Curhat Pengusaha Sawit Diterpa Kejadian Tak Biasa Sepanjang Tahun 2022
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia ( Gapki ), Joko Supriyono mengungkapkan, industri kelapa sawit diwarnai dengan kejadian-kejadian tidak biasa sepanjang tahun 2022. Antara lain cuaca yang ekstrim basah, lonjakan kasus Covid- 19 di bulan Februari, dimulainya perang Ukraina-Rusia di bulan Februari.
Ditambah harga minyak nabati termasuk minyak sawit yang sangat tinggi, harga minyak bumi yang sangat tinggi, kebijakan pelarangan ekspor produk minyak sawit oleh pemerintah, harga pupuk yang tinggi hingga sangat rendahnya pencapaian program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
"Kejadian tidak biasa tersebut sangat berpengaruh terhadap kineria industri sawit Indonesia baik dalam produksi, konsumsi, maupun ekspor," ujar Joko dalam konferensi pers kinerja industri sawit tahun 2022 di Grand Sahid Jaya Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Secara teknis, ia menerangkan, cuaca ekstrim basah mengganggu aktivitas serangga penyerbuk dan kegiatan panen, pupuk yang mahal dan sulit diperoleh mengganggu kegiatan pemeliharaan tanaman, pelarangan ekspor menyebabkan buah tidak dipanen tidak hanya pada periode pelarangan tetapi juga beberapa bulan sesudahnya ketika stok masih sangat tinggi.
Lebih lanjut, program PSR yang tidak mencapai target dan pertambahan luas areal yang secara total hanya 600 ribu hektar dalam 5 tahun terakhir akibat moratorium perizinan berusaha untuk kelapa sawit, menyebabkan hilangnya harapan kenaikan produksi dari tanaman-tanaman baru.
"Selain itu, harga yang sangat tinggi juga menyebabkan penundaan replanting oleh banyak pekebun sehingga porsi tanaman tua yang produktivitasnya lebih rendah menjadi lebih banyak," papar Joko.
Akibat dari situasi ini, ia melaporkan, pencapaian produksi CPO tahun 2022 hanya sebesar 46,729 juta ton atau lebih rendah dari produksi tahun 2021 sebesar 46.888 juta ton.
"Itu merupakan tahun ke-4 berturut-turut dimana produksi cenderung terus turun atau stagnan sejak kelapa sawit diusahakan secara komersial di Indonesia," tandas Joko.
Ditambah harga minyak nabati termasuk minyak sawit yang sangat tinggi, harga minyak bumi yang sangat tinggi, kebijakan pelarangan ekspor produk minyak sawit oleh pemerintah, harga pupuk yang tinggi hingga sangat rendahnya pencapaian program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
"Kejadian tidak biasa tersebut sangat berpengaruh terhadap kineria industri sawit Indonesia baik dalam produksi, konsumsi, maupun ekspor," ujar Joko dalam konferensi pers kinerja industri sawit tahun 2022 di Grand Sahid Jaya Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Secara teknis, ia menerangkan, cuaca ekstrim basah mengganggu aktivitas serangga penyerbuk dan kegiatan panen, pupuk yang mahal dan sulit diperoleh mengganggu kegiatan pemeliharaan tanaman, pelarangan ekspor menyebabkan buah tidak dipanen tidak hanya pada periode pelarangan tetapi juga beberapa bulan sesudahnya ketika stok masih sangat tinggi.
Lebih lanjut, program PSR yang tidak mencapai target dan pertambahan luas areal yang secara total hanya 600 ribu hektar dalam 5 tahun terakhir akibat moratorium perizinan berusaha untuk kelapa sawit, menyebabkan hilangnya harapan kenaikan produksi dari tanaman-tanaman baru.
"Selain itu, harga yang sangat tinggi juga menyebabkan penundaan replanting oleh banyak pekebun sehingga porsi tanaman tua yang produktivitasnya lebih rendah menjadi lebih banyak," papar Joko.
Akibat dari situasi ini, ia melaporkan, pencapaian produksi CPO tahun 2022 hanya sebesar 46,729 juta ton atau lebih rendah dari produksi tahun 2021 sebesar 46.888 juta ton.
"Itu merupakan tahun ke-4 berturut-turut dimana produksi cenderung terus turun atau stagnan sejak kelapa sawit diusahakan secara komersial di Indonesia," tandas Joko.
(akr)