Kepatuhan Masyarakat Bayar Utang di Pinjol Turun, Ini 2 Penyebabnya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia ( AFPI ) Kuseryansyah mengakui tingkat kepatuhan masyarakat Indonesia dalam membayar utang kepada pinjaman onlie atau pinjol mengalami penurunan 0,5% per Maret 2023, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Menurutnya penurunan itu dipengaruhi oleh faktor perlambatan ekonomi yang masih berlanjut pasca-pandemi.
Bahkan Kuseryansyah mengatakan tingkat wanprestasi pengembalian pinjaman (TWP) 90 hari masih berada dilevel 2,81% pada Maret 2023. Angka tersebut juga turun jika dibandingkan dengan tahun 2019 atau sebelum pandemi yang berada di level 3%.
"Tingkat kesuksesan bayar 90 hari, kalau di perbankan itu NPL, ini di fintech lending 2,81%. Kalau menurut kami memang dibandingkan dengan periode satu tahun lalu TWP kita terkoreksi, tingkat kesuksesan bayar itu ada penurunan 0,5%. Kalau kita lihat dari kacamata perbankan dengan standar NPL 2,5% tentu ini di bawah NPL perbankan," ujar Kuseryansyah dalam Market Review IDXChannel, Senin (22/5/2023).
Kuseryansyah menjelaskan kepatuhan bayar utang masyarakat yang menurun ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dipengaruhi oleh kualitas credit scoring atau penilaian yang dijadikan dasar pertimbangan bagi pemberi pinjaman.
"Jadi P2P Lending itu dibantu oleh kredit biru dan dibantu alternatif kredit scoring, yang kemudian dari in house dari P2P Lending yang memutuskan disalurkan atau tidak disetujui atau tidak," sambungnya.
Faktor dari sisi internal lainnya adalah tim penagihan utang kepada nasabah yang belum cukup kuat. Sehingga kurang dorongan bagi peminjaman untuk mengembalikan utangnya kepada pemberi pinjaman.
"Tim penagihan di P2P lending ada yang dari internal dan ada yang dari outsourcing atau pihak ketiga, itu yang secara internal berpengaruh terhadap kualitas dari tingkat kesuksesan bayar," kata Kuseryansyah.
Sedangkan dari faktor eksternal dipengaruhi oleh kondisi ekonomi lesu. P2P lending memiliki segmentasi peminjaman di kalangan bawah, biasanya para pelaku usaha mikro yang belum menikah dan berhubungan dengan perbankan konvensional.
Kondisi makro ekonomi yang mengalami pelemahan pasca-pandemi memengaruhi tingkat daya beli masyarakat. Kondisi itu yang membuat para pelaku usaha mikro masih terkendala untuk mengembalikan utangnya.
"Fintech lending ini kan dihadirkan untuk melayani masyarakat yang unbankable, atau kalangan bawah, mereka biasanya masyarakat desa dengan skala usaha mikro, atau pelaku usaha perseorangan," pungkasnya.
Baca Juga
Bahkan Kuseryansyah mengatakan tingkat wanprestasi pengembalian pinjaman (TWP) 90 hari masih berada dilevel 2,81% pada Maret 2023. Angka tersebut juga turun jika dibandingkan dengan tahun 2019 atau sebelum pandemi yang berada di level 3%.
"Tingkat kesuksesan bayar 90 hari, kalau di perbankan itu NPL, ini di fintech lending 2,81%. Kalau menurut kami memang dibandingkan dengan periode satu tahun lalu TWP kita terkoreksi, tingkat kesuksesan bayar itu ada penurunan 0,5%. Kalau kita lihat dari kacamata perbankan dengan standar NPL 2,5% tentu ini di bawah NPL perbankan," ujar Kuseryansyah dalam Market Review IDXChannel, Senin (22/5/2023).
Kuseryansyah menjelaskan kepatuhan bayar utang masyarakat yang menurun ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dipengaruhi oleh kualitas credit scoring atau penilaian yang dijadikan dasar pertimbangan bagi pemberi pinjaman.
"Jadi P2P Lending itu dibantu oleh kredit biru dan dibantu alternatif kredit scoring, yang kemudian dari in house dari P2P Lending yang memutuskan disalurkan atau tidak disetujui atau tidak," sambungnya.
Faktor dari sisi internal lainnya adalah tim penagihan utang kepada nasabah yang belum cukup kuat. Sehingga kurang dorongan bagi peminjaman untuk mengembalikan utangnya kepada pemberi pinjaman.
"Tim penagihan di P2P lending ada yang dari internal dan ada yang dari outsourcing atau pihak ketiga, itu yang secara internal berpengaruh terhadap kualitas dari tingkat kesuksesan bayar," kata Kuseryansyah.
Sedangkan dari faktor eksternal dipengaruhi oleh kondisi ekonomi lesu. P2P lending memiliki segmentasi peminjaman di kalangan bawah, biasanya para pelaku usaha mikro yang belum menikah dan berhubungan dengan perbankan konvensional.
Kondisi makro ekonomi yang mengalami pelemahan pasca-pandemi memengaruhi tingkat daya beli masyarakat. Kondisi itu yang membuat para pelaku usaha mikro masih terkendala untuk mengembalikan utangnya.
"Fintech lending ini kan dihadirkan untuk melayani masyarakat yang unbankable, atau kalangan bawah, mereka biasanya masyarakat desa dengan skala usaha mikro, atau pelaku usaha perseorangan," pungkasnya.
(uka)