Jadi Tempat Buangan Barang Impor Bisa Picu PHK di Industri Tekstil
Kamis, 12 Januari 2023 - 14:49 WIB
JAKARTA - Pemutusan hubungan kerja ( PHK ) belakangan marak dilakukan, baik di industri padat karya maupun perusahaan rintisan atau startup. Salah satu penyebabnya karena produk jasa atau barang produsen lokal tidak laku di pasaran.
Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI), Redma Gita Wirawasta, mengatakan tidak lakunya barang yang dijual di pasar disebabkan karena barang impor sudah membanjiri pasar domestik.
"Kalau industri (tekstil) belum sehat, tahun lalu pada triwulan I dan II masih bertumbuh cukup bagus. Sedangkan masuk kuartal III dan IV tahun 2022, lalu ketika pandemi mulai membaik kondisi industri justru memburuk dan sampai sekarang juga belum naik," ujar Redma dalam Market Review IDXChannel, Kamis (12/1/2022).
Redma menjelaskan, pada dua kuartal penutup tahun lalu memang menjadi beban industri yang cukup berat. Pasalnya, marak barang produk dari luar yang membanjiri pasar domestik sehingga produsen membatasi produksi dan terjadinya PHK.
"Masalahnya China, Bangladesh, Vietnam, punya kesulitan ekspor yang sama ke Amerika dan Eropa. Jadi mereka mencari market lain, dan market yang terbuka adalah Indonesia, jadi buang barang di sini," sambungnya.
Lebih lanjut, Redma mengungkapkan bahwa saat masih terjadi pandemi Covid 19, pertumbuhan industri serat dan benang filament Indonesia (APSYFI) pada kuartal I dan II 2022 masih tumbuh sekitar 8-13%. Menurutnya pertumbuhan itu disebabkan karena saat itu terjadi kelangkaan kontainer dan terganggunya rantai pasok sehingga produk impor tak masuk dan produk Indonesia menguasai pasar domestik.
"Pasar domestik yang menentukan, karena kalau barang impor masih banyak jadi utilitas kita turun, yang akhirnya ada perubahan karyawan dan PHK," pungkasnya.
Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI), Redma Gita Wirawasta, mengatakan tidak lakunya barang yang dijual di pasar disebabkan karena barang impor sudah membanjiri pasar domestik.
"Kalau industri (tekstil) belum sehat, tahun lalu pada triwulan I dan II masih bertumbuh cukup bagus. Sedangkan masuk kuartal III dan IV tahun 2022, lalu ketika pandemi mulai membaik kondisi industri justru memburuk dan sampai sekarang juga belum naik," ujar Redma dalam Market Review IDXChannel, Kamis (12/1/2022).
Redma menjelaskan, pada dua kuartal penutup tahun lalu memang menjadi beban industri yang cukup berat. Pasalnya, marak barang produk dari luar yang membanjiri pasar domestik sehingga produsen membatasi produksi dan terjadinya PHK.
"Masalahnya China, Bangladesh, Vietnam, punya kesulitan ekspor yang sama ke Amerika dan Eropa. Jadi mereka mencari market lain, dan market yang terbuka adalah Indonesia, jadi buang barang di sini," sambungnya.
Lebih lanjut, Redma mengungkapkan bahwa saat masih terjadi pandemi Covid 19, pertumbuhan industri serat dan benang filament Indonesia (APSYFI) pada kuartal I dan II 2022 masih tumbuh sekitar 8-13%. Menurutnya pertumbuhan itu disebabkan karena saat itu terjadi kelangkaan kontainer dan terganggunya rantai pasok sehingga produk impor tak masuk dan produk Indonesia menguasai pasar domestik.
"Pasar domestik yang menentukan, karena kalau barang impor masih banyak jadi utilitas kita turun, yang akhirnya ada perubahan karyawan dan PHK," pungkasnya.
(uka)
tulis komentar anda