Begini Jurus Sri Mulyani Mengekang Inflasi
Senin, 12 September 2022 - 18:50 WIB
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa tekanan dari krisis pangan dan energi sangat parah di berbagai negara yang berbeda, termasuk Indonesia. Jika dilihat, tingkat inflasi Indonesia bulan lalu memang menurun ke 4,6% dari yang sebelumnya 4,9%.
"Namun, penyumbang inflasi terbesar adalah komponen volatile foods, mulai dari gandum hingga minyak goreng yang bisa dilihat terkait dengan situasi geopolitik yang sedang tegang saat ini," ujar Sri dalam Recovery and Resilience: Spotlight on Asean Business yang digelar oleh Bloomberg dan Standard Chartered secara virtual pada Senin (12/9/2022).
Dia menyebutkan, inflasi inti yang berdasarkan pada tingkat permintaan masih berada di angka 3%. Jadi, pertanyaannya dari sisi kebijakan, adalah bagaimana cara merespons inflasi yang utamanya berasal dari disrupsi suplai.
"Tadi pagi dan seperti biasanya, Presiden Joko Widodo berbincang dengan banyak gubernur, bupati, hingga wali kota untuk mencapai akar detail dari mana tekanan kenaikan harga ini berasal, khususnya untuk harga pangan yang bisa dicegah," ungkap Sri.
Sementara itu, untuk harga energi, minggu lalu pemerintah sudah mengumumkan penyesuaian harga BBM bersubsidi dengan kenaikan rata-rata 30%. Ini memang akan meringankan beban APBN, tetapi juga akan meningkatkan inflasi administered price yang berasal dari penyesuaian harga ini.
"Kami mencoba memastikan, pertama jika isu ini berasal dari sisi suplai, kami akan menyoroti sisi suplai. Tentu Bank Indonesia juga harus membuat kebijakan untuk mengatur ekspektasi inflasi juga stabilitas rupiah. Depresiasi rupiah saat ini berada di sekitar 4,5% tahun ini, yang sebenarnya terhitung ringan hingga moderat dibandingkan mata uang negara-negara lain," papar Sri.
Dia menyebutkan, angka moderat ini disebabkan oleh neraca pembayaran yang lumayan baik dan juga surplus neraca perdagangan hingga 27 bulan, sehingga Indonesia lebih resilien di sisi eksternal.
"Tapi kami juga memahami bahwa situasi global tidak akan menjadi mudah. Ini akan menjadi lebih rumit, terlebih dengan kemungkinan terjadinya kenaikan suku bunga oleh The Fed yang kemungkinan juga akan diikuti oleh resesi. Pun harga energi yang kian tidak stabil karena geopolitik. Jadi kami akan lebih berfokus pada detail-detail kebijakan mikro tetapi kerangka kebijakan makro yang prudent tetap kami jaga," tegasnya.
"Namun, penyumbang inflasi terbesar adalah komponen volatile foods, mulai dari gandum hingga minyak goreng yang bisa dilihat terkait dengan situasi geopolitik yang sedang tegang saat ini," ujar Sri dalam Recovery and Resilience: Spotlight on Asean Business yang digelar oleh Bloomberg dan Standard Chartered secara virtual pada Senin (12/9/2022).
Dia menyebutkan, inflasi inti yang berdasarkan pada tingkat permintaan masih berada di angka 3%. Jadi, pertanyaannya dari sisi kebijakan, adalah bagaimana cara merespons inflasi yang utamanya berasal dari disrupsi suplai.
"Tadi pagi dan seperti biasanya, Presiden Joko Widodo berbincang dengan banyak gubernur, bupati, hingga wali kota untuk mencapai akar detail dari mana tekanan kenaikan harga ini berasal, khususnya untuk harga pangan yang bisa dicegah," ungkap Sri.
Sementara itu, untuk harga energi, minggu lalu pemerintah sudah mengumumkan penyesuaian harga BBM bersubsidi dengan kenaikan rata-rata 30%. Ini memang akan meringankan beban APBN, tetapi juga akan meningkatkan inflasi administered price yang berasal dari penyesuaian harga ini.
"Kami mencoba memastikan, pertama jika isu ini berasal dari sisi suplai, kami akan menyoroti sisi suplai. Tentu Bank Indonesia juga harus membuat kebijakan untuk mengatur ekspektasi inflasi juga stabilitas rupiah. Depresiasi rupiah saat ini berada di sekitar 4,5% tahun ini, yang sebenarnya terhitung ringan hingga moderat dibandingkan mata uang negara-negara lain," papar Sri.
Dia menyebutkan, angka moderat ini disebabkan oleh neraca pembayaran yang lumayan baik dan juga surplus neraca perdagangan hingga 27 bulan, sehingga Indonesia lebih resilien di sisi eksternal.
"Tapi kami juga memahami bahwa situasi global tidak akan menjadi mudah. Ini akan menjadi lebih rumit, terlebih dengan kemungkinan terjadinya kenaikan suku bunga oleh The Fed yang kemungkinan juga akan diikuti oleh resesi. Pun harga energi yang kian tidak stabil karena geopolitik. Jadi kami akan lebih berfokus pada detail-detail kebijakan mikro tetapi kerangka kebijakan makro yang prudent tetap kami jaga," tegasnya.
(uka)
tulis komentar anda