Suku Bunga Turun, Pelaku Usaha Didorong Ekspansif
loading...
A
A
A
JAKARTA - Turunnya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sebesar 0,25% (25 basis poin) menjadi 4%, diharapkan mendorong pelaku usaha untuk lebih berani melakukan ekspansi pada masa pandemi Covid-19. Lebih jauh, ekspansi tersebut juga diharapkan berdampak pada multiplier effect ke sektor ekonomi lain.
Seperti diprediksi sebelumnya, BI kemarin menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4% untuk merespons dampak pelemahan ekonomi akibat pandemi. Pada saat bersamaan, BI juga menetapkan suku bunga Deposit Facility turun sebesar 25 bps menjadi 3,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar menjadi 4,75%.
Berdasarkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, kebijakan moneter terbaru ini konsisten dengan perkiraan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga, dan sebagai langkah lanjutan untuk mendorong pemulihan ekonomi pada masa pandemi Covid-19.
"Saat ini dibutuhkan obat mujarab berupa bauran kebijakan moneter dan fiskal sebagai jawaban tepat untuk mencegah kontraksi ekonomi di kuartal III dan IV dan seterusnya," ujar ekonom BNI Ryan Kiryanto kepada SINDO Media kemarin. (Baca: Suku Bunga Turun Bisa Dorong Pemulihan Ekonomi di Masa Pandemi)
Dia berharap tahun ini produk domestik bruto (PDB) Indonesia bisa tumbuh positif atau tidak terkontraksi. Menurutnya, jika menilik pertimbangan BI menurunkan suku bunga acuan adalah karena perkiraan inflasi yang rendah, stabilitas eksternal yang terjaga. Langkah ini diharapkan langkah lanjutan untuk mendorong pemulihan ekonomi pada masa pandemi Covid-19.
Apalagi, kata dia, juga ada penekanan bahwa kebijakan moneter tersebut juga konsisten dengan kebijakan fiskal yang sama-sama countercyclical dan longgar sehingga diharapkan bisa menstimulasi sektor riil dan perbankan untuk ekspansi.
Kiryanto menambahkan, spirit keputusan RDG BI ini sekaligus menguatkan dan sinergis dengan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dan Peraturan Menteri Keuangan terutama dari aspek perekonomian, keuangan/perbankan, dan multiplier effects-nya.
"Kombinasi kebijakan yang pro-pertumbuhan ini akan mendorong pelaku usaha untuk lebih berani ekspansi," katanya.
Selain itu, kata dia, debitur yang sedang dalam proses restrukturisasi diharapkan lebih semangat untuk segera pulih. Menurut Kiryanto, dengan kondisi likuiditas perbankan yang semakin longgar, peluang penurunan suku bunga bank pun terbuka. (Baca juga: Investasi Rp290 Triliun Mangkrak karena Arogansi Birokrasi)
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, dari hasil asesmen BI atas berbagai indikator penurunan kegiatan ekonomi maka akan terjadi kontraksi pada April-Mei 2020 atau kontraksi dalam kuartal II/2020 sebesar -4%.
Namun, kata Perry, BI melihat kemungkinan-kemungkinan, ekonomi akan membaik pada kuartal III. Syaratnya, penyerapan stimulus fiskal oleh pemerintah kemajuan restrukturisasi dan pendanaan korporasi di sektor perbankan harus lebih cepat.
Menurut BI, beberapa indikator permintaan domestik mulai Juni menunjukkan perbaikan seperti tecermin pada penjualan ritel, Purchasing Manager Index (PMI), ekspektasi konsumen, dan berbagai indikator domestik lain, yang mulai meningkat.
“Bahkan, kinerja ekspor Juni 2020 pada beberapa komoditas seperti besi dan baja juga membaik seiring peningkatan permintaan dari China untuk proyek infrastruktur,” katanya.
Empat Jurus BI
Perry mengungkapkan, ada epmat langkah yang bisa dilakukan agar pemulihan ekonomi berjalan cepat. Pertama, memulai pembukaan sektor ekonomi yang produktif dan aman. Langkah ini harus diikuti kepatuhan terhadap protokol Covid sehingga bisa mendorong pemulihan ekonomi yang disebut dengan new normal.
Kedua, mempercepat realisasi anggaran. Percepatan realisasi ini sangat diperlukan dalam mendorong ekonomi, meningkatkan permintaan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi ke depan.
"Bank Indonesia lebih menekankan pada penguatan sinergi ekspansi moneter dengan akselerasi stimulus fiskal pemerintah. Seperti pembelian SBN dari pasar perdana secara terukur," ungkap dia.
Ketiga, percepatan program restrukrisasi kredit khususnya perbankan. Berdasarkan data BI, perkembangan restrukrisasi kredit sampai Juni 2020 mencapai Rp871,6 trilun. Dari angka tersebut, kredit usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) paling besar Rp309,3 triliun, kredit korporasi sebesar Rp164,7 triliun, kredit komersial Rp130,9 triliun, dan kredit konsumsi sebesar Rp119,2 triliun. (Baca juga: Kabareskrim Bentuk Tim Khusus Usut Dugaan Aliran Uang Djoko Tjandra)
"Nah, kemajuan dari program ini akan mempercepat pemulihan ekonomi. Bahkan, sejumlah bank juga meningkatkan dan memberikan kredit modal kerja," ujarnya.
Keempat, terus mempercepat digitalisasi sistem pembayaran untuk percepatan implementasi ekonomi dan keuangan digital. "Langkah ini sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi melalui kolaborasi antara bank dan fintech untuk melebarkan akses UMKM dan masyarakat kepada layanan ekonomi dan keuangan," ungkap dia.
Di samping itu, Perry menuturkan bahwa kondisi likuiditas dan suku bunga pasar uang tetap memadai ditopang strategi operasi moneter Bank Indonesia. Hingga 14 Juli 2020, BI telah menambah likuiditas (quantitative easing) di perbankan sekitar Rp633,24 triliun, termasuk penurunan giro wajib minimum (GWM) sekitar Rp155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp462,4 triliun.
Menurut Perry, longgarnya kondisi likuiditas tercermin pada rendahnya suku bunga pasar uang antarbank (PUAB), yaitu di sekitar 4% pada Juni 2020, serta rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) tetap besar yakni 24,33% pada Mei 2020. Likuiditas yang memadai serta penurunan suku bunga kebijakan (BI7DRR) berkontribusi menurunkan suku bunga perbankan.
Sejalan dengan penurunan suku bunga PUAB, rerata tertimbang suku bunga deposito dan kredit modal kerja pada Juni 2020 menurun dari 5,85% dan 9,60% pada Mei 2020 menjadi 5,74% dan 9,48%. Adapun pertumbuhan besaran moneter M1 (uang kartal yang dipegang masyarakat) dan M2 (berupa giro, deposito dll) ) pada Mei 2020 juga meningkat menjadi 9,7% (yoy) dan 10,4% (yoy).
Dia menambahkan, ekspansi moneter BI yang sementara ini masih tertahan di perbankan diharapkan dapat lebih efektif mendorong pemulihan ekonomi nasional dengan percepatan realisasi anggaran dan program restrukturisasi kredit perbankan. (LIhat Videonya: Heboh! Pedagang Angkringan Cantik di Sragen Bikin Pembeli Gagal Fokus)
Sementara itu, peneliti Indef Bhima Yudhistira mengungkapkan bahwa kebijakan penurunan suku bunga BI sudah diperkirakan sebelumnya. Dia pun memperkirakan penurunan bunga acuan memang masih terbuka di masa mendatang.
"Bahkan RDG berikutnya, BI bisa turunkan lagi 25 bps. Hal ini sebagai bagian stimulus moneter untuk mendukung pemulihan ekonomi," kata dia.
Faktor lain, kata dia, adalah kenaikan cadangan devisa pada Juni mengindikasikan BI bisa menjaga stabilitas rupiah tanpa menaikkan bunga acuan. (Kunthi Fahmar Sandy)
Seperti diprediksi sebelumnya, BI kemarin menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4% untuk merespons dampak pelemahan ekonomi akibat pandemi. Pada saat bersamaan, BI juga menetapkan suku bunga Deposit Facility turun sebesar 25 bps menjadi 3,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar menjadi 4,75%.
Berdasarkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, kebijakan moneter terbaru ini konsisten dengan perkiraan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga, dan sebagai langkah lanjutan untuk mendorong pemulihan ekonomi pada masa pandemi Covid-19.
"Saat ini dibutuhkan obat mujarab berupa bauran kebijakan moneter dan fiskal sebagai jawaban tepat untuk mencegah kontraksi ekonomi di kuartal III dan IV dan seterusnya," ujar ekonom BNI Ryan Kiryanto kepada SINDO Media kemarin. (Baca: Suku Bunga Turun Bisa Dorong Pemulihan Ekonomi di Masa Pandemi)
Dia berharap tahun ini produk domestik bruto (PDB) Indonesia bisa tumbuh positif atau tidak terkontraksi. Menurutnya, jika menilik pertimbangan BI menurunkan suku bunga acuan adalah karena perkiraan inflasi yang rendah, stabilitas eksternal yang terjaga. Langkah ini diharapkan langkah lanjutan untuk mendorong pemulihan ekonomi pada masa pandemi Covid-19.
Apalagi, kata dia, juga ada penekanan bahwa kebijakan moneter tersebut juga konsisten dengan kebijakan fiskal yang sama-sama countercyclical dan longgar sehingga diharapkan bisa menstimulasi sektor riil dan perbankan untuk ekspansi.
Kiryanto menambahkan, spirit keputusan RDG BI ini sekaligus menguatkan dan sinergis dengan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dan Peraturan Menteri Keuangan terutama dari aspek perekonomian, keuangan/perbankan, dan multiplier effects-nya.
"Kombinasi kebijakan yang pro-pertumbuhan ini akan mendorong pelaku usaha untuk lebih berani ekspansi," katanya.
Selain itu, kata dia, debitur yang sedang dalam proses restrukturisasi diharapkan lebih semangat untuk segera pulih. Menurut Kiryanto, dengan kondisi likuiditas perbankan yang semakin longgar, peluang penurunan suku bunga bank pun terbuka. (Baca juga: Investasi Rp290 Triliun Mangkrak karena Arogansi Birokrasi)
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, dari hasil asesmen BI atas berbagai indikator penurunan kegiatan ekonomi maka akan terjadi kontraksi pada April-Mei 2020 atau kontraksi dalam kuartal II/2020 sebesar -4%.
Namun, kata Perry, BI melihat kemungkinan-kemungkinan, ekonomi akan membaik pada kuartal III. Syaratnya, penyerapan stimulus fiskal oleh pemerintah kemajuan restrukturisasi dan pendanaan korporasi di sektor perbankan harus lebih cepat.
Menurut BI, beberapa indikator permintaan domestik mulai Juni menunjukkan perbaikan seperti tecermin pada penjualan ritel, Purchasing Manager Index (PMI), ekspektasi konsumen, dan berbagai indikator domestik lain, yang mulai meningkat.
“Bahkan, kinerja ekspor Juni 2020 pada beberapa komoditas seperti besi dan baja juga membaik seiring peningkatan permintaan dari China untuk proyek infrastruktur,” katanya.
Empat Jurus BI
Perry mengungkapkan, ada epmat langkah yang bisa dilakukan agar pemulihan ekonomi berjalan cepat. Pertama, memulai pembukaan sektor ekonomi yang produktif dan aman. Langkah ini harus diikuti kepatuhan terhadap protokol Covid sehingga bisa mendorong pemulihan ekonomi yang disebut dengan new normal.
Kedua, mempercepat realisasi anggaran. Percepatan realisasi ini sangat diperlukan dalam mendorong ekonomi, meningkatkan permintaan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi ke depan.
"Bank Indonesia lebih menekankan pada penguatan sinergi ekspansi moneter dengan akselerasi stimulus fiskal pemerintah. Seperti pembelian SBN dari pasar perdana secara terukur," ungkap dia.
Ketiga, percepatan program restrukrisasi kredit khususnya perbankan. Berdasarkan data BI, perkembangan restrukrisasi kredit sampai Juni 2020 mencapai Rp871,6 trilun. Dari angka tersebut, kredit usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) paling besar Rp309,3 triliun, kredit korporasi sebesar Rp164,7 triliun, kredit komersial Rp130,9 triliun, dan kredit konsumsi sebesar Rp119,2 triliun. (Baca juga: Kabareskrim Bentuk Tim Khusus Usut Dugaan Aliran Uang Djoko Tjandra)
"Nah, kemajuan dari program ini akan mempercepat pemulihan ekonomi. Bahkan, sejumlah bank juga meningkatkan dan memberikan kredit modal kerja," ujarnya.
Keempat, terus mempercepat digitalisasi sistem pembayaran untuk percepatan implementasi ekonomi dan keuangan digital. "Langkah ini sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi melalui kolaborasi antara bank dan fintech untuk melebarkan akses UMKM dan masyarakat kepada layanan ekonomi dan keuangan," ungkap dia.
Di samping itu, Perry menuturkan bahwa kondisi likuiditas dan suku bunga pasar uang tetap memadai ditopang strategi operasi moneter Bank Indonesia. Hingga 14 Juli 2020, BI telah menambah likuiditas (quantitative easing) di perbankan sekitar Rp633,24 triliun, termasuk penurunan giro wajib minimum (GWM) sekitar Rp155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp462,4 triliun.
Menurut Perry, longgarnya kondisi likuiditas tercermin pada rendahnya suku bunga pasar uang antarbank (PUAB), yaitu di sekitar 4% pada Juni 2020, serta rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) tetap besar yakni 24,33% pada Mei 2020. Likuiditas yang memadai serta penurunan suku bunga kebijakan (BI7DRR) berkontribusi menurunkan suku bunga perbankan.
Sejalan dengan penurunan suku bunga PUAB, rerata tertimbang suku bunga deposito dan kredit modal kerja pada Juni 2020 menurun dari 5,85% dan 9,60% pada Mei 2020 menjadi 5,74% dan 9,48%. Adapun pertumbuhan besaran moneter M1 (uang kartal yang dipegang masyarakat) dan M2 (berupa giro, deposito dll) ) pada Mei 2020 juga meningkat menjadi 9,7% (yoy) dan 10,4% (yoy).
Dia menambahkan, ekspansi moneter BI yang sementara ini masih tertahan di perbankan diharapkan dapat lebih efektif mendorong pemulihan ekonomi nasional dengan percepatan realisasi anggaran dan program restrukturisasi kredit perbankan. (LIhat Videonya: Heboh! Pedagang Angkringan Cantik di Sragen Bikin Pembeli Gagal Fokus)
Sementara itu, peneliti Indef Bhima Yudhistira mengungkapkan bahwa kebijakan penurunan suku bunga BI sudah diperkirakan sebelumnya. Dia pun memperkirakan penurunan bunga acuan memang masih terbuka di masa mendatang.
"Bahkan RDG berikutnya, BI bisa turunkan lagi 25 bps. Hal ini sebagai bagian stimulus moneter untuk mendukung pemulihan ekonomi," kata dia.
Faktor lain, kata dia, adalah kenaikan cadangan devisa pada Juni mengindikasikan BI bisa menjaga stabilitas rupiah tanpa menaikkan bunga acuan. (Kunthi Fahmar Sandy)
(ysw)