Indonesia Jadi Faktor Penentu Pembentukan Harga CPO Dunia
loading...
A
A
A
Lebih lanjut, tutur Nugroho, pemberian insentif biodiesel semenjak 2015 hingga Maret 2023 telah mencapai Rp144,7 triliun. Di mana pemberian insentif tertinggi terjadi pada 2021 yang mencapai Rp51 triliun, dan di 2022 turun menjadi Rp34,5 triliun.
“Namun yang perlu diketahui kontribusi pajak dari biodiesel yang dibayarkan melalui PPn yang dibayarkan mencapai Rp13,15 trilin,” katanya.
(Baca juga:Ini Negara Kosumen Terbesar Minyak Sawit)
Tak hanya biodiesel, dukungan pendanaan insentif juga diberikan kepada industri minyak goreng sawit. Terkait pembayaran insentif tersebut, kata Nugroho, untuk minyak goreng curah, hingga Oktober 2022 telah dilaksanakan pembayaran percepatan migor curah sebesar 80% dengan jumlah pembayaran Rp62 miliar untuk 12.479.534 kilogram kepada 10 pelaku usaha.
Sementera untuk minyak goreng kemasan, masih dalam proses penerbitan hasil verifikasi oleh Kementerian Perdagangan yang akan digunakan BPDPKS sebagai dasar dalam proses pembayaran dana pembiayaan Minyak Goreng Kemasan dan kemasan sederhana.
“Termasuk masih menunggu pertimbangan hukum dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung guna menjaga prinsip akuntabilitas dan good governance serta mengantisipasi potensi adanya konsekuensi hukum yang dapat terjadi dimasa yang akan datang,” katanya.
Direktur Pemasaran Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero) Dwi Sutoro mengungkapkan, permasalahan dasar atau fundamental minyak goreng yang sering terjadi di Indonesia adalah bukan dalam hal supply dan kapasitas produksi, namun dalam masalah harga dan distribusi. “Terutama jika harga CPO sebagai bahan baku mengalami kenaikan,” kata Dwi Sutoro.
Di mana statistik pemakaian CPO di Indonesia sebanyak 15% produksi CPO nasional atau sekitar 6,8 juta ton digunakan untuk bahan baku minyak goreng sawit, dibanding 55% yang diekspor, di mana penggunaan untuk kebutuhan rumah tangga mencapai 62% dan non rumah tangga sebanyak 38%.
Sebab itu regulasi terkait ketersedian minyak goreng sawit disarankan untuk difokuskan pada volume yang terkait industri minyak goreng sawit. Lantas kebijakan minyak goreng, harus menjawab permasalahan terkait harga dan distribusi serta mekanismenya.
Pelaksanaan kebijakan saat ini, kata Dwi, masih memunculkan resiko dari kontinuitas ketersediaan migor bersubsidi, lantaran harga CPO yang semakin tinggi akan menyebabkan bertambah besarnya subsidi (hilangnya margin) terutama dari produsen minyak goreng yang tidak terintegrasi dengan industri CPO.
“Namun yang perlu diketahui kontribusi pajak dari biodiesel yang dibayarkan melalui PPn yang dibayarkan mencapai Rp13,15 trilin,” katanya.
(Baca juga:Ini Negara Kosumen Terbesar Minyak Sawit)
Tak hanya biodiesel, dukungan pendanaan insentif juga diberikan kepada industri minyak goreng sawit. Terkait pembayaran insentif tersebut, kata Nugroho, untuk minyak goreng curah, hingga Oktober 2022 telah dilaksanakan pembayaran percepatan migor curah sebesar 80% dengan jumlah pembayaran Rp62 miliar untuk 12.479.534 kilogram kepada 10 pelaku usaha.
Sementera untuk minyak goreng kemasan, masih dalam proses penerbitan hasil verifikasi oleh Kementerian Perdagangan yang akan digunakan BPDPKS sebagai dasar dalam proses pembayaran dana pembiayaan Minyak Goreng Kemasan dan kemasan sederhana.
“Termasuk masih menunggu pertimbangan hukum dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung guna menjaga prinsip akuntabilitas dan good governance serta mengantisipasi potensi adanya konsekuensi hukum yang dapat terjadi dimasa yang akan datang,” katanya.
Direktur Pemasaran Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero) Dwi Sutoro mengungkapkan, permasalahan dasar atau fundamental minyak goreng yang sering terjadi di Indonesia adalah bukan dalam hal supply dan kapasitas produksi, namun dalam masalah harga dan distribusi. “Terutama jika harga CPO sebagai bahan baku mengalami kenaikan,” kata Dwi Sutoro.
Di mana statistik pemakaian CPO di Indonesia sebanyak 15% produksi CPO nasional atau sekitar 6,8 juta ton digunakan untuk bahan baku minyak goreng sawit, dibanding 55% yang diekspor, di mana penggunaan untuk kebutuhan rumah tangga mencapai 62% dan non rumah tangga sebanyak 38%.
Sebab itu regulasi terkait ketersedian minyak goreng sawit disarankan untuk difokuskan pada volume yang terkait industri minyak goreng sawit. Lantas kebijakan minyak goreng, harus menjawab permasalahan terkait harga dan distribusi serta mekanismenya.
Pelaksanaan kebijakan saat ini, kata Dwi, masih memunculkan resiko dari kontinuitas ketersediaan migor bersubsidi, lantaran harga CPO yang semakin tinggi akan menyebabkan bertambah besarnya subsidi (hilangnya margin) terutama dari produsen minyak goreng yang tidak terintegrasi dengan industri CPO.