Usulan Hapus Aturan Multimodal Transport Dinilai Tidak Tepat
Kamis, 09 Juli 2020 - 07:25 WIB
(
)
Di Indonesia, ketentuan Angkutan Multimode diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 2011 (PP 8/2011), dan dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Perhubungan RI No. 8 tahun 2012. Regulasi di atas merupakan penjabaran dari Pasal 165 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Pasal 50-55 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; Pasal 187-191 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; Pasal 147-148 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.
Terkait dengan penerapan ketentuan angkutan Multimoda, yang memiliki keketatan tinggi, baik dari modal, tenaga profesional, teknologi dan perizinan, telah lahir beberapa perusahaan berukuran menengah dan besar di bidang angkutan multimoda sejak tahun 2014. Dan dengan berkembangnya industri angkutan multimoda, maka pada tahun 2018 telah didirikan Perkumpulan Perusahaan Multimodal Transport Indonesia (PPMTI) yang dikenal juga sebagai Indonesia Multimodal Transport Association (IMTA).
“Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 4 dan Pasal 5 dari PP 8/2011, IMTA bertugas untuk menggali dan mempertajam Dokumen Angkutan Multimoda sesuai dengan Standard Trading Condition (STC). Pemerintah juga terus melakukan pembinaan angkutan multimoda bersama IMTA sejak tahun 2018, untuk memperluas sosialisai regulasi multimoda dalam berbagai event nasional, dan terakhir juga dilaksanakan secara virtual. IMTA juga berperan aktif untuk memberikan masukan untuk pengembangan Logistik nasional,” jelas David Rahadian.
David mengatakan, selain fokus di dalam pendalaman regulasi multimoda IMTA bergerak di dalam pengembangan organisasi, sumber daya manusia, dan jejaring bisnis dalam ekosistem logistik untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional.
“Karena itu, menurut saya sangat tidak tepat masukan atau usulan UU 22 Tahun 2009 tentang LLAJ khususnya Pasal 165 tentang pengaturan angkutan multimoda yang mengatakan perlu dihapus. Sebab, ini berkaitan dengan pelayanan Angkutan Multimoda, dengan konsep single document, satu dokumen multimoda dari point ke point (door to door) justru memberikan efisiensi, kemudahan, dan kepastian bagi pengguna jasa logistik,” tegas David.
Lanjut David menerangkan, keberadaan badan usaha angkutan multimoda sebagai integrator logistik nasional dan ASEAN, tidak mengancam keberadaan usaha angkutan lainnya. Justru ungkapnya, dapat mendorong peningkatan daya saing logistik nasional di kancah internasional, untuk keluar dari bayang-bayang badan usaha angkutan multimoda internasional
Terkait birokrasi yang dipermasalahkan, tentunya tidak berpengaruh terhadap usaha lainnya, seperti angkutan darat atau angkutan laut. Birokrasi tentunya disesuaikan dengan kompleksitas usaha logistik, yang tentunya membutuhkan kompetensi yang lebih kompleks pula.
IMTA justru hadir untuk mendorong peningkatakan kompetensi dan profesionalisme logistik nasional. Di Era ASEAN Free Trade Area (AFTA), menuju perdagangan dan jasa bebas global sebagaimana diatur dalam GATT dan GATS yang sudah diratifikasi pemerintah, daya saing perusahaan dan profesional menjadi kunci keberhasilan.
Untuk itu, IMTA mendorong pemerintah dan para wakil rakyat yang terhormat di DPR selaku regulator untuk tetap terus menggali, mengembangkan dengan melangkah secara konkrit untuk memajukan industri logistik nasional, untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan ASEAN, mengingat Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN. Jadi jika peraturan yang ada dianggap kurang, mari kita perbaiki bukan dimentahkan persetujuan dan kesepakatan yang ada dengan negara- lain khususnya ASEAN.
Di Indonesia, ketentuan Angkutan Multimode diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 2011 (PP 8/2011), dan dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Perhubungan RI No. 8 tahun 2012. Regulasi di atas merupakan penjabaran dari Pasal 165 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Pasal 50-55 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; Pasal 187-191 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; Pasal 147-148 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.
Terkait dengan penerapan ketentuan angkutan Multimoda, yang memiliki keketatan tinggi, baik dari modal, tenaga profesional, teknologi dan perizinan, telah lahir beberapa perusahaan berukuran menengah dan besar di bidang angkutan multimoda sejak tahun 2014. Dan dengan berkembangnya industri angkutan multimoda, maka pada tahun 2018 telah didirikan Perkumpulan Perusahaan Multimodal Transport Indonesia (PPMTI) yang dikenal juga sebagai Indonesia Multimodal Transport Association (IMTA).
“Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 4 dan Pasal 5 dari PP 8/2011, IMTA bertugas untuk menggali dan mempertajam Dokumen Angkutan Multimoda sesuai dengan Standard Trading Condition (STC). Pemerintah juga terus melakukan pembinaan angkutan multimoda bersama IMTA sejak tahun 2018, untuk memperluas sosialisai regulasi multimoda dalam berbagai event nasional, dan terakhir juga dilaksanakan secara virtual. IMTA juga berperan aktif untuk memberikan masukan untuk pengembangan Logistik nasional,” jelas David Rahadian.
David mengatakan, selain fokus di dalam pendalaman regulasi multimoda IMTA bergerak di dalam pengembangan organisasi, sumber daya manusia, dan jejaring bisnis dalam ekosistem logistik untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional.
“Karena itu, menurut saya sangat tidak tepat masukan atau usulan UU 22 Tahun 2009 tentang LLAJ khususnya Pasal 165 tentang pengaturan angkutan multimoda yang mengatakan perlu dihapus. Sebab, ini berkaitan dengan pelayanan Angkutan Multimoda, dengan konsep single document, satu dokumen multimoda dari point ke point (door to door) justru memberikan efisiensi, kemudahan, dan kepastian bagi pengguna jasa logistik,” tegas David.
Lanjut David menerangkan, keberadaan badan usaha angkutan multimoda sebagai integrator logistik nasional dan ASEAN, tidak mengancam keberadaan usaha angkutan lainnya. Justru ungkapnya, dapat mendorong peningkatan daya saing logistik nasional di kancah internasional, untuk keluar dari bayang-bayang badan usaha angkutan multimoda internasional
Terkait birokrasi yang dipermasalahkan, tentunya tidak berpengaruh terhadap usaha lainnya, seperti angkutan darat atau angkutan laut. Birokrasi tentunya disesuaikan dengan kompleksitas usaha logistik, yang tentunya membutuhkan kompetensi yang lebih kompleks pula.
IMTA justru hadir untuk mendorong peningkatakan kompetensi dan profesionalisme logistik nasional. Di Era ASEAN Free Trade Area (AFTA), menuju perdagangan dan jasa bebas global sebagaimana diatur dalam GATT dan GATS yang sudah diratifikasi pemerintah, daya saing perusahaan dan profesional menjadi kunci keberhasilan.
Untuk itu, IMTA mendorong pemerintah dan para wakil rakyat yang terhormat di DPR selaku regulator untuk tetap terus menggali, mengembangkan dengan melangkah secara konkrit untuk memajukan industri logistik nasional, untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan ASEAN, mengingat Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN. Jadi jika peraturan yang ada dianggap kurang, mari kita perbaiki bukan dimentahkan persetujuan dan kesepakatan yang ada dengan negara- lain khususnya ASEAN.
Lihat Juga :
tulis komentar anda