Hantu Stagflasi Bayangi Pergerakan Bursa Saham AS Pekan Depan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Optimisme pelaku pasar modal Amerika Serikat akan diuji pada pekan depan. Pasalnya, serangkaian data makro baru-baru ini memberi sinyal hadirnya hantu stagflasi yang dapat membayangi pergerakan Wall Street .
Stagflasi, sebuah kondisi stagnasi pertumbuhan ekonomi yang dibarengi peningkatan inflasi berpotensi meredupkan daya tarik pasar terhadap instrumen ekuitas berupa saham dan obligasi.
Sebuah survei dari BoFA Global Research menunjukkan ekspektasi stagflasi mendekati level tertinggi dalam sejarah mencapai 86%, yang juga disebut baka menjadi 'background' ekonomi makro hingga 2024.
"Stagflasi masih menjadi kekhawatiran yang berkembang (di pasar),"'kata Chief Equity Market Strategist, Phil Orlando, dilansir Reuters, Minggu (7/5).
Sebagaimana diketahui, stagflasi terbentuk dari pertumbuhan ekonomi yang lambat ditambah lonjakan inflasi. Kondisi yang terjadi sejak tahun lalu ini mendorong bank sentral AS/Federal Reserve alias The Fed memperketat kebijakan moneternya. The Fed telah menaikkan suku bunga 25 bps menjadi 5%-5,25% pada Kamis (4/5).
Sementara itu rilis data ketenagakerjaan AS pada Jumat (5/5) menunjukkan kenaikan upah per jam pada periode April sebesar 4,4% year-on-year (YoY). Angka ini masih cukup panas jika disandingkan dengan target inflasi The Fed di kisaran 2 persenan.
Investor Tunggu Rilis Inflasi
Sebelumnya, kekhawatiran terhadap stagflasi telah membebani instrumen saham. Berdasarkan catatan Goldman Sachs, rata-rata konstituen dalam indeks S&P500 turun 2,1% selama periode yang ditandai adanya stagflasi dalam kurun 60 tahun terakhir.
Pada pekan depan, semua mata investor akan tertuju pada pengumuman inflasi yang dapat memberikan gambaran terkait potensi kenaikan suku bunga The Fed di masa depan. Sebelumnya, tingkat inflasi AS mencapai 5,0% (YoY) dengan inflasi inti sebesar 5,6% (MoM)
"Inflasi masih cukup tinggi dari perkiraan The Fed, dan turun dengan kecepatan yang lambat. Kami pikir (pertumbuhan) ekonomi telah mencapai puncaknya pada tahun ini," terang Orlando.
Ekspektasi yang berkembang di pasar menunjukkan bahwa The Fed akan mulai mengakhiri laju suku bunga pada akhir tahun ini, mengingat adanya potensi resesi.
"The Fed membuat kesalahan karena terlalu akomodatif dalam waktu lama. Ini akan memakan waktu yang panjang untuk membuat inflasi ke target 2%," tutur Ekonom Interactive Brokers, Jose Torres.
Stagflasi, sebuah kondisi stagnasi pertumbuhan ekonomi yang dibarengi peningkatan inflasi berpotensi meredupkan daya tarik pasar terhadap instrumen ekuitas berupa saham dan obligasi.
Baca Juga
Sebuah survei dari BoFA Global Research menunjukkan ekspektasi stagflasi mendekati level tertinggi dalam sejarah mencapai 86%, yang juga disebut baka menjadi 'background' ekonomi makro hingga 2024.
"Stagflasi masih menjadi kekhawatiran yang berkembang (di pasar),"'kata Chief Equity Market Strategist, Phil Orlando, dilansir Reuters, Minggu (7/5).
Sebagaimana diketahui, stagflasi terbentuk dari pertumbuhan ekonomi yang lambat ditambah lonjakan inflasi. Kondisi yang terjadi sejak tahun lalu ini mendorong bank sentral AS/Federal Reserve alias The Fed memperketat kebijakan moneternya. The Fed telah menaikkan suku bunga 25 bps menjadi 5%-5,25% pada Kamis (4/5).
Sementara itu rilis data ketenagakerjaan AS pada Jumat (5/5) menunjukkan kenaikan upah per jam pada periode April sebesar 4,4% year-on-year (YoY). Angka ini masih cukup panas jika disandingkan dengan target inflasi The Fed di kisaran 2 persenan.
Investor Tunggu Rilis Inflasi
Sebelumnya, kekhawatiran terhadap stagflasi telah membebani instrumen saham. Berdasarkan catatan Goldman Sachs, rata-rata konstituen dalam indeks S&P500 turun 2,1% selama periode yang ditandai adanya stagflasi dalam kurun 60 tahun terakhir.
Pada pekan depan, semua mata investor akan tertuju pada pengumuman inflasi yang dapat memberikan gambaran terkait potensi kenaikan suku bunga The Fed di masa depan. Sebelumnya, tingkat inflasi AS mencapai 5,0% (YoY) dengan inflasi inti sebesar 5,6% (MoM)
"Inflasi masih cukup tinggi dari perkiraan The Fed, dan turun dengan kecepatan yang lambat. Kami pikir (pertumbuhan) ekonomi telah mencapai puncaknya pada tahun ini," terang Orlando.
Ekspektasi yang berkembang di pasar menunjukkan bahwa The Fed akan mulai mengakhiri laju suku bunga pada akhir tahun ini, mengingat adanya potensi resesi.
"The Fed membuat kesalahan karena terlalu akomodatif dalam waktu lama. Ini akan memakan waktu yang panjang untuk membuat inflasi ke target 2%," tutur Ekonom Interactive Brokers, Jose Torres.
(akr)