Pakar Pasar Modal: IPO Berbeda dengan Privatisasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar hukum pasar modal Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Profesor Mas Rahmah mengatakan, initial public offering ( IPO ) atau penawaran saham umum perdana berbeda dengan privatisasi . Secara hukum, jelasnya, IPO mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Sedangkan privatisasi diatur Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
“Jelas berbeda. IPO itu mekanisme untuk menawarkan saham perusahaan kepada publik, makanya disebut penawaran umum perdana. Kalau privatisasi, menjadikan perusahaan publik ke arah privat,” jelas Mas Rahmah kepada media hari ini.
Selain itu, saham yang dijual pada IPO juga terbatas. Tidak bisa seluruhnya, biasanya antara kisaran 10 sampai 20%. Pembeli saham melalui IPO juga tidak bisa menjadi pemegang saham mayoritas.
Hal tersebut, lanjutnya, jelas berbeda dengan skema privatisasi. Pada privatisasi, jumlah saham yang dijual tidak terbatas, bahkan boleh seluruhnya. Hal ini menyebabkan kendali dan kontrol manajemen berubah dari kepemilikan publik menjadi milik privat/swasta.
Dengan demikian, meski terdapat saham yang dijual ke publik melalui skema IPO, kata Mas Rahmah, tidak lantas mengubah komposisi kepemilikan saham milik Pemerintah di perusahaan BUMN. Apalagi, Pemerintah memegang golden share, yang memiliki keistimewaan sehingga tetap punya kontrol dan kendali manajemen pada BUMN tersebut.
“Pemerintah bisa menempatkan wakilnya pada level direksi dan komisaris agar tetap bisa mengontrol manajemen. Bahkan, pemerintah selaku pemegang saham mayoritas punya suara yang dapat menentukan pengambilan keputusan pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),” jelasnya.
Termasuk di dalamnya, tentu saja anak usaha BUMN yang akan masuk IPO, seperti Pertamina Hulu Energi. Dalam hal ini, saham mayoritas tetap dikuasai Pertamina. Dan Pertamina sendiri, 100 persen tetap BUMN. Keterwakilan Pemerintah di jajaran Komisaris, juga ada yang berasal dari Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM.
Kondisi demikian, berbeda dengan investor publik yang jumlahnya sangat banyak. Bisa ratusan, bahkan ribuan investor. Padahal di sisi lain, jumlah saham yang dijual juga sangat kecil, antara 10 sampai 20%. “Dengan demikian, di RUPS suara publik menjadi kecil. Tak ada artinya," terang penulis buku Hukum Pasar Modal ini.
Mas Rahmah juga menepis anggapan penjualan saham perusahaan BUMN melalui IPO bertentangan dengan konstitusi Pasal 33 UUD 45. Karena selain perusahaan, jelasnya, publik juga ikut diuntungkan dengan adanya IPO. "Selama ini salah kaprah. Harus diluruskan,” kata dia.
Penjelasan Mas Rahmah sebagai pakar hukum pasar modal tersebut, sekaligus menjawab kekhawatiran bahwa IPO akan menjadikan privatisasi BUMN. Selain itu, sekaligus meluruskan bahwa IPO tidak bertentangan dengan konstitusi.
Lihat Juga: PPN Naik Jadi 12% Berlaku di 2025, Ini Daftar Barang dan Jasa Terdampak dan Tak Terdampak
Sedangkan privatisasi diatur Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
“Jelas berbeda. IPO itu mekanisme untuk menawarkan saham perusahaan kepada publik, makanya disebut penawaran umum perdana. Kalau privatisasi, menjadikan perusahaan publik ke arah privat,” jelas Mas Rahmah kepada media hari ini.
Selain itu, saham yang dijual pada IPO juga terbatas. Tidak bisa seluruhnya, biasanya antara kisaran 10 sampai 20%. Pembeli saham melalui IPO juga tidak bisa menjadi pemegang saham mayoritas.
Hal tersebut, lanjutnya, jelas berbeda dengan skema privatisasi. Pada privatisasi, jumlah saham yang dijual tidak terbatas, bahkan boleh seluruhnya. Hal ini menyebabkan kendali dan kontrol manajemen berubah dari kepemilikan publik menjadi milik privat/swasta.
Dengan demikian, meski terdapat saham yang dijual ke publik melalui skema IPO, kata Mas Rahmah, tidak lantas mengubah komposisi kepemilikan saham milik Pemerintah di perusahaan BUMN. Apalagi, Pemerintah memegang golden share, yang memiliki keistimewaan sehingga tetap punya kontrol dan kendali manajemen pada BUMN tersebut.
“Pemerintah bisa menempatkan wakilnya pada level direksi dan komisaris agar tetap bisa mengontrol manajemen. Bahkan, pemerintah selaku pemegang saham mayoritas punya suara yang dapat menentukan pengambilan keputusan pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),” jelasnya.
Termasuk di dalamnya, tentu saja anak usaha BUMN yang akan masuk IPO, seperti Pertamina Hulu Energi. Dalam hal ini, saham mayoritas tetap dikuasai Pertamina. Dan Pertamina sendiri, 100 persen tetap BUMN. Keterwakilan Pemerintah di jajaran Komisaris, juga ada yang berasal dari Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM.
Kondisi demikian, berbeda dengan investor publik yang jumlahnya sangat banyak. Bisa ratusan, bahkan ribuan investor. Padahal di sisi lain, jumlah saham yang dijual juga sangat kecil, antara 10 sampai 20%. “Dengan demikian, di RUPS suara publik menjadi kecil. Tak ada artinya," terang penulis buku Hukum Pasar Modal ini.
Mas Rahmah juga menepis anggapan penjualan saham perusahaan BUMN melalui IPO bertentangan dengan konstitusi Pasal 33 UUD 45. Karena selain perusahaan, jelasnya, publik juga ikut diuntungkan dengan adanya IPO. "Selama ini salah kaprah. Harus diluruskan,” kata dia.
Penjelasan Mas Rahmah sebagai pakar hukum pasar modal tersebut, sekaligus menjawab kekhawatiran bahwa IPO akan menjadikan privatisasi BUMN. Selain itu, sekaligus meluruskan bahwa IPO tidak bertentangan dengan konstitusi.
Lihat Juga: PPN Naik Jadi 12% Berlaku di 2025, Ini Daftar Barang dan Jasa Terdampak dan Tak Terdampak
(akr)