Petani Sawit Mengeluhkan Sistem Kemitraan Plasma, Ini Alasannya

Kamis, 22 Desember 2022 - 19:12 WIB
loading...
Petani Sawit Mengeluhkan Sistem Kemitraan Plasma, Ini Alasannya
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengeluhkan, sistem kemitraan dalam perkebunan sawit terutama pola bagi hasil dalam berbagai skema termasuk manajemen satu atap. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengeluhkan, sistem kemitraan dalam perkebunan sawit terutama pola bagi hasil dalam berbagai skema termasuk manajemen satu atap. Menurutnya skema-skema itu tidak berdampak terhadap kesejahteraan petani sawit.

Kepala Advokasi SPKS, Marselinus Andri mengatakan, 10 temuan utama hasil investigasi yang dilakukan The Gecko Project tentang skema kemitraan di perkebunan sawit terjadi pada banyak kasus kemitraan di perkebunan sawit di berbagai daerah. Terang dia, skema kemitraan yang selalu dijadikan success story gagal menghasilkan kesejahteraan bagi para petani di desa.



Dalam temuan The Gecko Project 2022, masyarakat yang terikat dalam skema plasma memperoleh bagian sangat kecil dari keuntungan yang bisa dihasilkan perkebunan.

"Perusahaan mendapat banyak keuntungan dari skema kemitraannya dengan masyarakat, apalagi dalam pola bagi hasil yang mereka kelola secara penuh dari pembukaan kebun hingga pemanenan buah. Misalnya melalui mekanisme penyerahaan lahan dari masyarakat, mereka dapat memperluas areal konsesi agar produksi bahan baku terjamin serta biaya pembukaan lahan ditanggung masyarakat dengan skema kredit dimana perusahaan menjadi avalis," ucap Andri.

Dalam catatan SPKS, Pendapatan petani plasma umumnya sangat rendah dan tidak cukup untuk membayar angsuran hutang kredit, dan ini terjadi karena rendahnya produksi dari kebun yang dikelola tidak sesuai standar agronomis yang ditetapkan pemerintah.



Sambungnya faktor lainnya seperti potongan hutang, sehingga dimobilisasi tanpa transparansi melalui koperasi untuk mengajukan hutang baru mengganti kerugian produksi. Bahkan terang Andri, pembayaran angsuran hutang kredit yang pada akhirnya terlilit hutang.

“Situasi seperti ini terjadi akibat pengelolaan plasma yang tidak transparan melalui perjanjian yang cendrung hanya menguntungkan pihak perusahan sebagai mitra. Sayangnya tindakan Penilaian Usaha Perkebunan (PUP) tidak berjalan, hanya ketika fasilitasi di awal dan timbulnya konflik dan aksi protes dari masyarakat yang menjadi korban," tegas Andri.

Serupa dengan temuan investigasi The Gecko Projec, Andri mengatakan, bahwa jika dibandingkan dengan penghasilan petani plasma yang sangat rendah bahkan jauh di bawah UMP, pendapatan pada petani swadaya jauh lebih baik. Dari kajian yang dilakukan SPKS pada 4 kabupaten penghasil sawit, rata-rata penghasilan petani swadaya mencapai 25 juta per hektar tiap tahun dengan berbagai karateristik masalah yang ada.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2060 seconds (0.1#10.140)