2024 akibat kenaikan suku bunga sebagai respon dari inflasi tinggi namun dibarengi dengan perlambatan pertumbuhan PDB global.

Penggerak utama ekonomi dunia yaitu Amerika Serikat dan China, kata Patrick, sedang berusaha menghadapi tantangan perekonomiannya masing-masing. The Fed, bank sentral Amerika, berusaha memerangi inflasi domestik yang tinggi dengan menaikkan suku bunga dengan agresif.

Sementara itu, China yang saat ini masih melakukan lockdown di beberapa daerahnya serta mengalami masalah di sektor properti, juga masih berusaha membangkitkan perekonomiannya.

Dengan tidak menghadapi inflasi tinggi seperti Kawasan Eropa maupun Amerika, pemerintah China diharapkan bisa mengendalikan ekonominya dengan kebijakan moneter maupun fiskalnya. “China dengan rencana investasi besarnya di FAI (Fixed Asset Investment) di infrastruktur diharapkan bisa membalikkan arah perekonomian,” kata Patrick.

Patrick menilai Asia menjadi kawasan yang cukup baik sebagai alternatif investasi mengingat kawasan lain seperti Eropa dan Amerika terdampak langsung oleh krisis energi dan geopolitik saat ini. “Lebih khusus lagi, kawasan ASEAN menjadi pilihan investor karena menjadi kawasan yang diuntungkan akibat harga komoditas yang tinggi serta beralihnya rantai pasokan beberapa produk dari China ke ASEAN,” paparnya.

Untuk menghadapi situasi perekonomian dunia yang sangat menantang saat ini, Patrick menyarankan untuk berinvestasi dengan menyadari resiko investasi terlebih dahulu dan mendiversifikasi investasinya. “Pilihan perusahaan yang layak dijadikan tempat investasi adalah perusahaan dengan arus kas solid, bisa membagikan dividen, mewakili tema pembukaan ekonomi, serta memiliki fundamental yang baik,” saran Patrick.

Selain itu diharapkan investor memiliki time horizon yang panjang dalam berinvestasi. “Sektor yang dimaksudkan bisa meliputi financials, consumer, communication services, dan technology sectors,” kata dia.
(dar)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0565 seconds (0.1#10.140)