Lebarnya Disparitas Harga Solar Subsidi-Nonsubsidi Bikin Rawan Penyelewengan

Senin, 06 Maret 2023 - 21:32 WIB
loading...
Lebarnya Disparitas...
Pemerintah diminta secara tegas dan berkelanjutan memerangi penyelewengan solar bersubsidi di lapangan. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Disparitas harga yang lebar antara solar bersubsidi Rp6.800 per liter dengan solar nonsubsidi yang rata-rata di kisaran Rp18.000 per liter dinilai akan terus memicu terjadinya penyalahgunaan. Untuk itu, pemerintah diminta secara tegas memerangi pelaku penyelewengan di lapangan.

"Sepanjang ada disparitas harga yang besar antara solar subsidi dengan solar nonsubsidi, maka apapun peraturan yang dibuat untuk mencegah penyalahgunaan, saya yakin tidak akan mampu menyelesaikan penyelewengan ini," ungkap pengamat energi Sofyano Zakaria di Jakarta, Senin (6/3/2023).



Pemerintah, kata dia, secara tegas dan berkelanjutan perlu memerangi secara terbuka para pelaku penylewengan solar berubsidi dengan cara apapun. Pemerintah, imbuh dia, harus menjatuhkan sanksi yang berat kepada pelaku penyelewengan tersebut.

Sofyano mengatakan, akan sangat menarik untuk membeli solar bersubsidi dan kemudian dijual untuk keperluan industri. Dalam hal ini, menurutnya kendaraan roda 4 atau roda 6 bisa saja dijadikan alat untuk melakukan penyelewengan solar subsidi.

Hal itu, kata dia, berkaitan dengan aturan berupa Keputusan Kepala BPH Migas Nomor 041/P3JBT/BPH Migas/Kom/2020 mengenai besaran volume solar subsidi untuk kendaraan bermotor roda 4 dan roda 6 angkutan orang dan barang sebesar 80 liter per hari dan 200 liter per hari.

Sofyano beralasan, tidak semua kendaraan angkutan barang atau penumpang roda 4 dan roda 6 pasti akan menghabiskan solar 80 liter per hari atau 200 liter per hari. Sementara, dengan disparitas harga yang begitu lebar, menurutnya bisa saja memicu oknum tertentu membeli solar subsidi untuk dijual ke industri ketimbang digunakan untuk operasional kendaraannya.

"Sebagai contoh, jika memiliki 20 truk maka per hari bisa beli 4.000 liter solar subsidi yang jika dijual ke industri setidaknya bisa menghasilkan keuntungan minimal Rp20 juta per hari," cetusnya.

Karena itu, Sofyano menilai volume pembelian solar subsidi tersebut sebaiknya dikurangi, setidaknya 25% dari ketentuan saat ini. Intinya, kata dia, volume pembelian itu perlu dikaji secara akademis dan komprehensif sesuai fakta di lapangan.



Pemerintah, tegas dia, perlu mengoreksi ulang ketentuan yang ditetapkan BPH Migas yang berlaku umum ini. Dengan begitu, diharapkan penggunaan solar bersubsidi bisa lebih tepat penggunaannya dan tidak menjadi beban APBN yang memberatkan negara.

Selain itu, program digitalisasi SPBU menurutnya harus dipastikan dengan akurat memantau pengeluaran solar subsidi dari setiap dispenser untuk mencegah pengisian BBM ke tangki siluman. Kemudian, program QR code menurutnya juga harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak bisa diakali dengan cara apapun, agar tak terjadi pembelian solar bersubsidi secara berulang kali, termasuk oleh kendaraan yang berlainan.

"Lembaga yang punya kewenangan dan kewajiban terhadap pengawasan distribusi solar bersubsidi juga harus proaktif membuat perencanaan dan pengawasan dan tidak hanya mengandalkan pihak kepolisian saja agar penyelewengan solar subsidi bisa ditekan," tandasnya.
(fai)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1783 seconds (0.1#10.140)